Acapkali film komedi menjual sesuatu yang sebenarnya tak layak ditertawakan. Hal-hal sensitif nan krusial seperti prasangka rasialisme dan isu terorisme dikemas asal-asalan menjadi sebentuk paket kelucuan yang dipaksakan.
Film Harold and Kumar Escape From Guantanamo Bay, misalnya. Film yang rilis 29 April 2008 ini merupakan sekuel dari Harold and Kumar Go To White Castle, menceritakan kisah mbulet perjalanan Harold Lee (John Cho) dan Kumar Patel (Kal Penn) menuju Amsterdam. Niat awal mengejar Maria (Paula Garcés), perempuan idaman Harold, perjalanan dua orang pria berdarah Asia dan India ini berubah ruwet karena penampakan fisik mereka yang menimbulkan banyak prasangka.
Diawali dari seorang perempuan tua di pesawat yang mencurigai Kumar sebagai teroris karena tipikal wajah India-nya (kulit coklat, mata besar, hidung betet mancung) yang kearab-araban, Harold dan Kumar dikirim ke kamp detensi Guantanamo Bay. Pemicunya sederhana saja, nenek-nenek yang sudah terlanjur nervous dengan penampilan fisik Kumar itu berteriak histeris ketika Kumar menyalakan bong marijuana karena menyangka yang dinyalakannya adalah bom. Namanya juga film komedi, pasangan ini bisa meloloskan diri dari penjara yang terkenal sadis dan angker itu.
Dari Guantanamo, Harold dan Kumar menuju
Pria kulit hitam dan permainan bola basket adalah identik. Ini stereotip pertama yang sudah berlangsung sedemikian lama (ingat aforisma white men can’t jump), sehingga aneh rasanya menampakkan sekelompok pria kulit hitam sedang berolah raga yang bukan basket. Bayangkan saja jika mereka digambarkan sedang bermain sepakbola, softball, atau bahkan boling.
Stereotip lainnya adalah betapa gerombolan pria kulit hitam selalu diidentikkan dengan kekerasan. Istilah Indonesianya, premanisme. Harold dan Kumar langsung kabur karena takut, sama seperti tokoh nenek di pesawat yang nervous melihat tampang Kumar mirip teroris. Hidup keras dan tidak bersahabat memang dialami oleh kaum kulit hitam sebagai residual politik Apartheid, tapi pantaskah itu dijadikan alasan untuk terus menerus memarjinalkan mereka sebagai kaum kelas kesekian?
Melabeli sekelompok orang dengan identifikasi perilaku tertentu memang lumrah terjadi, dan ini didukung penuh oleh media. Di Indonesia ada film Maaf, Saya Menghamili Istri Anda yang didukung Agus Ringgo dan Mulan. Usaha Ringgo yang orang Jawa asli untuk memasuki klan Batak dijadikan benang merah film komedi ini. Orang Batak digambarkan dengan cara bicara yang keras dan kasar, sementara Ringgo bicara dengan halus dan penuh pakewuh khas orang Jawa.
“Kelucuan” juga dipotret dari sisi kebiasaan orang Batak makan masakan berbahan dasar anjing. Ringgo muntah ketika menyadari yang dimakannya daging anjing, dan saya khawatir ketika penonton tertawa melihat adegan ini sesungguhnya sedang terbentuk wacana bahwa makan daging anjing itu menjijikkan. Bayangkan perasaan orang Batak asli melihat adegan ini. Apa namanya kalau bukan penghinaan secara halus?
Di sisi lain, paranoia klan Batak terhadap suku Jawa ditunjukkan dengan adegan yang menggelitik. Salah seorang anggota klan Batak digambarkan terkena serangan jantung ketika mengetahui bahwa Ringgo adalah orang Jawa, bukan Batak seperti yang diakuinya selama ini. Bagi anggota geng yang sering berebut lahan parkir di
Jelas sudah bahwa deretan film-film komedi berbau prasangka rasialisme ini sesungguhnya sama sekali tak pantas ditertawakan. Permasalahannya, seringkali kelompok-kelompok yang dimarjinalkan justru dengan sukarela menyerahkan dirinya untuk dijadikan komoditas. Seperti John Cho dan Kal Penn yang mencari makan dari paradoks hidup mereka: bertampang minoritas dengan mimpi
Bertambah ruwet ketika kita bertanya manakah yang lebih dulu terjadi: apakah di masyarakat memang sudah terbentuk wacana prasangka rasialisme sebagai lelucon dan media tinggal memotretnya, atau sebaliknya, media yang membentuk wacana tersebut dan masyarakat menelannya bulat-bulat?
Tidak ada yang bisa mengklaim jawaban atas pertanyaan itu, barangkali karena jawabannya pun berupa dialektika. Kedua hal tersebut saling mempengaruhi. Media memenuhi kebetuhan masyarakat akan sebuah informasi, sembari di saat yang sama ia pun menciptakan kebutuhan tersebut. Apa yang terasa tidak krusial bisa mendadak jadi penting, sama seperti sesuatu yang tadinya tidak lucu tiba-tiba bisa menggelikan bila sudah dibungkus dalam kemasan tertentu. Mengutip kata Marshall McLuhan, the medium is the message.
Bagaimanapun, prinsip untuk tidak tertawa di atas prasangka harus tetap dipegang teguh karena ras, etnisitas, dan budaya layak diberi penghargaan setinggi-tingginya sebagai produk tertinggi dari kreativitas hidup manusia. Media boleh menyajikan apa saja, selama kita sebagai audiens tidak pernah bosan mengkritisinya.
(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 29 Juni 2008)
No comments