tag:blogger.com,1999:blog-11116403156908770542024-03-19T11:24:23.087+07:00Catatan yang Tercecerpercuma saja berlayar, kalau kau takut gelombangAndina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.comBlogger208125tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-72860091701360779982023-12-03T12:43:00.011+07:002023-12-04T12:32:46.109+07:00Membaca Demi Kesenangan<p>Salah satu <i>unintended consequences </i>dari keputusanku melanjutkan studi doktoral adalah kehilangan kemampuan "membaca demi kesenangan" alias <i>reading for pleasure</i>. Setiap kali membaca buku, jurnal, atau artikel apapun selalu ada pertanyaan yang membayang-bayangi: akankah bacaan ini berguna untuk disertasiku? Apakah bacaan ini akan membantuku lulus tepat waktu? Kalau tidak berguna dan tidak membantu, bukankah seharusnya aku <strike>menangis</strike> mencari bacaan lainnya saja?</p><p>Bagi orang yang selalu menjadikan buku sebagai teman, kehilangan kemampuan <i>reading for pleasure </i>sungguh menyiksa. Rencananya, sebagian besar waktuku saat S3 ini akan kumanfaatkan untuk membaca biar kesepian tidak terasa begitu menggigit. Tetapi ternyata aku resah saat tidak membaca, dan resah juga ketika membaca.</p><p>Sampai akhirnya saat berjalan-jalan ke toko buku minggu lalu, kutemukan buku <i><a href="https://stolenfocusbook.com/" target="_blank"><span style="color: red;">Stolen Focus</span></a>: Why You Can't Pay Attention </i>oleh Johann Hari. Mas Johann (tidak <i>tak uuk</i> karena dia bukan Mas Joko) bilang, saat ini kita memang hidup pada zaman di mana kemampuan orang untuk fokus berkurang drastis. Mengutip pemikiran psikolog Hungaria-Amerika Mihaly Csikszentmihalyi, Mas Johann bilang orang semakin sulit mencapai <i>state of flow </i>saat melakukan apa pun, termasuk membaca. Lawan dari <i>flow </i>adalah <i>fragmented, </i>dan kondisi itulah yang secara umum terjadi di seluruh dunia. Orang membaca sepotong-sepotong, menulis sepotong-sepotong, dan berpikir pun sepotong-sepotong.</p><p><br /></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiK9zK7h5ul032IzQumLG-V1GtLTnj7ABRyT9VDA7bCf97nfMOOuXYg2PZ5Z-0uRSysh8iWW-WY0mHGBJJGfEGzroOfLtp_JU8pTi7JaUgQSvGuywXZQyp6YSXJYcoYBN0cESvcnG293T2FkRuFdSBhkUfhjHmLJIg6LUiKgb0YPZwZlmTPwuSGZFjqYA/s918/Screenshot%202023-12-03%20155626.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="355" data-original-width="918" height="248" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiK9zK7h5ul032IzQumLG-V1GtLTnj7ABRyT9VDA7bCf97nfMOOuXYg2PZ5Z-0uRSysh8iWW-WY0mHGBJJGfEGzroOfLtp_JU8pTi7JaUgQSvGuywXZQyp6YSXJYcoYBN0cESvcnG293T2FkRuFdSBhkUfhjHmLJIg6LUiKgb0YPZwZlmTPwuSGZFjqYA/w640-h248/Screenshot%202023-12-03%20155626.jpg" width="640" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i><a href="https://www.youtube.com/watch?v=vIM48e4sZFs" target="_blank"><span style="color: red;">Mas Joko</span></a> yang dimaksud</i></td></tr></tbody></table><br /><div>Mas Johann menawarkan 14 butir penyebab menurunnya fokus pada umat manusia, dan media sosial (yang mudah saja kita tuduh sebagai tersangka utama) hanyalah salah satunya. Penyebab lain bervariasi, dari mulai kurang tidur alias <i>sleep deprivation </i>yang ternyata juga menjadi gejala umum masyarakat seluruh dunia, nutrisi yang tidak seimbang, sampai terlalu banyak stimulasi yang membuat orang jadi susah melamun. Lho, iya--otak kita justru lebih mampu fokus ketika kita mengizinkannya tidak fokus untuk sementara.</div><div><br /></div><div>Melamun memberi otak kita kesempatan untuk <i>leyeh-leyeh. </i>Otak jadi mampu menghubungkan fakta-fakta yang sebenarnya sudah ada, menjadi sebuah kesimpulan yang lebih utuh. Itulah mengapa kadang kita mendapat gagasan saat sedang boker, mandi, atau kegiatan-kegiatan merenung lainnya. Dan dengan semakin banyaknya stimulasi (podcast! serial baru! video viral!) kita kehilangan kesempatan ini.</div><div><br /></div><div>Analisis lain dari Mas Johann yang cukup membuatku tertampar adalah, jangan-jangan, kenikmatan membaca itu hilang karena platform utamaku dalam mengkonsumsi informasi juga sudah berubah. Menyitir sabda sosiolog Kanada Marshall McLuhan yang terkenal, "the medium is the message", dari mana aku memperoleh informasi ternyata lebih mempengaruhiku daripada informasinya itu sendiri.</div><div><br /></div><div>Twitter membuatku terbiasa menyerap informasi secara fragmentaris, maksimal 280 karakter. Ruang yang terbatas di Twitter juga mengharuskan penggunanya merangkum apa yang mau disampaikan agar efektif. Tidak ada ruang untuk bunga-bunga. Aku jadi tidak sabaran saat membaca panjang--maunya langsung ke inti. Bacaanku yang selama dua tahun terakhir didominasi oleh tulisan-tulisan akademik juga turut berkontribusi, sebab dalam tulisan akademik segalanya harus terstruktur dan argumen disampaikan di depan. Tidak ada waktu untuk <i>preambule </i>yang lembut dan indah.</div><div><br /></div><div>Kebiasaan membaca dengan Kindle tampaknya juga agak berpengaruh. Meskipun secara teknis Kindle itu ya buku, tapi rupanya biar bagaimana pun ada semacam <i>screen inferiority</i> di sini. Sejumlah <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7463273/" target="_blank"><span style="color: red;">riset</span></a> sudah mengkonfirmasi bahwa membaca dengan e-reader tidak memberikan retensi informasi sebaik buku fisik. Untukku sendiri, karena Kindle itu modelnya di-<i>swipe, </i>aku jadi tanpa sadar bergerak lebih terburu-buru. Sementara saat membaca buku fisik, aku bisa berlama-lama memberi tanda dan komentar pada bagian-bagian yang kuanggap penting.</div><div><br /></div><div>Saat menulis ini aku juga jadi teringat kebiasaan saat masa kecil, yaitu mengoleksi kaset. Setiap habis membeli kaset baru, aku akan memutarnya di <i>tape compo </i>sambil berbaring, lalu mendengarkan lagu demi lagu sambil membaca lirik pada sampul. Sampai sekarang aku masih ingat lirik lagu-lagu Oasis. Kalau dibandingkan dengan sekarang, mendengarkan lagu sambil membaca lirik di YouTube Music, rasanya susah sekali hafal liriknya.</div><div><br /></div><div><br /></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3cpyhxrrp39kBur9kRe5XZtBTqNj0mHLbYdqVnbADtq28nH8GFZEnknfPmSz-2ALx3yyujfEq42M7cbT-TLEbKrTDw_0iftEFTXjJ69LpGH-FLUbzY0XUj0S9OaxubMqyJ_7UlImhC9e9NUHSX42iFI1W25RGG6GAXPaLsZwQjfHUV0U-pcarLCGEVUk/s800/sg-11134201-22100-qv3v5rqxwdiv04.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="800" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3cpyhxrrp39kBur9kRe5XZtBTqNj0mHLbYdqVnbADtq28nH8GFZEnknfPmSz-2ALx3yyujfEq42M7cbT-TLEbKrTDw_0iftEFTXjJ69LpGH-FLUbzY0XUj0S9OaxubMqyJ_7UlImhC9e9NUHSX42iFI1W25RGG6GAXPaLsZwQjfHUV0U-pcarLCGEVUk/w400-h400/sg-11134201-22100-qv3v5rqxwdiv04.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Ini namanya kaset ya, adik-adik. Gambar dari <a href="https://shopee.co.id/kaset-pita-oasis-whats-the-story-morning-glory-i.37280433.4169856800" target="_blank"><span style="color: red;">sini</span></a>.</i></td></tr></tbody></table><div><br /></div><div>Terlepas dari apakah cerita tentang menghafalkan lirik itu memang bukti lain dari <i>screen inferiority</i> atau sekadar efek dari pertambahan usia, kurasa langkah-langkah tertentu memang perlu diambil demi mengembalikan kenikmatan membaca. Aku mencoba untuk tidak terlalu aktif lagi di Twitter, dan hanya menggunakan Kindle saat <i>travelling</i>. Selebihnya, kembali pada buku fisik.</div><div><br /></div><div>Yang terakhir: selain <i>reading for pleasure</i>, ternyata aku juga kehilangan kecakapan <i>writing for pleasure </i>alias menulis demi kesenangan. Mau senang bagaimana, jika selama dua tahun terakhir hidupku penuh dengan <i>review</i> dari dosen pembimbing dan editor jurnal, yang kadang masukan-masukannya membuatku mikir aku ini sebenarnya bisa nulis apa nggak sih.</div><div><br /></div><div>Dan ternyata, untuk menemukan kembali <i>writing for pleasure, </i>nge-blog adalah jawabannya. <i>I'm home</i>. </div>Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-53651440461485843252022-09-10T12:06:00.007+07:002022-09-10T13:29:05.721+07:00Mekah I'm Coming: Sebuah Satire tentang Haji HoaksCerita yang baik selalu berkisah tentang karakter-karakter yang, sebagaimana manusia dalam kehidupan nyata, ingin mencapai sebuah tujuan dengan segala keterbatasannya. Ibarat halaman buku yang <i>page-turning</i>, film bagus akan membuat penonton duduk lekat menatap layar, penasaran mengikuti nasib para tokoh—ikut cemas ketika ada tantangan yang menjauhkan mereka dari tujuan, ikut sedih ketika mereka gagal, dan ikut gembira ketika akhirnya yang diidamkan berhasil terwujud.<div><div><br /></div><div>Elemen inti dalam penulisan kreatif ini tampil gemilang di skenario <i>Mekah I’m Coming </i>(MIC). Tokoh Eddy (Rizky Nazar) berperan sebagai seorang <i>anti-hero</i> yang usahanya gagal melulu, tapi memiliki cita-cita mulia, yaitu naik haji. Masalahnya, Eddy ingin naik haji bukan semata-mata demi menunaikan rukun Islam, tapi agar bisa melamar Eni (Michelle Ziudith), anak Pak Soleh (Totos Rasiti) yang baru pulang dari Mekah. Eddy, yang sudah menjual segala harta bendanya demi bisa menikahi pujaan hati, malah kena tipu biro haji abal-abal dan terancam gagal kawin.</div><div><br /></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj838IEUVRV-jVS8P0t2G5kHCyWhn5DDL0VYeRE-VDaiiUhUihU7m68LBhffAN-gAkTKlgplLV4roaaRfPKpzykOn3IJ7QnLkgg22MDEoqS3EIYXqFAZxrnF2Lb5J_yGZwLM_-X62IJRgpY_tmCtA6Wp3xpVV8nFP_dtY-xXxfipg5NztBbvSv2tKFT/s1280/MV5BYWRjOTg5ZDQtNTVlMy00OWUzLTg0YTktMmFjOGQ3NTZjMzc4XkEyXkFqcGdeQXVyMTEzMTI1Mjk3._V1_.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1280" data-original-width="895" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj838IEUVRV-jVS8P0t2G5kHCyWhn5DDL0VYeRE-VDaiiUhUihU7m68LBhffAN-gAkTKlgplLV4roaaRfPKpzykOn3IJ7QnLkgg22MDEoqS3EIYXqFAZxrnF2Lb5J_yGZwLM_-X62IJRgpY_tmCtA6Wp3xpVV8nFP_dtY-xXxfipg5NztBbvSv2tKFT/w448-h640/MV5BYWRjOTg5ZDQtNTVlMy00OWUzLTg0YTktMmFjOGQ3NTZjMzc4XkEyXkFqcGdeQXVyMTEzMTI1Mjk3._V1_.jpg" width="448" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Credit: imdb.com</i></td></tr></tbody></table><div><br /></div><div>Dibandingkan dengan seluruh film dalam daftar nominasi Film Pilihan Tempo tahun ini, MIC memiliki skenario yang paling ‘bulat’ dan utuh. Jalan ceritanya logis, dengan hubungan sebab-akibat yang pas. Eddy yang kepalang basah sudah di Jakarta, memilih bekerja di toko busana muslim di Tanah Abang, ketimbang pulang dan menanggung malu di kampung. Pilihan yang tidak ‘luhur’ ini terasa logis karena penonton sebelumnya sudah dikenalkan dengan karakter Eddy yang akrab dengan kesialan.</div><div><br /></div><div>Eddy, misalnya, diceritakan sebagai montir yang tidak becus memperbaiki kendaraan rusak. Truk yang ia sewa untuk penyambutan haji camer ternyata remnya putus, dan mobil mogok yang pernah ia bantu perbaiki malah meledak. Adegan-adegan ini menuntun penonton untuk memahami Eddy sebagai si biang onar, tanpa perlu penjelasan verbal.</div><div><br /></div><div>Tidak ada adegan yang nyelonong tanpa sebab, kecuali mungkin<i> slapstick</i> Elly Sugigi sebagai pelanggan foto yang lagi-lagi mengeksploitasi fisik sebagai bahan candaan. Padahal, tanpa pelanggan tonggos pun cerita masih tetap berjalan, karena jalan ceritanya sendiri sudah cukup kuat untuk membuat penonton tertawa, meringis, bahkan ikut deg-degan. Tokoh Bagio (Jidate Ahmad, bocah yang dulu terkenal sebagai YouTuber<i> review</i> pomade, luar biasa bagaimana media sosial bekerja!) si anak kampung yang hobi bermedsos, juga dimunculkan di awal cerita bukan tanpa maksud.