Satu Ciuman di Mombasa


Photo by Tim Mossholder on Unsplash


Etgar Keret

Sejenak aku kesal. Tapi dia memintaku tenang; aku tak punya alasan untuk marah. Dia akan mengawiniku, kalau perlu, mengingat kedua orangtua kami, bahkan di gedung. Bukan itu soalnya. Masalahnya adalah dahulu - tiga tahun lalu, di Mombasa, ketika dia dan Lihi pergi ke sana pada masa perang. Mereka pergi hanya berdua, karena si lelaki yang pernah jadi pacar Lihi berhenti jadi tentara. Di Mombasa, mereka tinggal di semacam rumah sewa tempat nongkrong banyak orang, kebanyakan asal Eropa. Lihi tidak mau meninggalkan tempat itu karena dia jatuh cinta pada seorang Jerman yang tinggal di salah satu kabin.

Dia juga tak keberatan, dia menikmati kesunyian di sana. Dan meski gedung itu mau meledak oleh obat-obatan dan hormon, tak ada yang mengusiknya - mungkin mereka bisa merasakan dia ingin sendirian - kecuali seorang Belanda yang tiba sehari setelah mereka dan tak pergi-pergi sampai dia pulang. Dan lelaki itu tak mengusiknya pula, hanya sering memandangi. Hal itu tak mengganggunya. Ia kelihatan seperti lelaki yang baik, sedikit sedih, tapi jenis sedih yang tak disertai keluhan. Tiga bulan mereka di Mombasa, dan dia tidak pernah mendengar lelaki itu bicara. Kecuali sekali, seminggu sebelum mereka pulang, sesuatu yang tak berarti, seolah ia tak mengatakan apa-apa.

Dia menjelaskan pada lelaki itu bahwa waktunya tidak tepat, tentang pacarnya, yang seorang juru teknik apalah di angkatan udara, bagaimana mereka sudah saling kenal sejak SMA. Dan ia hanya tersenyum dan mengangguk dan kembali ke pondoknya. Ia tak lagi bicara padanya, tapi terus menatap. Kecuali suatu waktu, dia baru ingat, lelaki itu bicara padanya sekali lagi, pada hari dia pulang, dan lelaki itu mengatakan hal paling lucu yang pernah dia dengar. Di antara dua orang di dunia, katanya, ada sebuah ciuman. Lelaki itu sebenarnya ingin bilang, bahwa ia telah memandanginya selama tiga bulan dan memikirkan tentang ciuman mereka, seperti apa rasanya, berapa lama, dan bagaimana perasaan mereka. Dan sekarang dia akan pergi, dan dia punya pacar, tapi hanya satu ciuman itu, lelaki itu ingin tahu apa dia setuju. Sebenarnya hal itu lucu, caranya bicara, agak bingung, mungkin karena bahasa Inggrisnya tak begitu bagus atau memang ia tak pandai bicara. Tapi dia setuju. Dan mereka berciuman. Dan setelah itu, ia tidak mencoba melakukan hal lain dan dia kembali ke Israel bersama Lihi.

Pacarnya menjemput di bandara, berseragam dan mengendarai mobil tentara. Mereka lalu tinggal bersama, dan untuk membuat kehidupan seks lebih seru, mereka mencoba-coba hal baru. Mereka saling ikat di tempat tidur, meneteskan lilin panas, suatu kali bahkan mencoba anal, yang sakit minta ampun, dan di tengah-tengah permainan, keluar tahi. Pada akhirnya mereka putus, dan di sekolah dia bertemu aku. Dan sekarang, kami akan menikah. Dia tak punya masalah dengan itu.

Dia bilang aku yang pilih gedung dan tanggal dan apapun yang kumau, karena benar-benar tak ada masalah buatnya. Sama sekali bukan itu soalnya. Aku sama sekali tidak cemburu pada si lelaki Belanda. Dia mungkin sudah mati overdosis atau terkapar mabuk di jalanan Amsterdam, atau memperoleh gelar Master di bidang apalah, yang bahkan terdengar lebih buruk. Apapun itu, hal ini sama sekali bukan tentang ia, ini tentang masa itu di Mombasa. Selama tiga bulan, seseorang duduk dan menatapmu, membayangkan sebuah ciuman. ***


Dari cerpen Etgar Keret, "One Kiss on the Mouth in Mombasa" dalam buku The Nimrod Flip-Out (Australia: Picador, 2004), hlm. 37-40. Terjemahan oleh Andina Dwifatma.

3 comments