Memberontak Dengan Hairspray


Untuk kategori sebuah film musikal, Hairspray penuh dengan nilai-nilai pemberontakan yang menarik untuk dikaji ulang. Imaji untuk menjadi popular, berbalut bebauan wangi pengeras rambut dan isu-isu rasial, agaknya menjadi representasi permasalahan sosiokultural Amerika Serikat tahun 60-an.

Dikisahkan, Tracy Turnblad (Nikki Blonsky), seorang remaja berusia belasan tahun, bermimpi ingin menjadi artis. Impiannya adalah masuk dalam acara Corny Collins Show, sebuah acara dansa yang sangat populer di Baltimore tahun 1962. Begitu terpusatnya perhatian Tracy pada acara tersebut sampai-sampai ia mengabaikan sekolah.

Hal ini membuat frustrasi orangtua Tracy. Namun, rupanya virus Corny Collins Show tak hanya menjangkiti Tracy, tetapi juga separuh lebih total populasi remaja di Baltimore. Semua tergila-gila pada Corny Collins Show. Bahkan Link Larkin (Zac Efron), penari utama di acara tersebut yang kebetulan satu sekolah dengan Tracy, dipuja bak dewa.

Tracy, yang berbadan gendut dan pendek, tidak putus asa berjuang masuk ke acara tersebut. Meski awalnya dicerca karena bentuk tubuhnya yang tidak “cantik”, akhirnya Tracy berhasil masuk ke acara Corny Collins Show, bahkan kemudian “merevolusi” total acara top-rating tersebut.

Setidaknya ada dua isu yang layak mendapatkan perhatian lebih. Pertama, konstruksi tentang kecantikan. Di acara Corny Collins Show, semua penari perempuannya memiliki tipe tubuh dan dandanan yang sama: kurus, rambut pirang yang disasak tinggi, kulit putih, dan wajah yang ber-make up tebal.

Yang lelaki pun tak jauh beda: badan tegap, memakai setelan tuksedo lengkap, macho dengan tatanan rambut ala James Dean. Sebelum dan selama syuting, hairspray menjadi senjata rahasia para penari lelaki dan perempuan ini untuk menjaga gaya rambut yang ditata “tinggi”. Secara kontinyu, sang host Corny Collins (James Marsden) pun mempromosikan merek hairspray yang mensponsori acaranya.

Ketika Tracy datang, ia ditertawakan karena posturnya yang gemuk dan pendek. Dari sisi manapun ia jelas tidak memenuhi konstruksi kecantikan yang ditetapkan secara tidak tertulis itu. Ketika akhirnya Tracy diterima karena kepandaiannya menari, satu hal penting nyaris terlupakan. Apa itu? Ya, meski gendut dan pendek, rambut Tracy juga ditata tinggi dengan hairspray. Ini benang merahnya.

Pemakaian hairspray pada akhirnya menjadi semacam identitas. Sebutan “anak-anak paling keren di kota(nicest kids in town) bagi para penari di acara Corny Collins Show merujuk pada mereka yang pandai menari, dan, memakai hairspray untuk menata rambutnya. Hal inilah yang membuat Tracy bisa mendapat predikat tersebut, meski dari segi fisik ia jelas tidak memenuhi syarat.

Maka, tak heran bila kemudian diceritakan remaja-remaja perempuan berbadan gemuk pendek di Baltimore ramai-ramai menata rambutnya tinggi-tinggi dengan hairspray seperti Tracy, berpakaian seperti Tracy, berdansa seperti Tracy. Singkatnya, bermimpi mendapat keberuntungan seperti Tracy.

Sekilas, keikutsertaan Tracy di acara Corny Collins Show terasa seperti bentuk resistensi. Tapi apa yang terjadi ketika hal itu justru berubah menjadi tren? Di sinilah konsep post-modernisme memainkan perannya. Hal yang sepintas lalu tampak seperti sebuah pemberontakan pada akhirnya juga tetap akan digemari. Sebuah perlawanan kemudian menjadi tren baru, yang kelak perlu dilawan lagi.

Isu kedua yang tak kalah menarik adalah mengenai rasialisme. Di acara Corny Collins Show, semua penari harus berkulit putih. Untuk mereka yang berkulit hitam, dibuat sesi khusus sekali dalam sebulan yang dinamai “Hari Negro”. Hanya pada hari inilah para “negro” boleh berdansa, dengan host yang juga berkulit hitam, Motormouth Maybelle (Queen Latifah).

Para penari berkulit putih dan hitam tidak boleh menari bersama. Tracy yang mendapatkan hukuman di ruang detensi berkenalan dengan Seaweed (Elijah Kelley), penari tetap Corny Collins untuk program “Hari Negro”. Dari sini Tracy tahu bahwa kawan-kawan kulit hitamnya punya tarian kreasi sendiri yang gerakannya dengan sangat spesifik dinamai Seaweed “so black that no white boys can do it”.

Apa artinya? Dalam hal ini, gerakan tangan dan kaki, goyangan pinggul, anggukan dan gelengan kepala, singkatnya gerakan-gerakan non-verbal, menjadi sebentuk bahasa yang hanya dimengerti oleh orang-orang tertentu. Tarian Seaweed hanya dimengerti oleh kawan-kawan kulit hitamnya, karena bagi mereka, itulah bahasa. Itulah kode yang mereka bangun bersama sebagai akibat dari perlakuan yang mereka terima.

Tidak hanya tarian, sampai saat ini kita juga masih bisa melihat jejak-jejak kulit putih dan kulit berwarna misalnya dalam olahraga basket dan musik rap. Ungkapan “white boys can’t jump” pernah sangat populer di kalangan penggemar basket kulit hitam di Amerika sebelum NBA menghapuskan doktrin tersebut.

Hal yang sama juga terjadi di musik rap. Eminem dicemooh ketika pertama kali ia memperdengarkan musik rapnya. Lagi-lagi doktrin yang sama, hanya saja kali ini kata “jump” diganti “rap”, menunjukkan bahwa ada hal-hal yang hanya bisa dilakukan dengan baik oleh kulit berwarna dan tidak oleh kulit putih, demikian sebaliknya.

Secara singkat bisa dikatakan bahwa pemisahan penari kulit putih dan hitam adalah residual dari gerakan rasialisme yang pernah sangat booming. Asumsi bahwa kulit putih dan berwarna tidak seharusnya melakukan segala aktivitas bersama, termasuk menari, adalah pengerucutan dari pola pikir bahwa esensi manusia ditentukan dari warna kulitnya, sebuah pemikiran yang sama sekali salah.

Bagaimana dengan kita di Indonesia? Isu-isu rasial mungkin tidak ekstrim berkisar tentang perbedaan warna kulit. Meski demikian, harus diakui permasalahan budaya masih terasa di sana-sini. Berhenti mengkotak-kotakkan manusia berdasar keadaan lahiriahnya, seperti ditunjukkan Tracy di film ini, mungkin bisa menjadi salah satu solusi.

(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 6 April 2008)

No comments