</div><div><br /></div><div>"<i>One must never place a loaded rifle on the stage if it isn't going to go off. It's wrong to make promises you don't mean to keep</i>", demikian kata penulis besar Rusia, Anton Chekov. Prinsip penulisan yang kemudian dikenal dengan nama Chekov’s Gun inilah yang hadir justru lewat tokoh Bagio. Potongan adegan Bagio mengucap “hai, gaes…” di depan kamera saat adegan awal pesta penyambutan Pak Soleh dari Mekah, merupakan petunjuk peran penting bocah itu dalam membawa cerita mencapai puncaknya. Di film ini, nyaris tidak ada adegan yang sia-sia.</div><div><br /></div><div>Resolusi konflik lewat tokoh Fajrul (Ephy Pae) juga digarap dengan teliti. Fajrul tidak muncul tiba-tiba di akhir film sebagai karakter penyelamat tokoh utama dengan cara yang nyaris mustahil, atau dikenal dengan prinsip <i>deus ex machina</i> yang amat dihindari dalam penulisan cerita, melainkan telah melalui berbagai proses yang akhirnya membawanya ke desa Eddy. Dengan demikian, kehadiran Fajrul terasa sebagai plot yang wajar, konsekuensi logis dari pertemanannya dengan Eddy dan keberuntungannya menemukan bukti foto di toko tempatnya bekerja, bukan upaya penulis skenario yang buru-buru ingin menamatkan cerita.</div><div><br /></div><div>Dalam film ini memang tidak ada karakter atau dialog yang menonjol, tapi semuanya dijalin dengan baik seperti sebuah ansambel. Penulis skenario sekaligus sutradara, Jeihan Angga, berhasil membangun plot yang utuh. Ibarat orang yang mau melintasi sungai, Jeihan berhasil menyusun batu-batu sebagai pijakan untuk sampai ke seberang. Hasilnya adalah sebuah film komedi yang berisi.</div><div><br /></div><div><b>Menjadi haji</b></div><div>Greg Barton dalam bukunya Biografi Gus Dur (<i>The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid</i>, LKiS, 2002) bercerita mengenai tokoh yang berpengaruh terhadap hidup Gus Dur, yaitu Kiai Wahab Chasbullah. Pada 1912, Wahab Chasbullah dan Bisri Syansuri pergi naik haji pada usia 30 tahunan dan kemudian menetap di Mekah selama dua tahun untuk memperdalam ilmu mereka. Barangkali inilah ilustrasi bagaimana haji dipandang sebagai ‘pangkat sosial’ tersendiri di kalangan masyarakat Indonesia. Para haji identik dengan orang yang berharta dan berilmu, sehingga layak dijadikan rujukan.</div><div><br /></div><div>Ali Shari’ati dalam buku <i>Haji</i>-nya yang legendaris juga memaparkan mengapa ibadah tersebut berada di urutan terakhir dalam rukun Islam. Zaman dahulu, untuk bisa berhaji orang harus menempuh perjalanan berbulan-bulan tanpa kepastian bisa kembali pulang menemui anak, kerabat, dan harta mereka. Haji adalah ibadah bagi mereka yang telah memiliki, sekaligus siap kehilangan, segalanya.</div><div><br /></div><div>Di sinilah menariknya MIC. Film ini mengajak kita bermain-main dengan ide yang dipandang maha-serius oleh orang-orang beragama. Bagaimana jika siapa saja, tidak perlu berilmu tapi punya duit, bisa dipanggil Pak Haji/Bu Haji dan dijadikan rujukan? Atau lebih parah lagi, orang yang hanya mengaku saja berangkat ke Mekah, bisa juga dipanggil haji? Bagaimana jika haji menjelma sekadar industri yang dimanfaatkan para penipu untuk mengeruk harta orang-orang lugu yang hanya ingin beribadah?</div><div><br /></div><div>Temuan sosial dalam MIC juga tak kalah menariknya. Pak Rojak (Rasyid Karim), Pak Somad (Fanny Fadilah), juga Cici Tegal sebagai pemilik warteg lebih memilih bertahan di Jakarta daripada pulang kampung. Inilah gambaran betapa tingginya harapan dan pandangan orang terhadap para calon haji, sehingga ketika mereka menemui kegagalan yang sebetulnya disebabkan oleh kecurangan orang lain, hukuman sosial yang diberikan tak kalah kejam. “Haji hoaks.. haji hoaks..” begitu seru anak-anak kampung saat Eddy akhirnya pulang, menemui ibunya yang sakit keras. ***
</div><div><br /></div><div><br /></div><div><i>Seperti dimuat dalam laporan khusus </i>Film Pilihan Tempo 2020<i> tayang pada Senin, 19 Desember 2020</i></div></div>Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-33669519026175801702021-11-03T12:17:00.004+07:002021-11-03T18:13:00.461+07:00Jang I-Jun menangis seorang diri<p><span style="font-family: inherit;">Kesedihan karena perpisahan orangtua barangkali adalah salah satu kesedihan paling ganjil di dunia. Kau kehilangan sesuatu tapi bukan karena kelalaianmu. Kau merasa ada yang kurang dalam hidupmu tapi tidak ada yang bisa kaulakukan untuk menggenapinya. Kau ingin menangis, tapi semua orang berkata yang terjadi bukan salahmu, lantas apa yang membuatmu bersedih?</span></p><p>Dari luar, kau tampak baik-baik saja. Kau tetap berdiri tegak dan nilai-nilaimu tetap bagus, tapi hatimu merana. Kau jadi lebih banyak diam dan menghadapi dunia dengan enggan karena ada perasaan malu yang diam-diam menyelip ke hatimu. Temanmu punya ayah dan ibu, sementara kau hanya punya salah satu, atau mungkin tidak dua-duanya. Kau tidak <i>lengkap</i> sebagai anak. Kau sebisa mungkin menyembunyikan fakta ini dari orang-orang di sekitarmu. Kau gelisah tiap kali pembicaraan mengarah ke soal keluarga dan kau memalingkan wajah tiap melihat temanmu dipeluk atau dicium orangtuanya.</p><p><span style="font-family: inherit;">Sesungguhnya kau mengerti keadaan orangtuamu. Kadang-kadang orang dewasa berhenti saling mencintai, atau mereka masih saling menyayangi tapi tak sanggup hidup bersama. Kau tersenyum dan bilang kau memahami keputusan mereka dan kau memang tidak bohong soal itu. Tetapi kau juga tidak bisa membungkam sesosok manusia kecil di dalam hatimu yang terus saja berteriak-teriak pilu--</span><i style="font-family: inherit;">kenapa, kenapa, kenapa kalian tidak bisa selalu mencintai dan kita terus hidup bersama selamanya....</i></p><p><span style="font-family: inherit;"><br /></span><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDdKSSm6lmw3EU31L7pZRDM9Z0ogmFmiEhO8UNU4dAUXdn55r5CmPudM_UXf0iVLQLzzRmq9l7oJS8b_nJjiLK2yysYVA7V-hpHVPsJgkJ4nPtO0HmP3mIeYfobuv9cj4tB-Ho4P_PzjA/s1257/Screenshot+2021-11-03+112239.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="655" data-original-width="1257" height="334" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDdKSSm6lmw3EU31L7pZRDM9Z0ogmFmiEhO8UNU4dAUXdn55r5CmPudM_UXf0iVLQLzzRmq9l7oJS8b_nJjiLK2yysYVA7V-hpHVPsJgkJ4nPtO0HmP3mIeYfobuv9cj4tB-Ho4P_PzjA/w640-h334/Screenshot+2021-11-03+112239.jpg" width="640" /></span></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i><span style="font-family: inherit;">The whole world cried with I-Jun during this scene....</span></i></td></tr></tbody></table><span style="font-family: inherit;"><br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Si manusia kecil ini tinggal lama sekali di dalam hatimu. Sesekali dia menjerit, menangis lirih, atau merintih, tapi kau mengabaikannya. Kau juga tidak memberinya makan. Kau berharap dia akan kelaparan dan mati. Kau menggunakan seluruh energimu untuk tampak kuat dan berhasil dalam kehidupan. Kau tidak mau terpuruk dan jadi pecundang dan orang akan melihatmu sambil berdesis, "<i>tuh kan, apa kubilang</i>.."</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Sampai Jang I-Jun menyadarkanmu bahwa si manusia kecil adalah dirimu yang lain.</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Sepertimu, orangtua I-Jun (Ki Eun Yoo,<i> Hometown ChaChaCha</i>) juga berpisah karena kebodohan mereka. Tapi I-Jun cukup beruntung karena orangtuanya menyadari kesalahan yang mereka buat dan berusaha memperbaikinya. Kalau itu kau, kau akan nangis di tempat sambil memaki-maki sekaligus menciumi pipi kedua orangtuamu. Kau akan memaafkan mereka dan menganggap perceraian kemarin hanyalah <i>prank</i> yang tidak lucu.</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Tapi, I-Jun, yang sangat dewasa, memilih menangis seorang diri di <i>playground </i>karena tak ingin orangtuanya bersedih di tengah kabar bahagia mereka. Kedua orangtuanya panik karena sampai malam I-Jun tak pulang. Ibu I-Jun memintanya jangan memikirkan orang lain dan bersikap seperti anak-anak pada umumnya dan I-Jun pun meratap,</span></p><p><span style="color: #444444;"><span style="background-color: white;"><i>"Sejujurnya, aku ingin makan bersama keluarga, bukan hanya saat aku ulang tahun, atau saat aku mendapat prestasi di sekolah. Aku selalu ingin kita tinggal serumah..."</i></span></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Perubahan karakter I-Jun dari anak yang sangat santun, sopan, tenang, dan dewasa, menjadi bocah yang dengan putus asa mencurahkan hati menangisi perceraian orangtuanya, membuatmu terguncang. Kau teringat si manusia kecil di dalam hatimu. Kau panggil dia dan kalian menyaksikan adegan itu bersama-sama.</span></p><p><span style="font-family: inherit;">"Itu kau dulu, ya? Bertahun-tahun yang lalu," katamu takut-takut.</span></p><p><span style="font-family: inherit;">"Iya," si manusia kecil membersit hidung. "Tapi kau tidak pernah membiarkanku keluar."</span></p><p><span style="font-family: inherit;">"Aku tidak ingin orang lain melihatmu."</span></p><p><span style="font-family: inherit;">"Kenapa?"</span></p><p><span style="font-family: inherit;">"Mereka akan mencibirmu."</span></p><p><span style="font-family: inherit;">"<i>So what</i>? Aku tidak malu karena menangis. Aku pantas menangis. Aku akan menangis sampai air mataku dua ember besar."</span></p><p><span style="font-family: inherit;">Kau tertawa. Si manusia kecil tertawa. Kau mengulurkan lenganmu dan memeluknya dan membiarkan dia menangis lagi dan lagi. Tak seperti Jang I-Jun, dia tidak menangis seorang diri.</span></p>Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-62482418605763140782021-10-13T18:40:00.007+07:002022-09-10T16:51:36.074+07:00Buku-buku dari Masa Kecil<p>Gara-gara baca <a href="https://www.goodreads.com/book/show/58453106-trocoh" target="_blank"><span style="color: red;">Trocoh</span></a>, dan kemudian diajak Mas Budi Warsito seseruan ngobrol di acara<i> launching </i>buku itu, aku jadi mengingat-ingat bacaan dan relasiku dengan buku saat kecil.</p><p>Dulu aku punya taman bacaan di rumah yang kuberi nama "Cobain" (<i>yes, after Kurt</i>!). Abangku senang memutar "Smells Like Teen Spirit" berulang-ulang jadi pastilah yang namanya Kurt Cobain itu keren sekali. Dan, jika dilafalkan dalam lidah Indonesia, Cobain berarti <i>co-ba-in, </i>sebuah <i>call-to-action </i>yang brilian dalam benak anak kelas dua SD.</p><p>Rencananya, aku akan mempersilakan teman-teman membaca buku koleksiku di sela-sela sesi bermain kami dan kalau mereka mau membawanya pulang, akan kupungut sewa. Tapi, aku lekas menjadi kesal karena teman-teman meletakkan buku-bukuku secara sembarangan, melipatnya di sana-sini, meletakkannya dalam posisi terbalik kemudian ditinggalkan begitu saja, dan seterusnya. Jika mereka bisa memperlakukan bukuku dengan semena-mena di saat pemiliknya ada, apa yang akan mereka lakukan terhadap bukuku jika aku tak di sana? Maka aku ngambek dan Cobain pun ditutup selamanya.</p><p>Meski Cobain berumur pendek, kenanganku padanya cukup panjang. Berikut adalah buku-buku di rak Cobain yang paling berkesan bagiku. Mengikuti Mas <a href="https://www.instagram.com/buswitradio/" target="_blank"><span style="color: red;">Buswitradio</span></a>, daftar ini berisi <a href="http://budiwarsito.net/buku-masa-kanak/" target="_blank"><span style="color: red;">5 buku</span></a>.</p><p><br /></p><p><b>1. STOP (Sporty, Thomas, Oscar, Petra) - Stefan Wolf</b></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh67LbaBBBdhChzZ__1sOO5ZvD1k6Cxl8d5z3Eje2ithS5iitUIfaeLhCNR21dM-D92-dWbL2tfXGZhJq-KKeYqnasb5aYBLj2gskhoIBobImWz08A_n7-_dDKJIDMDxNnLfrnDfV9iRc8/s560/STOP-big.