Dalam jagad raya dunia selebritas, mengekspos tubuh bisa jadi salah satu cara tercepat meraih sensasi panas.
Dengan berpose tanpa benang, atau paling tidak selembar kain seadanya, perhatian publik segera teraih. Orang-orang akan membicarakanya. Akan ada pro dan kontra dari mulut pakar telekomunikasi hingga ulama. Beritanya masuk infotainmen dan ditonton orang se-Indonesia. Sungguh tak ada ruginya buat si artis. Buka sedikit, langsung jadi hits.
Sayangnya, persoalan keterkenalan instan ini justru kerap kali ditampik oleh si artis sendiri. Berkomentar (sok) moralis, artis-artis telanjang ini ogah disebut pamer tubuh. Mereka biasanya akan mengatakan bahwa gambar-gambar tersebut adalah hasil rekayasa kamera, sebelum meneruskannya dengan kalimat andalan: “foto itu diambil dari album pribadi, saya akan menuntut oknum yang menyebarluaskannya.”
Kemudian, air mata menetes. Mode wajah putus asa dipasang. Di sampingnya, pengacara (biasanya Farhat Abbas) mengangguk-angguk setuju. Ini agak lucu.
Yang terbaru adalah contoh kasus Sarah-Rahma Azhari. Untuk kesekian kalinya foto mereka telanjang tersebar luas di internet. Kali ini sambil mandi. Dengan tampang ceria, dua perempuan itu mengapit seorang lelaki yang tengah terduduk, hanya bercelana dalam, sembari nyengir. Tubuh ketiganya basah dari ujung kaki hingga ujung rambut, tawa mereka lebar, seolah menampilkan betapa asyiknya acara mandi tersebut. Sungguh sebuah foto yang riang.
Tapi ke mana keceriaan duo Azhari tersebut saat foto-foto mereka ketahuan publik? Lenyap. Berganti isak tangis plus skenario kalimat yang sudah kita bahas di atas. Dengan cerdik, mereka menampilkan dualitas identitas. Di satu sisi: identitas dua orang perempuan yang, ya ampun, mandi saja kok ya harus bareng-bareng, sambil ketawa-ketawa, mengundang orang ketiga, dan difoto pula! Sementara di sisi lain, identitas dua orang perempuan yang sedih, marah, kecewa karena merasa dilecehkan dan dirugikan atas beredarnya foto-foto tersebut. Ironis!
Kita kemudian bertanya: apa sebenarnya yang ditakutkan Sarah dan Rahma? Pencitraan yang buruk? Dibilang jalang? Rasanya lebih dari separuh penduduk
Dalam perspektif feminisme klasik, tubuh perempuan memang dipandang sebagai medium praktik patriarki para laki-laki. Menurut feminisme jenis ini perempuan sering dieksploitasi tubuhnya secara tidak sadar. Misalnya, perempuan bangga dibilang bodinya mirip gitar Spanyol. Lantas ia diet mati-matian agar tetap kurus, plus mengenakan sepatu hak tinggi di setiap kesempatan agar selalu tampak seksi. Ini berarti dia dengan bodohnya “menyajikan” dirinya untuk dilihat para pria. Ia mengakomodir praktik patriarki, padahal ia adalah pihak yang dimarjinalkan dalam praktik tersebut.
Nah, feminisme postmodern lantas bilang bahwa pandangan tersebut kuno adanya. Siapa bilang perempuan tak boleh menjual pesona lewat penampilannya? Menurut feminisme postmo, tubuh perempuan bukan medium praktik penindasan, tapi adalah miliknya sendiri, yang bebas ingin ia gunakan untuk apa. Mau ditutupi gamis atau diumbar habis-habisan, terserah. Dari sini lahir istilah Pekerja Seks Komersil (PSK) yang lebih ‘merdeka’ sebagai pengganti istilah Wanita Tuna Susila (WTS) yang terkesan penuh penghakiman moral.
Sarah dan Rahma termasuk yang mana? Jelaslah yang kedua. Saya kok rasanya ingin tertawa kalau mereka ini dikatakan ‘korban’ (menurut feminisme klasik). Coba kita perhatikan layar kaca, lantas berhitung. Bukankah secara konstan, Sarah dan Rahma terus terlibat dalam sejumlah produksi film dan iklan yang semata menjual keseksian tubuh mereka?
Sarah, misalnya, terkenal jadi bintang iklan Hormoviton Pria. Begitu terkenalnya sampai-sampai ia mendapat penghargaan sebagai citra merek terbaik, yang artinya kurang lebih kalau melihat Sarah orang langsung berpikiran ngeres. Sekalinya main film, eh, Sarah muncul sebagai hantu berpakaian ketat dan mengundang (Tiren). Sudah mati saja harus tetap seksi, apa tidak hebat?
Perhatikan pula betapa semua itu ‘didukung’ dengan keterlibatan mereka dengan skandal-skandal serupa. Minggu ini ada foto Rahma berciuman dengan pria bule di kolam renang, minggu depan ada foto Rahma lagi mandi. Makin lekatlah citra itu, sehingga kemudian figur Azhari bersaudara ini dipakai juga dalam salah satu layanan sms ketik reg spasi yang menawarkan pesan mesra dan panas, “langsung dari henfon kami”.
Bayangkan betapa lekatnya citra mereka dengan seks, dan bayangkan pula jumlah pundi uang yang mereka raup untuk semua itu. Lewat semua politik pencitraan inilah Sarah dan Rahma mencari makan. Uang yang mereka dapatkan mestinya juga tak sedikit. Bisa jadi malah untung besar lho!
Jadi jangan kasihani mereka. Jangan juga hujat mereka. Biarkanlah mereka berjalan dengan pencitraan yang konstan: tak perlu malu-malu menjual tubuh. Biarkan masyarakat
Bukan cuma org ketiga yg diundang, Ndin.
ReplyDeleteMsh ad org ke-empat,fotografer...
Tul,kan?
Hehehe...
oh iya, benar.. hehe --memang hebat azhari sisters ini ya bang! :)
ReplyDeletemenarik tulisannya
ReplyDeleterenyah
idealis tanpa terkesan menggurui
meludahi tanpa terkesan menghakimi
dulu, aku pernah 'dongkol dan mulis juga ttg hal2 seperti ini
aku cuma mikir : aku ga akan 'menyalahkan' artis mesum karena kelakuannya
toh aku ga naif, yawis biarin aja
cuma, mbok ya kalo jadi artis mesum ya konsisten jadi artis mesum, ga perlu sandiwara sok sokan suci nangis2 giliran foto mesumnya ketauan
atau pas ramadhan main sinetron reliji pake jilbab menutup aurat yang biasanya masuk angin karena keseringan dibuka
Tp lagi2,spt yg kamu tulis, ini semua kembali ke masalah uang.
Sah sah aja
Negara ini telah menjadi negara paling naif hanya karena terus membiarkan kebodohan2 semacam ini terus terjadi
Dan rakyat yg jadi korban pada sebuah pertanyaan tak terjawab
'maauuu dibawaaa kemanaa negara kitaa...?'
@ronitoxid: habisnya artis kita kebanyakan ga mau punya positioning yang jelas, sih. maunya semua diambil. maruk. dan sebenarnya menurutku yang dilakukan azhari sisters ini nggak bodoh, justru cerdas banget karena mereka satu dari sekian artis yang jelas positioningnya, tapi yang bikin males adalah mereka munafik. bomseks ya bomseks aja gitu lho!
ReplyDelete