Buku (2)

Bagian satu bisa dibaca di sini.

Beberapa minggu lalu, saya beruntung mendapatkan beasiswa staff exchange dari program Erasmus+ ke Westphalian University, Gelsenkirchen, Jerman. Di sana saya mengajar dan menjadi pengamat di beberapa kelas internasional. Saya memberi kuliah tentang maraknya akun YouTube Islami yang kemasannya pop tapi isinya sebenarnya sangat konservatif. Kami lalu membahas soal kaum Muslim menengah perkotaan yang ideologinya tidak jauh dari konsumsi (mungkin soal ini akan saya tulis secara terpisah). Dari Jerman saya melanjutkan perjalanan ke Austria, persisnya Tannheimer, Innsbruck, lalu Vienna. Semua dengan kereta api.

Sepanjang perjalanan, saya perhatikan banyak orang menghabiskan waktu dengan membaca notebook bersampul kulit warna hitam atau coklat. Hmm, apa ya itu? Setelah berupaya mengintip secara elegan, ternyata mereka lagi pada baca pakai Kindle, e-book reader dari Amazon.

Saya sudah sering mendengar tentang Kindle, tapi enggak pernah minat. Buat saya buku itu ya, harus bisa dilihat, diraba, diterawang. Romantisme membaca buku fisik tidak akan tergantikan, ya gak sih. Buku kan enaknya bisa dicoret-coret, distabilo, dibaca sambil pup, sambil tiduran (kadang ketiduran beneran), bisa sok modus pinjem-pinjeman sama gebetan.. dan masih banyak lagi.

Tapi melihat orang-orang ini baca Kindle di kereta membuat iman saya goyah. Kok, kayaknya asyik bener?

Kindle ternyata enggak gede-gede amat (seperti bayangan saya sebelumnya). Pas di genggaman. Satu Kindle bisa memuat hingga ribuan buku, cocok buat book poligamists (pembaca beberapa buku sekaligus dalam waktu yang bersamaan) seperti saya.


Hayo tebak ini buku apa?

IMHO buku itu kayak musik, ada mood-nya. Buku non fiksi enak dibaca dalam keadaan terang. Mungkin di sela-sela pekerjaan kantor, sehabis makan siang, saat otakmu sedang dalam keadaan santai dan siap menerima pengetahuan baru. Sementara buku puisi cocok dibaca malam hari, dengan pencahayaan minimal, sambil menyeruput teh atau kopi lantas merasa ambyar sendiri.

Nah, kebetulan di perjalanan kemarin saya hanya membawa satu buku, yaitu 50 Reasons the World Could End karya kolumnis sains The Guardian, Alok Jha. Isinya 50 kemungkinan dunia chaos sampai bubar, mungkin diakibatkan oleh cyber terrorism, transhumanisme, euforia karena manusia kecanduan pil, kena virus mematikan, mega tsunami, dan lain-lain yang pokoknya suram lah.

Padahal, dalam perjalanan ke Innsbruck, kami melewati pemandangan berupa lembah, gunung, dan padang bunga yang luar biasa bagus. Langit biru sebiru-birunya. Bunga-bunga bermekaran secantik-cantiknya. Masa iya pemandangan sebagus itu ditemani dengan buku yang berisi berbagai skenario kiamat? Rasanya kayak lagi berduaan sama pacar tapi dengerin Chop Suey-nya System of a Down. Kalau kata admin Mojok: ramashook.

Terpaksa saya berhenti membaca. Dan iri setengah mati pada para pembaca Kindle yang punya direktori ribuan buku di gawai mereka. Kalau saya punya Kindle saat itu, saya bakal baca buku puisi sambil menikmati pemandangan Salzburg yang jadi latar film Sound of Music dari balik jendela.

Pulang ke Indonesia, saya membulatkan tekad beli e-book reader. Telat banget emang. Teman-teman saya kayaknya sudah pada pamer direktori buku di Kindle masing-masing dari zaman Fadli Zon masih iklan Daia.


Dag dig dug duerrr!

Tapi saya memang selalu jadi yang terakhir untuk pakai teknologi, sih. Dulu saat orang-orang sudah pada pakai internet banking, saya tetap saja ngantre di teller dan mengira token itu semacam tamagochi. Saya juga orang terakhir di kantor yang pakai BlackBerry, terakhir pakai Android, terakhir unduh WhatsApp, nyinyirin teman yang pakai smartwatch, dan seterusnya. Saya jadul dan saya bangga.

Di Tokopedia saya memesan Kindle Paperwhite. Barang langsung diantar hari itu juga ke kampus dengan GoSend. Saya lalu menghabiskan semalam suntuk berburu buku di Amazon dan situs-situs open source seperti Project Guttenberg.

Dan hasilnya....

YA ALLAH ENAK BANGET INI KINDLE.

Rasanya persis kayak lagi baca buku beneran. Enggak backlight, enggak bikin mata sakit, dan bisa di-highlight pakai sentuhan ujung jari. Kalau nemu kata yang kita enggak tahu artinya, cukup di-highlight dan langsung nongol entri dari kamus Oxford yang memang tersedia secara offline. Huruf bisa diatur jenis font dan ukurannya. Operasionalnya pun gampang sekali.

Saya jadi merasa jatuh cinta (lagi) dengan buku. Sekarang tiap naik kereta pulang dan pergi ke kantor, saya pasti bakalan tutup hape dan buka Kindle, sambil denger lagu di mp3. So old school. Saya jadi mengalami lagi bagaimana gandrungnya saya dengan buku, khususnya ketika kuliah. Kadang saya bisa satu-dua hari enggak keluar kosan, cuma goler-goler di kasur baca buku seharian sambil dengerin  playlist bikinan sendiri di WinAmp (now you know I'm that old).

Dengan Kindle, saya menamatkan Men Without Women-nya Haruki Murakami setebal 290 halaman ++ dalam waktu tiga hari saja! Buat saya ini prestasi besar, mengingat akhir-akhir ini susah banget baca buku sampai habis. Seringnya berhenti di tengah jalan karena ya enggak sanggup aja baca sampai selesai. Buka buku pasti teralihkan oleh hape. Pakai Kindle entah kenapa beda. Lebih fokus dan menikmati, tahu-tahu sudah selesai.

Efeknya adalah saya jadi males beli buku fisik. Di gudang atas masih ada 2 kardus isi buku yang belum sempat dibuka (dan entah kapan akan dibuka). Dan sementara buku-buku itu menumpuk berdebu dimakan rayap, saya sudah mulai membaca e-book berikutnya..

1 comment