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="481" data-original-width="560" height="550" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh67LbaBBBdhChzZ__1sOO5ZvD1k6Cxl8d5z3Eje2ithS5iitUIfaeLhCNR21dM-D92-dWbL2tfXGZhJq-KKeYqnasb5aYBLj2gskhoIBobImWz08A_n7-_dDKJIDMDxNnLfrnDfV9iRc8/w640-h550/STOP-big.jpg" width="640" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Lupa nama anjingnya. Gambar dari <a href="http://lady-storytelling.blogspot.com/2013/11/wishful-wednesday-20-curhat-buku.html" target="_blank"><span style="color: red;">sini</span></a>.</i></td></tr></tbody></table><br /><p>STOP adalah serial detektif remaja asal Jerman karangan Stefan Wolf. Anggotanya Sporty, Thomas, Oscar, dan Petra, <i>hence the name</i>. Sporty (bukan nama asli) adalah pemimpin kelompok. Anaknya tinggi, hitam, cakep, tipe-tipe cowok yang disukai semua orang. <i>Girls like him, boys want to be him, </i>walaupun nggak menutup kemungkinan ada juga anak laki-laki yang suka dia. Mungkin kalau serial ini di-<i>remake </i>sama Netflix, ceritanya Thomas diam-diam naksir Sporty juga sehingga ada selipan bumbu kisah cinta segitiga.</p><p>Sporty anak yang pintar, sopan, dan jago berkelahi. Dia nggak pernah belajar dan bikin PR lama-lama tapi selalu jadi murid terbaik. Dia naksir (dan ditaksir) Petra tapi nggak pernah ada kata jadian di antara mereka. Mungkin kalau di Indonesia Sporty itu kayak Mas Boy. <i>Terserah boy, ku hanya mengingatkaaaan...</i></p><p>Tokoh kedua, Thomas, adalah otak kelompok. Si anak super cerdas nan cupu yang kalau gugup selalu mencopot kacamata dan mengelapnya berulang-ulang. Adapun Oscar hobinya makan coklat dan ayahnya punya perusahaan (coklat?) sehingga dia yang paling kaya di antara mereka. Petra gadis pintar, jago berenang, dan tentu saja, gebetannya Sporty.</p><p>Gara-gara STOP, aku jadi terobsesi mengarang cerita detektif. Kutulisi buku-buku Sinar Dunia dengan kisah kasus-kasus petualangan rekaan sendiri. Yang paling fenomenal, cerita detektif dengan tokoh dua bersaudara Liam dan Noel Gallagher. <i>Like, what??? </i>Kalau Liam dan Noel beneran jadi detektif, mereka cukup memecahkan satu kasus saja yaitu kenapa Oasis bubar.</p><p><b><br /></b></p><p><b>2. Buku Pintar Seri Senior - Iwan Gayo</b></p><p>Meski nggak sampai ikut kuis kayak Mas Budi, aku juga menganggap segala hal di dunia ini ada penjelasannya di Buku Pintar. Iwan Gayo pastilah manusia paling rajin di muka bumi. Rasanya senang sekali menelusuri info-info negara, bendera, astrologi, dan macam-macam info yang kalau dipikir-pikir kurang relevan dengan kehidupan anak SD pada masa itu. Dan tentu saja di dalamnya ada bagian cukup panjang tentang biografi Soeharto (eh ini di buku Senior atau Junior, ya?) Saking seringnya baca buku ini, aku sampai hafal Soeharto waktu kecil hampir mati karena menelan koin dan dia tipe orang yang hemat baju. Maksudnya, baju yang baru dipakai 1x digantung dulu (diangin-angin) dan tidak buru-buru dicuci. Ya gitu lah, proses humanisasi <strike>demon </strike> pemimpin...</p><p><br /></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5e5z2ZjMAkXFczcpDyJ0XAq5h5b-EgdouadAxpZtfKwGPCeXYWHZP5TvxC-gjusgxsG26JzAnvsnOfZMWIRLLWfyqVjiXOo9rTFC1NPl1cjznQm7mqEPZaRiyx7ADrKOTwx_d4WWsUrA/s375/buku-pintar-seri-seni-buku-ilmu-pengetahuan-del-1097260.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="375" data-original-width="281" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5e5z2ZjMAkXFczcpDyJ0XAq5h5b-EgdouadAxpZtfKwGPCeXYWHZP5TvxC-gjusgxsG26JzAnvsnOfZMWIRLLWfyqVjiXOo9rTFC1NPl1cjznQm7mqEPZaRiyx7ADrKOTwx_d4WWsUrA/w480-h640/buku-pintar-seri-seni-buku-ilmu-pengetahuan-del-1097260.jpg" width="480" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gambar dari <a href="https://www.jualo.com/buku-ilmu-pengetahuan/iklan-buku-pintar-seri-senior-iwan-gayo" target="_blank"><span style="color: red;">sini</span></a></td></tr></tbody></table><p><b><br /></b></p><p><b>3. Tintin - Herge</b></p><p>Bisa dibilang inilah buku yang mengubah hidupku. Tintin bikin aku kepingin terjun ke dunia jurnalistik karena kayaknya jadi wartawan kok asyik banget? Berpetualang ke sana kemari, terlibat hal-hal asyik, seru, dan menegangkan, punya banyak kawan, bisa pelihara anjing lagi (kalau di rumah nggak bakal boleh sama mama).</p><p>Aku pun jadi terinspirasi membuat artikel berita seperti yang dilakukan Tintin. Kutulis <i>feature</i> dan wawancara pura-pura di beberapa lembar kertas HVS, kulipat, lalu kusatukan dengan steples seperti majalah mini. Rasanya bangga banget sudah jadi "wartawan". Keasyikan masa kecil ini mungkin terekam di bawah sadar sehingga selepas SMA aku mendaftar ke jurusan komunikasi dengan niat belajar jurnalistik.</p><p>Tentu saja, setelah jadi wartawan beneran, aku baru sadar komik ini nggak akurat blas. Mana ada adegan Tintin disuruh editor transkrip wawancara panjang, atau <i>deadline</i> sampai pagi, atau <i>writer's block </i>dan diomelin redpel. Hah!</p><p><br /></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgI_N79KmIOwFVQQ8LIMt5RbIcmUyCk5kzhGxgl7aOAvKu-MbB8DRO-iqDPpsjI36B0zJnAqb1kONzua_i13Irk_LNFpy5rXwhk6PFMtEDHmQymBlaTyf8ycYYTjcdmL7d6YfXCppJh8kQ/s768/The_Adventures_of_Tintin.png" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="576" data-original-width="768" height="480" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgI_N79KmIOwFVQQ8LIMt5RbIcmUyCk5kzhGxgl7aOAvKu-MbB8DRO-iqDPpsjI36B0zJnAqb1kONzua_i13Irk_LNFpy5rXwhk6PFMtEDHmQymBlaTyf8ycYYTjcdmL7d6YfXCppJh8kQ/w640-h480/The_Adventures_of_Tintin.png" width="640" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gambar dari <a href="http://m.batamtoday.com/berita52348-10-Januari-1929-Komik-Tintin-Pertama-Diterbitkan-di-Belgia.html" target="_blank"><span style="color: red;">sini</span></a>.</td></tr></tbody></table><p><br /></p><p><b>4. Goosebumps - R.L. Stine</b></p><p>Cerita seram untuk ukuran anak SD dengan cover yang cukup menggetarkan hati. Yang paling berkesan tuh "Bergaya Sebelum Mati". Ceritanya si tokoh utama punya kamera ajaib yang bisa mengabarkan cara mati orang yang dipotret. Serem banget, kan? Dan coba lihat sampulnya:</p><p><br /></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbSNIBEBLgyGZZeiFdM4s4dapwjUxZ-Nog0trBwZIxm4Zz_qB4dB7cM66bZy3UvtwnsfhhCQmspQ_kwrtvbgun3VRHlZ_BvG_5bRtmnO4GVyN9pHHHWCTG-j3XH6wQJWeFHDLKVTFvQBc/s502/misc-novel-horor-rlstine-goosebumps-%255B2%255D.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="502" data-original-width="359" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbSNIBEBLgyGZZeiFdM4s4dapwjUxZ-Nog0trBwZIxm4Zz_qB4dB7cM66bZy3UvtwnsfhhCQmspQ_kwrtvbgun3VRHlZ_BvG_5bRtmnO4GVyN9pHHHWCTG-j3XH6wQJWeFHDLKVTFvQBc/w458-h640/misc-novel-horor-rlstine-goosebumps-%255B2%255D.jpg" width="458" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gambar dari <a href="http://mengakubackpacker.blogspot.com/2014/10/nostalgila-90-goosebumps-efects.html"><span style="color: red;">sini</span></a>.</td></tr></tbody></table><br /><p>Karena jatah beli buku dari mama terbatas, aku hanya punya beberapa eksemplar Goosebumps. Sisanya kusewa di rental komik. Salah satu momen paling asyik dari masa kecil adalah bersepeda ke persewaan komik, memilih-milih buku dengan bersemangat, lalu pulang dengan membawa setumpuk bacaan. </p><p>Robert Lawrence (R.L.) Stine sempat melebarkan sayap ke novela seram untuk remaja berjudul <i>Fear Street</i>. Tapi, seingatku aku nggak terlalu suka seri itu. Mungkin karena saat itu aku sudah sibuk baca serial detektif yang 'serius' seperti Agatha Christie dan Sherlock Holmes. </p><p><br /></p><p><b>5. Kungfu Boy - Takeshi Maekawa</b></p><p>Seperti hampir semua produk budaya pop yang kukonsumsi saat kecil, Kungfu Boy juga hasil pengaruh abangku. Setiap sore dia berlatih dengan serius di halaman rumah dan saat kutanya sedang apa, dia menjawab "abang lagi latihan kungfu peremuk tulang". Wah, keren banget!!</p><p>Sampai hari ini, adegan kematian guru Yoshi (?) adalah salah satu momen paling menyakitkan sepanjang hidupku. <i>Mak dhegggggg </i>rasanya pas Chinmi akhirnya khatam jurus yang sudah lama dilatih tapi gurunya malah meninggal, huhuhu. Aku juga ingat episode saat seorang guru menolak melatih Chinmi karena anak itu lagi tengil,sok jagoan. Chinmi akhirnya berusaha keras membuktikan dirinya layak diangkat menjadi murid. Adegan ini kutulis untuk tugas merangkum mata pelajaran bahasa Indonesia dan aku mendapat nilai bagus.</p><p><br /></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1qbaUQlcyjjZuV08k_z2fxSezSjqnC2QXXyqNZWyoLoA0v9KpRccBlVa2rmIPgbEJqtGwyJy-LLDmEcNiZslMJbQ4DPmB5rsP-JRhDesrzIh7PLRGrNHsFNzQHISxwfQyhoAl2pnsu1k/s305/7593701.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="305" data-original-width="203" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1qbaUQlcyjjZuV08k_z2fxSezSjqnC2QXXyqNZWyoLoA0v9KpRccBlVa2rmIPgbEJqtGwyJy-LLDmEcNiZslMJbQ4DPmB5rsP-JRhDesrzIh7PLRGrNHsFNzQHISxwfQyhoAl2pnsu1k/w426-h640/7593701.jpg" width="426" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gambar dari <a href="https://www.goodreads.com/book/show/7593701-kungfu-boy-complete-set-1---37"><span style="color: red;">sini</span></a>.</td></tr></tbody></table><br /><p>Selepas kesuksesan Kungfu Boy, Takeshi Maekawa membuat seri baru tentang jagoan biliar judulnya <i>Break Shot</i>. Tokohnya Chinmi juga, tapi bukan murid silat misqueen yang culun, melainkan mas-mas klimis pakai kemeja rapih. Chinmi jagoan biliar punya nemesis oom-oom <i>dandy</i> <strike>laksono </strike> ubanan namanya Paul. Jurus biliar Chinmi ada banyak, tapi yang paling kuingat dia bisa mencungkil bola putih sampai bolanya seolah-olah menghilang. Aku nggak terlalu suka Chinmi si jagoan biliar, tapi saat ulang tahun, Mama menghadiahiku paket seri <i>Kungfu Boy</i> dan <i>Break Shot </i>lengkap. Kurawat keduanya dengan kasih sayang yang sama.</p>Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-85723154765637279912021-08-07T11:17:00.003+07:002022-09-10T11:52:14.187+07:00The Problem that Has No Name: Sastra dan Identitas Keseharian Perempuan<p><span style="font-family: inherit;"> </span><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1nT4Kaexc1TWxGASbzUoDuVDKVfo7ZmotlQIN3qYXgJAjY1zaUrBn8vbH9KCHyOsoVw1vQqd3eX-d8uuxj9uy8YgMRJmh5MKFinoP-fLbhg5jEyiRIG5kw4yYInlH3qEBFlK_ttDzThc/s2048/katerina-pavlyuchkova-FQYCJSqER_0-unsplash.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="1365" data-original-width="2048" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1nT4Kaexc1TWxGASbzUoDuVDKVfo7ZmotlQIN3qYXgJAjY1zaUrBn8vbH9KCHyOsoVw1vQqd3eX-d8uuxj9uy8YgMRJmh5MKFinoP-fLbhg5jEyiRIG5kw4yYInlH3qEBFlK_ttDzThc/w640-h426/katerina-pavlyuchkova-FQYCJSqER_0-unsplash.jpg" width="640" /></span></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-family: inherit;"><br /><br /></span></td></tr></tbody></table></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;"><span style="font-family: inherit;">Seperti ibu-ibu milenial pada umumnya, begitu testpack
menunjukkan dua garis, saya langsung Googling hal-hal yang berkaitan dengan
kehamilan dan perawatan bayi. Asyik sekali mengobrol di forum-forum diskusi
online dan membaca tulisan para mommy bloggers tentang tips lancar menyusui dan
penanganan anak saat demam, sambil membayangkan kegembiraan sekaligus kerepotan
apa yang akan saya alami nanti.</span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: inherit;">Sampailah saya di sebuah blog. Seseorang
bercerita tentang kawan perempuannya yang hamil pada usia 42 tahun. Hal ini
membuat si kawan cemas. Dia takut susah melahirkan, tidak kuat begadang, tidak
punya cukup uang untuk membiayai si anak sampai dewasa, dan seterusnya.
Kecemasan ini tidak dia ceritakan kepada siapa pun karena terasa tak pantas: bukankah
semua ibu di dunia ini seharusnya senang menyambut anaknya?</span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: inherit;">Lalu, lahirlah si bayi. Gemuk, sehat,
dan lucu, tapi tetap tidak bisa menyelesaikan kecemasan di hati ibunya. Si
kawan mulai mendengar suara-suara di kepala, menghina dan meremehkan
kemampuannya sebagai ibu. Pada suatu siang, dia membawa si bayi ke lantai dua
rumah mereka, menelpon sang suami untuk mengabarkan dirinya tidak sanggup membesarkan
si bayi, dan karenanya, si bayi sebaiknya dilempar saja dari atas balkon.</span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: inherit;">(Jangan khawatir, kisah ini happy
ending. Si suami meminta tolong tetangga mereka untuk menyelamatkan si bayi dan
ibunya, dan sekarang anak itu sudah SD.)</span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: inherit;">Tulisan itu menempel sekali di ingatan
saya, bahkan bertahun-tahun setelah saya sendiri melahirkan. Seorang ibu nyaris
membunuh bayinya karena tidak memiliki teman berbagi cerita! Tadinya saya pikir
hal ini agak ekstrim, tapi ternyata banyak peristiwa yang lebih gawat. Seorang
ibu di Ende, Nusa Tenggara Timur, menusuk bayinya karena stres masalah ekonomi.
Ibu lain di Bandung, juga sama, menghabisi nyawa anaknya dengan pisau karena
tidak tahan terus-terusan dibilang tidak becus mengurus bayi. Saat itulah saya
sadar, memiliki support system yang kuat ternyata adalah sebuah privilege bagi
banyak ibu. Inilah yang menjadi tema utama saya ketika menulis novel kedua.</span></span></p><p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;"><span style="font-family: inherit;">*<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: inherit;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;">Karakter perempuan dalam </span><span style="line-height: 107%;">cerita-cerita
fiksi biasanya</span><span lang="IN" style="line-height: 107%;">
cenderung dikotomis: antara perempuan lajang yang berani hidup menentang norma
dan konstruksi sosial, atau justru perempuan yang dengan senang hati
mengglorifikasi nilai-nilai patriarki yang dibebankan kepadanya. Saya ingin
menolak dikotomi ini. Saya tidak ingin meneguhkan stereotype perempuan kuat
biasanya tidak menikah atau membenci laki-laki, sementara ibu rumah tangga
biasanya lemah karena hidupnya tergantung suami.</span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: inherit;"><span lang="IN" style="line-height: 107%; text-indent: 0.5in;">Bukankah banyak perempuan yang</span><span style="line-height: 107%; text-indent: 0.5in;"> mengambil pilihan-pilihan sesuai konstruksi sosial, seperti
menikah dan punya anak, tetapi memiliki nilai-nilai sendiri yang tidak selalu
sesuai dengan sistem patriarki. Siapa tahu itu adalah upaya perlawanan pribadi
mereka terhadap konstruksi sosial yang merugikan.</span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="background-color: white; color: #222222; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: inherit;">Amara, tokoh utama novel saya,
“Lebih Senyap dari Bisikan” (2021), adalah bagian dari mereka. Dia mandiri,
berpendidikan, dan menikah karena cinta, bukan dijodohkan atau dipaksa. Baron,
suaminya, memperlakukan Amara dengan baik dan setara. Mereka saling berbagi
pekerjaan rumah tangga, memiliki hobi masing-masing, dan saling mendukung dalam
perkembangan karier.</span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: inherit;">Konflik mulai muncul saat Amara dan Baron memutuskan untuk
punya anak. Ketika kehamilan yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang, Amara
mulai mempertanyakan alasan di balik keputusan itu.</span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: inherit;"> </span></p><p class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 8.0pt; margin-left: .5in; margin-right: .5in; margin-top: 0in; text-align: justify;"><span style="font-family: inherit;">“Karena
itukah aku ingin punya anak? Agar aku bisa bilang bahwa aku sudah menjalankan
peran utamaku sebagai perempuan? Agar aku bisa menggenapkan tugas tubuhku yang
dirancang untuk melanjutkan kehidupan?
Agar aku bisa pergi ke acara keluarga atau reunian tanpa merasa tersakiti
lantaran terus-terusan ditanya ‘kapan?’, ‘kapan?’)”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 8.0pt; margin-left: .5in; margin-right: .5in; margin-top: 0in; text-align: justify;"><span style="font-family: inherit;">(<i>Lebih
Senyap dari Bisikan</i>, halaman 15)<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="line-height: 107%; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: inherit;"><br /></span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: inherit;"><span style="line-height: 107%; text-indent: 0.5in;">Lewat refleksi Amara, saya mau menampilkan perempuan dan
dilema mereka: tercabik antara <span style="background: white; color: #222222;">menjadi
</span></span><span lang="IN" style="background: white; color: #222222; line-height: 107%; text-indent: 0.5in;">modern dan </span><span style="background: white; color: #222222; line-height: 107%; text-indent: 0.5in;">menghormati nilai-nilai</span><span lang="IN" style="background: white; color: #222222; line-height: 107%; text-indent: 0.5in;"> lawas, </span><span style="background: white; color: #222222; line-height: 107%; text-indent: 0.5in;">antara</span><span lang="IN" style="background: white; color: #222222; line-height: 107%; text-indent: 0.5in;"> mau
melesat </span><span style="background: white; color: #222222; line-height: 107%; text-indent: 0.5in;">mengikuti arus zaman atau
justru </span><span lang="IN" style="background: white; color: #222222; line-height: 107%; text-indent: 0.5in;">melambat</span><span style="background: white; color: #222222; line-height: 107%; text-indent: 0.5in;"> untuk menemukan apa yang berharga</span><span lang="IN" style="background: white; color: #222222; line-height: 107%; text-indent: 0.5in;">, </span><span style="background: white; color: #222222; line-height: 107%; text-indent: 0.5in;">dan antara ingin merdeka menikmati
kebebasan atau menuruti ikatan</span><span lang="IN" style="background: white; color: #222222; line-height: 107%; text-indent: 0.5in;"> aturan dan </span><span style="background: white; color: #222222; line-height: 107%; text-indent: 0.5in;">norma.</span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: inherit;">Dalam bukunya “The Feminine Mystique”, aktivis Betty Friedan
bicara soal ‘masalah yang tak bernama’ atau ‘the problem that has no name’.
Istilah ini mengacu pada gambaran ideal perempuan sebagai ibu rumah tangga yang
diam di rumah, bahagia mengasuh anak dan mengurus suami, yang dipasarkan
sedemikian rupa oleh budaya pop (cerita-cerita roman, film, lagu) seolah memang
begitulah seharusnya peran terbaik perempuan. Tetapi, bahkan ketika mereka
berhasil menjalani peran sebagai ibu, istri, dan pengurus rumah tangga, tetap
saja perempuan tidak berbahagia.</span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: inherit;">Tokoh Amara dalam novel saya juga
mengalami hal tersebut. Dia melepaskan segalanya demi punya anak. Dia melakukan
tes kesuburan, program kehamilan, dan bahkan berhenti bekerja agar bisa
mencapai gambaran ideal (istri/ibu/pengurus rumah tangga). Ketika akhirnya
Amara berhasil, dia tetap merasakan kekosongan, yang dengan cepat berubah
menjadi kesulitan luar biasa ketika musibah melanda keluarganya.</span></p><p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span style="line-height: 107%;"><span style="font-family: inherit;">*<o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="background: white; color: #222222; line-height: 107%;"><span style="font-family: inherit;">Selama menulis novel kedua, saya banyak terpengaruh
oleh Elena Ferrante (“The Lost Daughter”), Chitra Banerjee Dhivakaruni
(“Arranged Marriage”), dan Alice Munro (“Dear Life”). Secara konsisten mereka
menampilkan hidup perempuan dengan segala kompleksitasnya. Sama seperti Amara,
tokoh-tokoh dalam buku mereka tidak selalu lepas dari macam-macam konstruksi
sosial, tapi mereka menjalaninya dengan pikiran yang tajam dan keberanian untuk
menggugat.</span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="background-color: white; color: #222222;"><span style="font-family: inherit;">Dengan
agak malu harus saya akui, bahwa pada awal-awal karier kepengarangan, saya
kurang sekali membaca karya pengarang perempuan. Pada saat itu saya merasa
tema-tema “domestik” tidak keren; saya harus membuat novel-novel yang ambisius,
yang berkisah tentang perang, politik, sejarah, dan tema-tema hebat lainnya. Elena
Ferrante, Chitra Banerjee Dhivakaruni, Alice Munro, (juga Jhumpa Lahiri dalam
“Interpreter of Maladies” dan Chimamanda Ngozi Adichie dalam “The Thing Around
Your Neck”) mengubah segalanya. Lewat cerita-cerita mereka, saya belajar bahwa
tema-tema keseharian pun jika dituliskan dengan apik dapat menggugah. Dan, yang
lebih penting, jika bukan pengarang perempuan sendiri yang menuliskannya, siapa
lagi?</span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: inherit;">Di novel ini saya banyak menyertakan
penggambaran-penggambaran yang brutal dan jujur, misalnya tentang melahirkan. Bukannya
meromantisasi kehamilan dan melahirkan, saya memilih untuk menceritakannya
seakurat mungkin. Seorang kawan, kebetulan laki-laki, mengaku menangis
tersedu-sedu ketika membaca adegan Amara melahirkan. Dia merasa ngilu dan linu.
Baru disadarinya, melahirkan ternyata proses yang menyakitkan dan berantakan.
Bagi saya, ini sebuah kemenangan kecil.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: inherit;">Beberapa reviews dan komentar di
Goodreads, blog, dan media sosial, juga serupa. Mereka merasa buku ini membuka
mata tentang realita pernikahan, kehamilan, melahirkan, dan menjadi orang tua.
Saya harap, buku ini dapat ikut serta meramaikan diskursus tentang sastra dan
identitas keseharian perempuan dalam menemukan apa yang berharga. ***</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="line-height: 107%;"><span style="font-family: inherit;"> <o:p></o:p></span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;"><span style="font-family: inherit;"> </span></span></p><p>
</p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN" style="line-height: 107%;"><span style="font-family: inherit;">*Makalah untuk Konferensi Internasional <i>Thai and
Indonesian Writing in an Era of Conservative Redux</i>, 6-7 Agustus, di School
of Political and Laws, Walailak University. <o:p></o:p></span></span></p><p><span style="font-family: inherit;"><br /></span></p><p><span style="font-family: inherit;">Photo by <a href="https://unsplash.com/@kat_katerina?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Katerina Pavlyuchkova</a> on <a href="https://unsplash.com/s/photos/quiet?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></span></p>Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-81146480088584495992021-03-15T16:53:00.005+07:002021-03-15T16:57:38.175+07:00Gadis<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimjQ95NwyiGoT0fp_Mf7JnlVYclTi0kkNNU_9cbdO8_Sr_6KeUUpc6aMrOcnJ3f1Bhm2WpRQdedGevm5TbUi8myMpXAFk1TlATkZmabedYmKASFyW8BCKmCqRtXkZ0ndgm13p1VL9JmIY/s2048/alexandra-gorn-JIUjvqe2ZHg-unsplash.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1367" data-original-width="2048" height="428" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimjQ95NwyiGoT0fp_Mf7JnlVYclTi0kkNNU_9cbdO8_Sr_6KeUUpc6aMrOcnJ3f1Bhm2WpRQdedGevm5TbUi8myMpXAFk1TlATkZmabedYmKASFyW8BCKmCqRtXkZ0ndgm13p1VL9JmIY/w640-h428/alexandra-gorn-JIUjvqe2ZHg-unsplash.jpg" width="640" /></a></div><p></p><div><br /></div><div><div>Lima belas tahun lalu di Semarang, aku tinggal di sebuah kos campur di daerah Sampangan. Kompleks kos ini seperti rumah susun, berbentuk huruf U dan terdiri dari kamar-kamar berukuran 3x4 meter dengan kamar mandi di dalam. Boleh pasang AC, tapi kena biaya tambahan. Aku tinggal di sana sejak semester tiga <strike>sampai sebelas</strike>. Di kos aku berteman akrab dengan Gadis (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswi merangkap pemandu karaoke.</div><div><br /></div><div>Kamar kami berhadapan--Gadis di nomor 18 dan aku 31. Kamar Gadis rapi, apik, dan berbau campuran lotion ("hembodi", kata Pak Kirin si penjaga kos), cairan aseton penghapus cat kuku, parfum Estee Lauder dan kopi instan murahan. Gadis melapisi lantai kamar dengan karpet bulu coklat muda dan mengganti penerangan dengan lampu kecil-kecil yang bersinar redup kekuningan. Di sepanjang dinding kamar, dia memasang poster-poster kutipan motivasi berbingkai cerah. "<i>Don't stop believing</i>"; "<i>Dreams don't work unless you do</i>"; dan sejenisnya. </div><div><br /></div><div>Tepat di sebelah kanan pintu, ada meja tulis. Isinya buku-buku yang ditumpuk rapi, kaleng bekas rokok yang dijadikan tempat pinsil, dan satu keranjang plastik berisi pernak-pernik. Gadis berganti minat sesuka hati. Sekali waktu ia hobi mengisi teka-teki silang, lain waktu koleksi kerang, membuat kerajinan dari kayu, mencampur jus buah, membuat sketsa, bermain harmonika, menjahit, dan yang terakhir bikin boneka dari kain. </div><div><br /></div><div>Ada lemari kayu dengan pintu geser yang isinya dibagi dua: sebelah kiri baju, sebelah kanan buku-buku dan peralatan <i>make-up</i>. Sebagai cewek yang cuma kenal bedak dan lipstik, aku mengagumi perangkat dandan Gadis yang berjejer rapi. "Tuntutan profesi," katanya setiap kali aku memandanginya memoles wajah dengan keahlian luar biasa.</div><div><br /></div><div>Di bagian bawah lemari ada sisa tempat yang digunakan untuk meletakkan <i>microwave. </i>Benda ini sebenarnya ilegal di kos kami karena <i>watt</i>-nya besar tapi Gadis selalu bisa menyembunyikannya dari pandangan Pak Kirin. Benda ini andalan kalau kami kelaparan tengah malam dan malas masak: sosis dipotong jadi tiga atau empat bagian, dikerat, ditaruh di atas nasi putih, kadang ditambah potongan tomat atau jamur, ditaburi sedikit garam dan lada, ... dua menit dalam <i>microwave</i>, beres sudah. Gadis sering memotong kentang kecil-kecil, menaburinya dengan garam, memasukkannya dalam <i>microwave</i> selama enam-tujuh menit, lalu dimakan begitu saja, kadang pakai saus <i>barbeque</i> kalau kepingin. Aku menyebutnya menu Unit Lapar Darurat.</div><div><br /></div><div>Gadis bertubuh tinggi semampai, berambut hitam lurus panjang yang dicat kemerahan, dengan kulit coklat dan mata mungil seperti manik-manik. Saat pertama kali berkenalan, aku tidak yakin kami bisa berteman karena sepertinya kami tidak punya banyak kesamaan. Tapi Gadis ternyata tidak masuk ke kotak <i>stereotype </i>"mbak-mbak-pemandu karaoke-jago dandan-berpakaian ketat" di dalam kepalaku. Setiap kali bulan Ramadan tiba, Gadis memesankanku makanan katering, membangunkanku setiap sahur, dan memastikan aku tidak absen tarawih. Dari Gadis kupinjam novel Hemingway pertamaku, "<i>The Old Man and The Sea</i>" yang sampai sekarang belum kukembalikan. Dan setiap kali menantangnya bertanding catur, aku kalah dengan mengenaskan.</div><div><br /></div><div>Berusia empat tahun lebih tua dan seratus kali lebih berpengalaman dengan pria, Gadis kunobatkan menjadi penasihat ideal bagi kisah cintaku <strike>yang seringkali ruwet</strike>. Dia juga akrab dengan berbagai kesulitan hidup. Aku mendengarkan dengan asyik setiap dia bercerita tentang berbagai pekerjaan yang pernah dia jalani untuk membayar uang kuliah. Tidak pernah sekali pun Gadis menyebut tentang orang tuanya dan aku juga tidak pernah bertanya karena aku tahu, bagi beberapa orang, keluarga bukan topik yang menyenangkan.</div><div><br /></div><div>Sore itu aku terbangun karena suara teriakan. Asalnya dari kamar Gadis. Saat aku keluar, kulihat Pak Kirin dan beberapa penghuni kos merubung dan menggedor-gedor pintu kamar Gadis. Sejurus kemudian Gadis membuka pintu, tampak malu karena di dalam ada pacarnya, seorang lelaki tinggi tampan yang selalu mengenakan jaket kulit di tengah panggangan matahari kota Semarang. Sepatu si pacar dimasukkan ke dalam, sebuah trik kuno mahasiswa agar bisa pacaran di kos dengan aman. Pak Kirin memelototi pacar Gadis dan laki-laki itu meminta maaf telah membuat keributan.</div><div><br /></div><div>Tak berapa lama, pacar Gadis pulang dan aku menghampiri kamarnya. Kuketuk pintu dan terdengar suara Gadis menangis tersedu-sedu. Aku menunggu. Rasanya lama sekali sampai terdengar suara 'klik'. Saat aku masuk, Gadis sedang duduk di atas karpet bulu. Rambutnya yang lepek oleh keringat dan air mata, terbelah dengan aneh dari puncak kepala bagian kiri ke sisi kanan, menutupi pipi. Kusibak perlahan dan terlihat darah kering di sudut mulutnya yang mulai membengkak. Aku memandangnya penuh tanya. Gadis menggeleng. Aku lalu pergi membelikannya makanan tapi Gadis tidak keluar lagi sampai pagi. Lalu hari berikutnya. Dan hari berikutnya.</div><div><br /></div><div>Ketika akhirnya pintu kamar Gadis terbuka, dia hanya melambaikan tangan padaku sekilas sambil tersenyum lemah. Aku ingin menghampirinya. Aku ingin tahu apa yang terjadi padanya. Aku ingin dengar mengapa gadis secantik dan setangguh dia membiarkan diri dipukul laki-laki. Tapi aku dan Gadis sudah berhenti bicara. Semua SMS yang kukirim tidak pernah dia balas. Dari balkon kamar kulihat setiap malam dia duduk menghadap meja tulis. Pintu kamarnya separuh terbuka dan Gadis selalu sibuk menulis, menggambar, menggunting atau menempel sesuatu.</div><div><br /></div><div>Beberapa minggu setelah peristiwa itu, Pak Kirin berdiri berkacak pinggang di depan pintu kamar Gadis. Saat itu jam sembilan pagi dan aku sedang bersiap berangkat ke kampus. Tempat tidur Gadis seperti biasa selalu rapi. Karpet bulu masih terpasang. Lemari kosong. Barang-barang di meja tulisnya—kertas, buku, pena, senter, boneka <i>gingerbread</i> dari kain flanel, minyak angin, kabel <i>charger</i> ponsel, tisu, kalender meja, lem kayu—berserakan. Semalam aku masih melihat separuh wajah Gadis yang bersinar terkena lampu baca. ***</div><div><br /></div><div><br /></div><div><i>Foto oleh <a href="https://unsplash.com/@alexagorn?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Alexandra Gorn</a> di <a href="/s/photos/room?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></i>.</div></div>Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-37147821502200144832020-12-11T16:03:00.003+07:002020-12-11T16:04:48.203+07:00Here Comes The Sun<p><br /></p><p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhyyxdqftZX17sDTZRmTxC60iiHiLLMnMYQJW8IAZdoaopNxa1I2uufoPQX_Fd91odc9I7YUiwXHkmjGHzoiZ_iFvsh-bGxGKMUM0Q1hfCpHZqGPen7yiTrg7ICbFi6qoSr0YAt1aTssn4/s2048/daniel-von-appen-AZK6C3jKZEQ-unsplash.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1536" data-original-width="2048" height="480" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhyyxdqftZX17sDTZRmTxC60iiHiLLMnMYQJW8IAZdoaopNxa1I2uufoPQX_Fd91odc9I7YUiwXHkmjGHzoiZ_iFvsh-bGxGKMUM0Q1hfCpHZqGPen7yiTrg7ICbFi6qoSr0YAt1aTssn4/w640-h480/daniel-von-appen-AZK6C3jKZEQ-unsplash.jpg" width="640" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><br /></td></tr></tbody></table><div><br /></div><div><i>Little darling, it's been a long cold lonely winter.</i></div><div><i>Little darling, it feels like years since it's been here.</i></div><div><br /></div><div>Kau sudah lama tidak keluar rumah. Sejak kantormu memberlakukan kebijakan Bekerja Dari Rumah Februari lalu, kau sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di Jakarta (kau tinggal di area Bodetabek, seperti kebanyakan pekerja lainnya). Beberapa kolegamu masih mampir ke kantor sesekali dengan berbagai alasan dan keperluan, tapi kau memilih berdiam di rumah berbulan-bulan seperti pertapa. Kau tidak mengeluh--kau <i>toh</i> tidak dikaruniai anugerah gampang tidur di perjalanan, dan mal sering membuatmu pusing duluan. Dengan gembira kauhabiskan waktumu di rumah bersama buku, kopi, dan film,... sampai sembilan bulan berlalu dan kau mulai sering migren tanpa sebab yang pasti.</div><div><span style="text-align: center;"><br /></span></div><div><span style="text-align: center;">*** </span></div><div><i>Little darling, the smiles returning to the faces.</i></div><div><i>Little darling, it seems like years since it's been here.</i></div><div><i><br /></i></div><div>Pesan singkat itu kauanggap sebagai penyelamat. Seorang kawan yang sudah lama sekali tak kautemui, mengajak berjumpa di kampus BSD, yang dapat kautempuh dengan berkendara selama lebih-kurang 20 menit. Tidak terlalu jauh, dan barangkali kau memang perlu ketemu manusia lain selain anakmu, suamimu, dan tukang sayur yang sering kauomeli kalau tampil tanpa masker. <i>Baiklah</i>. Kau membalas pesan itu dengan dua huruf O dan K.</div><div><br /></div><div>Jadilah pagi itu untuk pertama kalinya kau keluar rumah. Kau mandi, makan roti, dan minum kopi dengan berdebar-debar. Rasanya seperti pergi perang. Sebagian dari dirimu ketakutan, dan sebagian lagi kegirangan. Kau ingin tahu seperti apa dunia luar sekarang. Dengan cemas kau mengecek tasmu berulang-ulang, dan memastikan kau tak ketinggalan membawa <i>hand sanitizer</i> dan masker cadangan.</div><div><br /></div><div>Kau mulai dengan mengantar anakmu ke rumah neneknya. Dari sana kau menyetir ke arah Vila Dago Tol, lurus ke Ciater, sampai ke arah Pasar Modern BSD.</div><div><br /></div><div>Dan apa yang kaulihat sepanjang jalan sungguh mencengangkan. Orang-orang yang berkendara terlihat santai. Beberapa orang nongkrong di pinggir jalan, menyesap kopi instan dari wadah plastik bekas akua gelas di tangan kanan, rokok di tangan kiri, mengembuskan asap dan mengobrol riang. Hanya satu-dua yang mengenakan masker. Apa-apaan ini? Mungkinkah Covid-19 sudah pergi dari BSD dan sekitarnya dan hanya kau yang tidak dipamiti?</div><div><br /></div><div>Kau lalu memutuskan untuk mampir ke Indomaret di sebelah kantor BPN Tangsel. Kau ingin membeli minuman dingin. Kau memasang masker dan turun dari mobil, dan seorang lelaki tua mencegatmu. Mulanya kaupikir dia tukang parkir, tapi ternyata dia pengunjung minimarket pada umumnya. Dia tidak membawa masker dan dia ingin tahu apakah dia bisa menitip belanjaannya padamu. <i>Hanya</i> s<i>atu bungkus Rinso dan satu bungkus Sunlight cuci piring, kok.</i></div><div><i><br /></i></div><div>"Saya bayar Neng lima ribu," kata dia, merentangkan kelima jari tangannya ke arahmu yang terheran-heran. Bibirnya tersenyum, tetapi lekas merengut setelah kau menggeleng.</div><div><br /></div><div>Kau cepat melangkah sambil memikirkan nasibmu yang nyaris menjadi <i>calo masker, </i>dan ketika kau sudah selesai berbelanja kau melihat bapak itu masih ada di parkiran, membujuk orang lain yang mau dia titipi belanjaan.</div><div><br /></div><div>Kau memundurkan mobil dan memacunya lurus sampai Polsek Serpong, belok kiri, lurus lagi sampai Green Office Park, belok kiri lagi, melewati bundaran The Avani, sampai akhirnya tiba di kampus BSD. Kau memperlambat laju mobilmu karena kau melihat satpam berdiri dekat mesin karcis parkir.</div><div><br /></div><div>"Selamat siang, Ibu," katanya memberi hormat.</div><div>Kau menurunkan jendela. "Siang, Pak."</div><div>"Karyawan?"</div><div>Kau mengangguk grogi, tiba-tiba sadar kau lupa membawa kartu karyawan, yang bahkan, setelah kau ingat-ingat lagi, tidak tahu ada di mana. Kau juga tidak mengenal wajah satpam ini. Sembilan bulan telah membuatmu tidak mengenal siapa-siapa di kampus ini.</div><div>"Sudah mengisi form <i>assessment </i>kesehatan?"</div><div>Kau menggeleng seperti orang bodoh.</div><div>Satpam terlihat prihatin. Ia mengambilkan karcis untukmu, dan memberi instruksi agar kau mengisi form yang dimaksud di resepsionis depan. Kepalamu ditembak dan kau tidak demam.</div><div><br /></div><div>***</div><div><i><br /></i></div><div><i>Little darling, I feel that ice is slowly melting.</i></div><div><i>Little darling, it seems like years since it's been clear.</i></div><div><i><br /></i></div><div>Kau gembira sekali bertemu dengan kawanmu dan kalian mengobrol seperti tidak ada hari esok. Pembicaraan kalian terhenti ketika kau mengeluh lapar tapi kawanmu tidak berani makan di luar--dia membawa bekal--dan kau harus mencari makan sendirian. Kau memutuskan untuk sekalian pulang. Kau menyusuri area BSD dan berhenti di sebuah warung makan kecil yang berjualan mie ayam.</div><div><br /></div><div>Baru saja kau selesai parkir, seorang pelayan menghampirimu dengan membawa sebuah menu. Dia mengetuk kaca jendelamu. Kau mengenakan masker dan membukanya.</div><div><br /></div><div>"Bisa pesan di sini dan makan di mobil, Kak," katanya.</div><div>Kau sebenarnya ingin makan di rumah tapi kau sudah kelaparan. "Mie pangsit satu," katamu.</div><div>Pelayan mencatat pesananmu dengan riang dan kau sadar betapa berartinya satu pelanggan di masa-masa seperti ini. Kau menyetel album kesukaanmu--<i>Monk's Dream</i>--dan menunggu pesananmu datang.</div><div><br /></div><div>Pelayan mengetuk kaca jendelamu lagi. Di tangannya ada mangkuk. Kau mengusap tanganmu dengan <i>sanitizer </i>sebelum mulai makan. Lalu kau melihat seorang pengendara ojek daring berteduh dari panas matahari tak jauh dari tempatmu memarkir mobil. Kau keluar, dan menawarinya makanan yang belum kausentuh. Dia mau. Kau memesan satu lagi, dan, setelah ragu sejenak, kau ikut duduk di sebelahnya (tidak terlalu dekat, tentu saja) dan kalian makan bersama sambil bercerita tentang apa saja.</div><div><br /></div><div>***</div><div><br /></div><div>Sore itu kau menyetir pulang dengan hati lapang. Kau menyadari semua orang sedang bertahan dengan situasi dan caranya masing-masing, dan kau ingin menjadi bagian dari mereka yang tabah sampai akhir.</div><div><br /></div><div><i>Sun, sun, sun, here it comes...</i></div><div><i>Sun, sun, sun, here it comes.</i></div><div><i><br /></i></div><p>Foto oleh<i> <a href="https://unsplash.com/@daniel_von_appen?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Daniel von Appen</a> </i>di<i> <a href="https://unsplash.com/s/photos/horizontal-yellow?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></i></p>Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-29404677651692224562020-08-19T16:36:00.007+07:002023-12-04T18:06:29.587+07:00Memacari Dao Ming SiAkhir-akhir ini aku lagi hobi <strike>menangisi masa muda</strike> bernostalgia dengan menonton <i>Meteor Garden </i>yang tayang ulang di Netflix. Kisah cinta antara cowok kaya ahli waris bisnis keluarga, Dao Ming Si dengan cewek miskin pekerja keras, Shan Cai ini sempat hits banget pada zamannya (sekitar 2001/2002) dan membikin semua orang jadi pingin <i>rebonding</i>.<div><br /><div><br /></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBZvk6GwY-kgcXOfwSUCQ70yis6MEoKp_r2c4laRDwd5E5RivBHKREFFIk8VoUjZEYcAd_zBMdTihyYim3_z-0_vyt3C34mXqsJHgNesKh6qph4KKjtLxqFRGdq04Y3JFuiJUI77L-AYk/s1682/6-5cc36b9e4504a73dbfaa0fcb1b19619d.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="938" data-original-width="1682" height="223" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBZvk6GwY-kgcXOfwSUCQ70yis6MEoKp_r2c4laRDwd5E5RivBHKREFFIk8VoUjZEYcAd_zBMdTihyYim3_z-0_vyt3C34mXqsJHgNesKh6qph4KKjtLxqFRGdq04Y3JFuiJUI77L-AYk/w400-h223/6-5cc36b9e4504a73dbfaa0fcb1b19619d.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>KALAU MINTA MAAF BERGUNA BUAT APA ADA POLISI??</i></td></tr></tbody></table><div><br /><div><br /></div><div>Aku dulu suka Ken Zhu yang jadi Xi Men. Di mataku dia paling manis dengan gaya <i>preppy look</i> yang, setelah dilihat-lihat lagi, ternyata lebih mirip guru BP enggak paham<i> </i>mode.</div><div><br /></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQxEQXhXhkNFQzZhS-sgPSDd5scgS5R9QCTJvas7NsSHVm0oSVz9_4ZvpE2DUpsPIMzVy4KAuwaDfuSL8x9UfukM6oP2Uw4V4NauhbdnWDA7GdOCwDa42dS-1k27hWKVdzpqA5ek0TnVE/s259/download+%25282%2529.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="194" data-original-width="259" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQxEQXhXhkNFQzZhS-sgPSDd5scgS5R9QCTJvas7NsSHVm0oSVz9_4ZvpE2DUpsPIMzVy4KAuwaDfuSL8x9UfukM6oP2Uw4V4NauhbdnWDA7GdOCwDa42dS-1k27hWKVdzpqA5ek0TnVE/w400-h300/download+%25282%2529.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>I mean...</i></td></tr></tbody></table><br /><div><br /></div><div>Selain Xi Men dan Dao Ming Si (Jerry Yan), geng F4 beranggotakan Hua Zhe Lei (Vic Zhou) yang kelihatan kayak orang kurang darah serta Mei Zhuo (Vanness Wu) yang tiap kali ngomong 1 menit, nyibak rambutnya 427.730 kali. Relasi antara geng F4 dan Shan Cai jadi pusat plot cerita ini. Dao Ming Si jatuh bangun mengejar Shan Cai, tapi Shan Cai lebih naksir Lei. Mei Zhuo tiap hari <i>party </i>di klub karena malas belajar/bekerja tapi telanjur banyak duit, dan Xi Men enggak pernah memacari perempuan lebih dari seminggu.</div><div><div><br /></div><div>Aku terbengong-bengong selama menonton ulang serial ini. Banyak banget hal yang dulu kelihatan romantis/manis/unyu/uwu sekarang bikin <i>cringe </i>abis-abisan.</div><div><br /></div><div>Ada adegan Dao Ming Si menampar Shan Cai karena enggak tahan diomelin.</div><div><br /></div><div>Ada adegan Dao Ming Si mencium paksa Shan Cai di kampus. Shan Cai dikejar di tangga yang sepi, dipepet ke tembok dan dicium paksa sampai kausnya robek.</div><div><br /></div><div><br /></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3aGbKd0HL4FqApL9XlkDtynOtdIfvNJ0z2t40qTKe-gzE9L5DEOty1K7IzSdQ9DrsEBKHk4qTzpp4j-GguVAJwYifTfHcuuBic8zQ3cjOCel_KaMt37exaS_cpwWQq7IygksU4w9zMMI/s440/6335005_orig.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="300" data-original-width="440" height="272" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3aGbKd0HL4FqApL9XlkDtynOtdIfvNJ0z2t40qTKe-gzE9L5DEOty1K7IzSdQ9DrsEBKHk4qTzpp4j-GguVAJwYifTfHcuuBic8zQ3cjOCel_KaMt37exaS_cpwWQq7IygksU4w9zMMI/w400-h272/6335005_orig.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Astaghfirullah akhi...</i><br /></td></tr></tbody></table><div><br /></div><div><br /></div><div>Ada adegan Xiao You (sahabatnya Shan Cai) ngejar-ngejar Xi Men demi menyadarkan cowok itu dari ke-<i>playboy</i>-annya. Bahkan di salah satu episode <i>spin off </i>serial ini, Xiao You keliling Taipei sampai jam empat pagi demi mencari Xi Men yang malah ngumpet minum di bar.</div><div><br /></div><div>Ada adegan Ya Men (cowok lain yang naksir Shan Cai) mencekik Shan Cai di lorong sepi, tapi habis itu dia minta maaf dan sama Shan Cai malah diizinkan masuk ke rumah (<i>WTF girl</i>?!)</div><div><br /></div><div><br /></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGf0LhZN1ie1XeskEYOBe5ilK0LpIFbJCYgu1JTTxg4nm4gmi02ZIbC70YK_cIx8PLuBOHAYxiB2VN5aqYgJQ1JrZEHchyUpu9ZtaGrpg-0PIMKSb8CioyVJKZO0X5-dHbf1AAazD9FFc/s480/hqdefault.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="360" data-original-width="480" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGf0LhZN1ie1XeskEYOBe5ilK0LpIFbJCYgu1JTTxg4nm4gmi02ZIbC70YK_cIx8PLuBOHAYxiB2VN5aqYgJQ1JrZEHchyUpu9ZtaGrpg-0PIMKSb8CioyVJKZO0X5-dHbf1AAazD9FFc/w400-h300/hqdefault.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Red flag, girl. red flag!</i><br /></td></tr></tbody></table><div><br /></div><div>Ada adegan Lei nangis karena Jing, cewek yang dia sukai, lebih memilih pergi ke Paris untuk belajar hukum dan menjadi pengacara publik di sana, dari pada pacaran sama dia di Taipei. Dan kami para ciwik digiring untuk bersimpati pada Lei dan menyalahkan Jing, bukannya bilang ke Lei "makanya lu belajar yang bener Tong, biar pinter dan pantes buat cewek lu.."</div><div><br /></div><div>Menonton ulang <i>Meteor Garden </i>membuatku menyadari bahwa persepsi remaja putri tentang 'cowok keren' memang sudah dibikin kacau sama media sejak dini. Para ciwik dicekoki pola pikir bahwa cowok kasar itu enggak apa-apa, yang penting ganteng dan kaya. Kalau dia <i>playboy,</i> kita harus bisa menyadarkannya. Kalau dia kekanak-kanakan, kita harus sabar mengajarinya. Kalau dia enggak punya cita-cita dan enggak tahu mau ngapain dengan hidupnya, kita harus menginspirasinya.</div><div><div><br /></div><div>MONMAAP NIH, ITU PACARAN APA KERJA SOSIAL~</div></div><div><br /></div><div>Dao Ming Si adalah representasi protagonis cowok yang bermasalah, tapi ditutupi oleh keromantisan dan keuwuannya dengan Shan Cai. Sepanjang film ada banyak banget adegan Dao Ming Si menarik lengan (baca: menyeret) Shan Cai ke mana-mana dan penonton berseru "ya ampun keren yaa, tegas-tegas gimana gitu!" Tegas gigi lu~</div><div><br /></div><div>Dao Ming Si juga <i>kekeuh </i>mendekati Shan Cai walaupun di awal Shan Cai jelas-jelas enggak tertarik. Karena dia ganteng (?) dan kaya, tindakannya ini disebut 'gigih'. Coba kalau jelek dan miskin, pasti dibilang 'enggak tahu diri'.</div><div><br /></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqqdjN7x5tHsXz_KkoTzssRP87M-VTZITIM7YGsyZpqwrG_Uw7FQbypFUOWjx2rxpilvZS0EjvdsLqVivQimu7N_V_beb1fiXBUUt9-REpv0Z1RvfycuBWHF02PqbOcHUdlQIELxjOLks/s707/Annotation+2020-08-19+144939.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="439" data-original-width="707" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqqdjN7x5tHsXz_KkoTzssRP87M-VTZITIM7YGsyZpqwrG_Uw7FQbypFUOWjx2rxpilvZS0EjvdsLqVivQimu7N_V_beb1fiXBUUt9-REpv0Z1RvfycuBWHF02PqbOcHUdlQIELxjOLks/s640/Annotation+2020-08-19+144939.jpg" width="640" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Aku ganteng(?) tapi kenapa bajuku begini..</i><br /></td></tr></tbody></table><div><br /></div><div>Dao Ming Si juga secara sepihak mengumumkan ke seantero kampus bahwa Shan Cai adalah pacarnya, membelikan Shan Cai ponsel sambil mewajibkan Shan Cai menjawab KAPAN PUN dia menelpon, dan segenap tindakan lain yang sebenarnya <i>creepy</i>. Beda-beda tipis lah dengan tokoh Christian Grey di<i> 50 Shades of Grey </i>yang sebenarnya manipulatif, posesif, abusif, tapi berhubung ganteng dan kaya malah bikin cewek tergila-gila.</div><div><br /></div><div>Jadi buat para cowok, yang sering ditolak dengan alasan "kamu terlalu baik, enggak ada tantangannya", kemungkinan besar cewek yang kamu taksir terlalu banyak menonton film drama romantis dengan tokoh seperti Dao Ming Si atau Christian Grey. Cewek-cewek jadi punya 'standar yang enggak realistis' mengenai cowok yang keren/seru/macho/fun, dst. Giliran ada cowok yang baik dan <i>respect</i> sama dia, malah dibilang <i>vanilla</i> atau kurang menantang.</div><div><br /></div><div>Mungkin juga ini perkara semangat zaman. Sembilan belas tahun lalu orang belum terlalu ngeh sama <i>toxic relationship, </i>jadi adegan tampar-menampar dan pemaksaan masih bisa ditoleransi oleh penonton. Mungkin aku bukan satu-satunya penonton <i>Meteor Garden </i>yang merasa <i>cringe </i>dengan adegan-adegan itu sekarang. Serial ini konon di-<i>remake </i>2018 lalu. Mungkin di versi baru itu enggak ada lagi adegan tampar, cekik, dan cium paksa. ***</div><div><br /></div></div></div></div>Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-89740904258991817002020-07-14T14:18:00.009+07:002023-12-04T18:06:32.873+07:00WFH yang WTF<br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilHe_O_WWed5wv4TVOulskKOImct5C3AfanowXxpZHUMMqWqtRKchTnw1UNhlyGyzCiatPzI4t324TYJm4YGCih1Pp6X5oFPma_F_X8EaDEq4rzP98Ct1QLAdzoC-IE-CpaSmUEGGYOxQ/s2048/nelly-antoniadou-9X1P46Y2KJo-unsplash.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1365" data-original-width="2048" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilHe_O_WWed5wv4TVOulskKOImct5C3AfanowXxpZHUMMqWqtRKchTnw1UNhlyGyzCiatPzI4t324TYJm4YGCih1Pp6X5oFPma_F_X8EaDEq4rzP98Ct1QLAdzoC-IE-CpaSmUEGGYOxQ/w640-h426/nelly-antoniadou-9X1P46Y2KJo-unsplash.jpg" width="640" /></a></div><div style="text-align: center;"><br /></div><div style="text-align: center;"><i>Photo by <a href="https://unsplash.com/@nelly13?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Nelly Antoniadou</a> on <a href="https://unsplash.com/s/photos/work-from-home?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Unsplash</a></i></div><div style="text-align: center;"><br /></div><div style="text-align: center;"><div style="text-align: left;">Malam itu ponsel bergetar. Pesan WhatsApp masuk dari temanku si Juned, seorang pemuda berusia 30-an yang masih berdandan seperti anak kuliahan. Juned sering menghubungiku untuk berkeluh-kesah. Dia tinggal seorang diri di sebuah apartemen di Jakarta Selatan, dan belakangan ini situasi membuatnya hampir mampus dikoyak-koyak sepi.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Tema curhatan Juned kali ini adalah kerja dari rumah alias We eF Ha yang membuatnya kewalahan. Para bos Juned, golongan <i>baby boomers </i>yang selalu merasa paling tangguh dan kalian semua cengeng, terkagum-kagum dengan kehebatan teknologi <i>video conference</i> seperti Zoom atau Google Meet. "Dengan ini kita bisa rapat kapan saja, di mana saja," seru salah seorang bos Juned dengan mata berbinar-binar seperti orang jatuh cinta.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Si bos lalu mengembangkan hobi baru: rapat dengan jam semena-mena dan durasi yang minta ampun panjangnya. Kadang jam 8 pagi sampai 3 sore, kadang rapat baru mulai jam 9 malam dan berakhir nyaris tengah malam. Bos Juned juga tak ragu menghubungi anak-anak buahnya pada akhir pekan. Mereka toh bekerja dari rumah, <i>tentunya</i> ada banyak waktu luang.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">"Waktu HaeRDe bilang kerja dari rumah menjanjikan fleksibilitas, bukan hal macam ini yang kubayangkan," ketik Juned panjang-lebar.</div><div style="text-align: left;">"Ini kok kamu enggak nelepon aja, sih?"</div><div style="text-align: left;">"Masih rapat, Cuy."</div><div style="text-align: left;">Aku memeriksa jam di ponsel. Setengah sebelas. "Gile bener."</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Juned melanjutkan curhatannya. Belum lama ini, di kantornya ada seorang pegawai baru yang tidak lulus masa percobaan lantaran keseringan izin. Usut punya usut si pegawai itu bolak-balik ke psikolog karena sedang masa pemulihan depresi. Manager yang kebagian tugas mengawasi si pegawai baru, kebetulan atasan Juned. Dia mengeluh, "Saya bingung sama generasi kalian. Sedikit-sedikit stres, dikerasin dikit langsung ke psikolog. Zaman saya dulu dapat kerjaan saja udah syukur."</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Aku menenteng ponsel ke dapur sambil mencari-cari filter kopi. Curhatan Juned kali ini sepertinya bakal intens dan butuh perhatian ekstra.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">"Yang dibilang atasanku itu tuh," kata Juned, "adalah <i>privilege</i> para <i>boomers </i>di dunia kerja yang bahkan enggak mereka sadari."</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">"<i>Privilege</i> gimana maksudmu?" balasku, sambil mengetik laman kbbi.web.id buat mencari padanan kata <i>privilege</i>. Bah, ternyata sudah diserap jadi privilese. Aku menggumamkan kata "pri-vi-le-se" dengan canggung sambil membayangkan Ivan Lanin menyeringai.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">"Ya <i>privilege</i> berupa batas urusan kantor dan rumah yang jelas, Cuy. Bayangkan: pulang kantor bisa langsung makan malam, terus nonton teve atau ngobrol sama keluarga. Pindah dari mode kantor ke mode rileks. Kalau pun ada urusan yang mendesak banget, paling ke telepon rumah. Enggak ada hape yang bikin mereka bisa dihubungi kapan saja, atau aplikasi <i>chat</i> yang bikin mereka selalu <i>online</i>. Kayak generasi kita yang bawaannya tegang terus tiap liat hape.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">"Akhirnya jadi gampang stres."</div><div style="text-align: left;">"Terus dibilang cengeng, kurang tangguh."</div><div style="text-align: left;">"Kurang tangguh <i>matane</i>!" Juned mulai misuh-misuh.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Aku menghirup kopi. "Dulu aku pernah ngobrol soal ini sama teman-teman di Twitter. Ada satu teman yang cerita, gara-gara terlalu sigap balesin <i>chat</i> urusan kantor, dia jadi berantem hebat sama suaminya dan akhirnya memilih <i>resign</i>."</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">"WTF."</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">"Mereka punya kebiasaan makan malam berdua sepulang kantor. Suaminya marah karena sepanjang makan, si istri enggak berhenti pegang hape, balesin <i>chat</i>, kadang angkat telepon. Gajinya sih gede, tapi budaya kerja begitu mana tahan?"</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">"Kita ini benar-benar dipecundangi teknologi."</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Selama lima belas menit berikutnya, Juned tidak mengirim pesan lagi. Aku menghabiskan kopiku, mencuci gelas, lalu mematikan lampu ruang tengah. Saat aku sedang bersiap-siap tidur, ponsel berdering lagi. Kali ini Juned menelepon.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">Kata-katanya memberondongku seperti peluru.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">"Cuy, barusan aku WA kamu, maksudnya mau numpang maki-maki bosku. Aku emosi karena rapat enggak kelar-kelar. Aku bilang dia kampret, @^%#Q^#%, ^%#$(^%#(*&$^(*&, dan (*#$^#$_(*#&$(*," Juned mengucapkan kata-kata yang tidak pantas didengarkan manusia baik-baik.</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">"Terus?"</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">"Malah kekirim ke bosku!"</div><div style="text-align: left;"><br /></div><div style="text-align: left;">WTF!</div></div><div style="text-align: center;"><br /></div>Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-48651722654537403572020-06-09T10:55:00.002+07:002020-06-09T10:57:04.698+07:00Melongok Identitas Kaum Muda Kota Lewat Layar Kaca<i>Andina Dwifatma</i><div><br /></div><div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3UgxUsp8GZgfBCiw5uAN6Bf2HFz7NpWHRnk-SrOjzRKdDjTVDP0giLTMsdqn20xFjq0LwYpOshvKs6MqZv3JQu7lZZoOded8XWQkNhEB3ipOMyNJsOYO_M6rXQ-zc5dohjofLPAA9ajo/s975/9786024244125_Identitas-dan-Kenikmatan_Politik-Budaya-Layar-Indonesia-Cetak-ulang_C4HUeBe.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="975" data-original-width="650" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3UgxUsp8GZgfBCiw5uAN6Bf2HFz7NpWHRnk-SrOjzRKdDjTVDP0giLTMsdqn20xFjq0LwYpOshvKs6MqZv3JQu7lZZoOded8XWQkNhEB3ipOMyNJsOYO_M6rXQ-zc5dohjofLPAA9ajo/w426-h640/9786024244125_Identitas-dan-Kenikmatan_Politik-Budaya-Layar-Indonesia-Cetak-ulang_C4HUeBe.jpg" width="426" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><br /><i><a href="https://www.gramedia.com/">Sumber</a></i><br /></td></tr></tbody></table><div><br /></div><div>Mengkonsumsi budaya populer bukanlah sekadar upaya mencari kenikmatan, tapi juga usaha merumuskan identitas. Inilah yang dibicarakan dengan kritis (sekaligus asyik) dalam buku Identitas & Kebudayaan karya Ariel Heryanto, kini Profesor di Monash University, Australia. Buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Inggris dan diterbitkan oleh NUS Press pada tahun 2014. Versi terjemahan dalam bahasa Indonesia digarap dengan apik oleh kritikus film Eric Sasono.</div><div><br /></div><div>Sejak awal, Ariel mengkhususkan bahasan identitas lewat budaya pop (khususnya film) ini pada kelas menengah muda perkotaan. Meskipun hanya merupakan bagian kecil dari total jumlah masyarakat Indonesia, kelas menengah muda perkotaan memiliki karakter yang cenderung seragam, yakni dari segi tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi, selera kultural, pola konsumsi, dan ketertarikan terhadap persoalan luar negeri dan bangsa sendiri. Kombinasi dari berbagai karakter tersebut memudahkan produsen budaya populer untuk “bicara” pada mereka.</div><div><br /></div><div>Dalam buku ini, “yang pop” dimaknai sebagai “yang politis”. Orang tidak menonton film sekadar untuk membunuh waktu atau ngefans mati-matian kepada artis pemerannya. Sambil menonton, sesungguhnya orang memproyeksikan diri mereka ke dalam tontonannya. Inilah mengapa film seperti Ayat-Ayat Cinta sukses besar menarik kaum muda Muslim, “.. karena inilah untuk pertama kalinya di layar lebar mereka menemukan representasi diri mereka, atau setidaknya citra seseorang yang mereka idamkan atau dambakan” (halaman 79-80).</div><div><br /></div><div>Dalam film yang diangkat dari novel best-seller itu, sosok Fahri adalah gambaran ideal seorang Muslim yang saleh tanpa harus berjenggot panjang dan bergamis lebar, sosok pelajar yang cerdas tanpa kelihatan kuper, bahkan dalam saat bersamaan ditaksir tiga perempuan dan semuanya cantik. Fahri adalah jalan tengah menjadi Muslim yang saleh tanpa harus ketinggalan zaman.</div><div><br /></div><div>Formula ini terbukti masih ampuh sampai sekarang. Kalau Anda jalan-jalan di YouTube, ada berbagai kanal pembuat film yang menceritakan kisah Islami (biasanya seputar usaha mencari jodoh) dengan latar di kafe-kafe hits. Rupanya selain mengaji, para pemerannya yang berjilbab syar’I dan berbaju koko itu juga suka ngopi-ngopi.</div><div><br /></div><div>“.. orang Indonesia yang tinggal di perkotaan berusaha untuk berakrobat dengan menggunakan tiga bola sekaligus: menjadi Muslim taat [..], menjadi warga negara yang terhormat [..], sekaligus menjadi anggota komunitas produsen dan konsumen global” (halaman 75-76).</div><div><br /></div><div>Pertempuran sinematis mengenai wacana Islam hanyalah salah satu dari berbagai diskursus budaya layar yang dibicarakan dalam buku ini. Secara khusus, Ariel membagi analisisnya ke dalam dua bagian besar, yakni politik identitas dan kenikmatan (termasuk di dalamnya ledakan budaya bermuatan Islam, serta Korean Wave) dan politik kebudayaan yang terpinggirkan (termasuk di dalamnya peristiwa pembunuhan massal 65-66, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dan kelas bawah).</div><div><br /></div><div>Bab mengenai etnis Tionghoa dalam buku ini amat menarik. Ariel menjabarkan dengan asyik mengenai kiprah etnis Tionghoa dalam budaya layar di Indonesia. Teguh Karya, salah satu sineas paling cemerlang di Indonesia, adalah keturunan Tionghoa tapi tidak pernah sekalipun ada tokoh filmnya yang keturunan Tionghoa. Orang di sekitarnya bahkan perlu berbisik-bisik menyebut Teguh Karya sebagai “seorang Cina”. Tokoh film seperti Misbach Yusa Biran pun ternyata punya pandangan agak miring terhadap etnis Tionghoa lantaran “cukong-cukong Cina” dianggap menghancurkan kualitas film Indonesia lewat impor film-film bermutu rendah.</div><div><br /></div><div>Ketika bicara soal representasi etnis Tionghoa dalam film-film Indonesia, kondisinya tidak kalah menyedihkan. Mengutip riset Krishna Sen, Ariel menyebut bahwa pertama kalinya muncul keluarga Tionghoa dalam film Putri Giok (1980), mereka hanya “.. dijelek-jelekkan sebagai masalah bagi bangsa sehingga perlu mengalami ‘penghapusan’ sejalan dengan propaganda Orde Baru mengenai pembauran” (halaman 214).</div><div><br /></div><div>Menurut Croteau dalam buku Media/Society (2013), ada tiga isu yang muncul ketika membicarakan media dan minoritas. Pertama, soal inklusi. Apakah produser media menampilkan gambar, pandangan, dan budaya dari kelompok ras yang berbeda? Kedua, bagaimana cara produser memotret minoritas dalam konten media? Ketiga, kendali produksi. Apakah minoritas punya kendali terhadap penggambaran mereka di media?</div><div><br /></div><div>Poin terakhir menjadi sorotan penting dalam analisis Ariel selanjutnya. Pasca reformasi 1998, mulai bermunculan film-film tentang orang Indonesia keturunan Tionghoa yang mendobrak stereotip (apolitis, pedagang kaya dan pelit, dll) seperti Ca Bau kan dan Gie. Kini, kondisinya lebih menggembirakan lagi. Sineas muda Indonesia keturunan Tionghoa seperti Ernest Prakasa dengan menceritakan pengalamannya tumbuh sebagai “anak Cina” di Indonesia dalam film Ngenest (2015). Di sana kita akan melihat gambaran jujur mengenai anak sekolah yang dirundung dan dipalak gara-gara bermata sipit. Lalu dalam film Ernest yang lain, Cek Toko Sebelah (2016) kita akan disuguhi pemandangan orang membicarakan tragedi Mei 1998 dalam percakapan sehari-hari.</div><div><br /></div><div>Upaya seperti yang dilakukan Ernest sangat penting sebagai alternatif wacana tentang relasi etnis Tionghoa dan negara Indonesia. Film merupakan pilihan media yang tepat karena sifatnya yang diproduksi massal dan mudah dinikmati banyak orang. Hal ini menjadi sangat penting, khususnya sekarang saat kita diseret untuk menggandrungi ideologi kepribumian. Pribumi adalah “kita” dan non-pribumi adalah “mereka”. Orang bahkan dengan bangga memasang stiker “saya pribumi”, menempelkannya di kaca mobil, lalu mengunggah foto tersebut ke media sosial seolah-olah hal tersebut merupakan suatu kemenangan besar. Budaya layar bisa memainkan peran yang amat penting sebagai alternatif terhadap ideologi kepribumian yang membahayakan ini.</div><div><br /></div><div>Buku ini terasa istimewa karena memberi pembaca pandangan lain kala menikmati budaya pop. Daripada memandang budaya pop sekadar sebagai sesuatu yang dinikmati “iseng-iseng”, pembaca diajak untuk mengamati lebih jauh dan menggali lebih dalam. Setelah menyelesaikan buku ini, pembaca akan menonton dengan kesadaran yang baru.</div></div><div><br /></div><div><br /></div><div><div><b>Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia</b></div><div><b>Ariel Heryanto</b></div><div><b>Kepustakaan Populer Gramedia</b></div><div><b>September 2015</b></div></div><div><br /></div><div><br /></div><div><i>Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Ruang, 19 Juni 2017</i>.</div><div><br /></div>Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-65346896535923508102020-05-30T14:22:00.001+07:002020-05-30T22:53:19.359+07:00Film, Televisi, dan Lelucon Jorok<p class="MsoNormal"><i><span style="font-family: corbel, sans-serif;"><br /></span></i></p><p class="MsoNormal"><i></i></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiM_4jjTcgylCGTvYhTdiPuYbk4MfGzJD_douCf0XRcxRPZW8yhVGp7JRh7htsoSkg5eTmp_d78CbKdtMX3QfSdyW32Uo2U9TfhRoxrtkOWxQoCyv3H56GzHZR1ZVJDdAYcOp-JD7zLz2Y/" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="4433" data-original-width="5541" height="512" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiM_4jjTcgylCGTvYhTdiPuYbk4MfGzJD_douCf0XRcxRPZW8yhVGp7JRh7htsoSkg5eTmp_d78CbKdtMX3QfSdyW32Uo2U9TfhRoxrtkOWxQoCyv3H56GzHZR1ZVJDdAYcOp-JD7zLz2Y/w640-h512/myke-simon-atsUqIm3wxo-unsplash.jpg" width="640" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i><span style="background-color: whitesmoke; color: #111111; font-family: -apple-system, BlinkMacSystemFont, "San Francisco", "Helvetica Neue", Helvetica, Ubuntu, Roboto, Noto, "Segoe UI", Arial, sans-serif; font-size: 14px; text-align: start; white-space: nowrap;"><br />Photo by </span><a href="https://unsplash.com/@myke_simon?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText" style="background-color: whitesmoke; box-sizing: border-box; color: #767676; font-family: -apple-system, BlinkMacSystemFont, "San Francisco", "Helvetica Neue", Helvetica, Ubuntu, Roboto, Noto, "Segoe UI", Arial, sans-serif; font-size: 14px; text-align: start; text-decoration-skip-ink: auto; transition: color 0.1s ease-in-out 0s, opacity 0.1s ease-in-out 0s; white-space: nowrap;">Myke Simon</a><span style="background-color: whitesmoke; color: #111111; font-family: -apple-system, BlinkMacSystemFont, "San Francisco", "Helvetica Neue", Helvetica, Ubuntu, Roboto, Noto, "Segoe UI", Arial, sans-serif; font-size: 14px; text-align: start; white-space: nowrap;"> on </span><a href="https://unsplash.com/s/photos/movies?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText" style="background-color: whitesmoke; box-sizing: border-box; color: #767676; font-family: -apple-system, BlinkMacSystemFont, "San Francisco", "Helvetica Neue", Helvetica, Ubuntu, Roboto, Noto, "Segoe UI", Arial, sans-serif; font-size: 14px; text-align: start; text-decoration-skip-ink: auto; transition: color 0.1s ease-in-out 0s, opacity 0.1s ease-in-out 0s; white-space: nowrap;">Unsplash</a></i></td></tr></tbody></table><i><span style="font-family: corbel, sans-serif;"><br /></span></i><p></p><p class="MsoNormal"><i><span style="font-family: corbel, sans-serif;"><br /></span></i></p><p class="MsoNormal"><i><span style="font-family: corbel, sans-serif;">Oleh Andina Dwifatma</span></i></p><br /><div><p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">innuendo.
noun. <i>(the making of) a remark or remarks that suggest something sexual or
something unpleasant but do not refer to it directly</i>. -- Cambridge Online
Dictionary</span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: corbel, sans-serif;"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: corbel, sans-serif;">Na yang baik,</span></p></div><div>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Seharian</span><span style="font-family: corbel, sans-serif;"> kau
uring-uringan lantaran salah satu pengarang kegemaranmu, Sherman Alexie,
tersangkut kasus <a href="https://twitter.com/LitsaDremousis/status/967257776132046848?s=20" target="_blank">pelecehan seksual</a>.<span style="font-size: 14.6667px;"> </span>Konon ada puluhan perempuan yang mengadu telah disakiti, dipermalukan, dan
dilecehkan oleh Alexie. </span><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">K</span><span style="font-family: corbel, sans-serif;">ebanyakan </span><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">dari mereka adalah</span><span style="font-family: corbel, sans-serif;"> cewek muda
keturunan Indian, seorang <i>native </i>seperti dia. </span><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Penulis </span><span style="font-family: corbel, sans-serif;">Litsa Dremousis, salah satu
(bekas) sahabat Alexie yang kecewa berat dengan kenyataan ini bilang, “<i>He
was so good to so many of us & absolutely monstrous to others. And as
someone told me, he knew exactly whom to target</i>.”<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span style="font-family: corbel, sans-serif;">Kamu tentu saja boleh kecewa</span><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">. </span><span style="font-family: corbel, sans-serif;">Saat kita suka pada karya seseorang, seringkali kita
jadi membayangkan yang bagus-bagus tentang dia. Aku ingat kamu menamatkan “Adu
Jotos Lone Ranger dan Tonto di Surga” lantas dengan <i>lebay</i> berkata,
itulah buku terakhir yang harus kubaca andaikata besok dunia kiamat. Mungkin
kamu telanjur membayangkan Sherman Alexie sebagai seseorang yang menarik dan
seru seperti cerita-ceritanya. Apa boleh buat, Na, orang bisa sangat hebat </span><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">sebagai seniman atau ilmuwan
atau politikus atau pemuka agama atau apapun juga</span><span style="font-family: corbel, sans-serif;">, tapi menjijikkan sebagai
manusia.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span style="font-family: corbel, sans-serif;">(Aku tidak membaca “Adu Jotos” sampai habis, maaf. Rasanya aku ketiduran
di tengah jalan dan keesokan harinya aku sudah berpindah ke buku lain lagi.)<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Melalui
catatan ini, aku ingin mengajakmu berhenti bersedih dan melihat gambaran
besarnya. </span><span style="font-family: corbel, sans-serif;">Sherman Alexie tidak sendiri; ada banyak bajingan predator seksual, dan
sekarang seluruh dunia sedang bangkit </span><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">melawan mereka</span><span style="font-family: corbel, sans-serif;">.</span><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">
Fakta bahwa semakin banyak pihak yang melapor, menunjukkan pelecehan seksual
ini seperti fenomena gunung es: yang kaulihat baru puncaknya. </span><span style="font-family: corbel, sans-serif;"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;"><br /></span></p>
<p class="MsoNormal"><span style="font-family: corbel, sans-serif;">Na yang manis,<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Pada
Oktober 2017 lalu, <i>The New York Times</i>
dan <i>The New Yorker </i>memberitakan
sejumlah tuduhan pelecehan seksual terhadap produser kenamaan di Hollywood,
Harvey Weinstein. Sekarang sudah ada 80 korban yang melapor. Aktris Alyssa
Milano lantas memulai sebuah gerakan lewat akun Twitter-nya. Dia mengajak siapa
saja yang pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual, membalas twit dia
dengan menyertakan kata ‘<i>m</i></span><i><span style="font-family: corbel, sans-serif;">e</span></i><i><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;"> t</span></i><i><span style="font-family: corbel, sans-serif;">oo</span></i><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">’.
Hanya dalam semalam, twit Alyssa mendapat 55.000 balasan dan menjadi <i>trending hashtag</i> di Twitter. Per
Desember tahun lalu, tagar #MeToo sudah dipakai oleh pengguna Twitter di 85
negara dan diposting 85 juta kali di Facebook.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Hollywood
pun riuh. Semenjak Weinstein, ada puluhan tokoh dunia hiburan yang kena tuduhan
serupa. Mulai dari komedian Louis C.K., aktor Kevin Spacey, Ed Westwick, James
Franco, Steven Seagal, Ben Affleck, dan masih banyak lagi. Umumnya reaksi para
tertuduh ini serupa belaka: antara bilang pelapornya mengada-ngada, atau
peristiwa itu terjadi atas dasar suka sama suka.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Kuceritakan
salah satunya. Suzie Hardy, pengarah gaya <a href="https://www.glamour.com/gallery/post-weinstein-these-are-the-powerful-men-facing-sexual-harassment-allegations" target="_blank">Ryan Seacrest</a>, melapor bahwa sang
pembawa acara terkenal itu telah melecehkannya<span>
</span>selama 7 tahun.<span style="font-size: 14.6667px;"> </span>Seacrest pernah
menghampirinya hanya dengan mengenakan celana dalam, menempelkan penisnya ke
bagian belakang Hardy, merogoh vaginanya, dan suatu kali menampar pantat Hardy
keras sekali sampai meninggalkan bekas. Hardy mempertahankan pekerjaannya
karena harus membiayai anak perempuannya. Masa sih, yang begini dibilang suka
sama suka?<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Atau
pengalaman aktor <a href="https://edition.cnn.com/2018/02/22/entertainment/brendan-fraser-groping-allegation/index.html" target="_blank">Brendan Fraser </a>yang menghilang tiba-tiba setelah sukses
bermain sebagai arkeolog di film <i>The
Mummy</i> dan <i>The Mummy Returns</i>.
Fraser baru-baru ini bilang dalam sebuah wawancara, tahun 2003 dia dilecehkan
oleh Philip Berk, anggota Hollywood Foreign Press Association (HFPA). Kata
Fraser, di sebuah pesta, Berk meraba pantatnya lalu menyentuh area di antara
pantat dan kemaluan. Fraser merasa mual, ingin muntah dan menangis. Peristiwa
itu membuatnya menarik diri dan jadi depresi. Saat dikonfrontasi, Berk bilang
peristiwa itu memang terjadi tapi dia hanya “bersenda gurau” (‘<i>in jest</i>’).<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Kau
lihat, Na, alasan “suka sama suka”<span> </span>dan
“cuma bercanda kok” ini problematik. Istilah ini menunjukkan bahwa ada banyak
aktivitas seksual yang dianggap wajar oleh sekelompok orang, padahal itu
menyakitkan buat yang lain. Bayangkan orang lain menepuk pantatmu, mencubit
pipimu, atau menciummu di depan umum. Buat pelaku, ini mungkin sesuatu yang
biasa-biasa saja, sementara buatmu hal itu bikin nggak nyaman setengah mati.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Dari
mana orang menyimpulkan makna kode-kode seksual, misalnya pemakai rok mini itu
seksi sehingga pantatnya boleh ditepuk, perempuan cantik boleh dicubit pipinya,
paha terbuka itu ‘mengundang’, dan banci boleh ditertawakan habis-habisan?
Salah satunya adalah dari budaya pop, termasuk budaya layar seperti film
bioskop dan acara televisi.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Budaya
pop itu tidak remeh atau kacangan, Na. Dia justru mencerminkan standar sosial
budaya dalam masyarakat. Soalnya, produk budaya pop itu dibikin dengan tujuan
tunggal, yaitu supaya laku. Itulah mengapa para kreator<span> </span>berupaya menciptakan konten yang dimengerti
dan diterima oleh khalayak.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Gawatnya,
pada banyak film, seks sering diselundupkan sebagai bahan lelucon. Dari mulai
film berkategori remaja, dewasa, bahkan film-film kartun anak buatan Disney. Di
Indonesia sendiri, kalau kau nonton film Warkop DKI (baik yang orisinal maupun
yang versi <i>reborn</i>), selalu ada adegan
yang melibatkan perempuan seksi. Aku ingat adegan Kasino mengintip perempuan
ganti baju di pantai, lalu kabur ketika melihat <i>cup</i> bra perempuan itu ada tiga. Rupanya, perempuan yang punya tiga
buah dada itu lucu sekali. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Di
Indonesia, film-film bermutu pun latah menggunakan formula ini. Tokoh
sekretaris Anita (Yeyen Lidya) di film <i>Cek
Toko Sebelah</i> (2016) digambarkan gemar berbaju seksi, mempertontonkan
payudaranya yang besar. Kemunculan Anita selalu ditandai dengan adegan <i>slow motion</i> dan cowok ngiler melihat
payudaranya. Salah satu adegan bahkan menunjukkan seorang cowok bengong melihat
Anita, lantas meremas-remas dada teman cowok di sampingnya. Adegan ini
merupakan pelecehan seksual yang digambarkan terang di depan mata, tapi kita
disuruh ketawa seolah itu lucu.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Formula
ini diulang lagi di <i>Susah Sinyal</i>
(2017). Tokoh pasangan <i>honeymooners</i>
pemilik tambak udang (Chew Kinwah) dan istrinya yang seorang pedangdut seksi,
bolak-balik mengisyaratkan mereka aktif melakukan hubungan seksual. Ketika
disinggung bahwa kamar mereka paling berisik se-penginapan, sang suami bilang,
“Dia nih yang berisik. Kalau saya sih bagian ‘kerja’.” Lalu ketika malam-malam
Yos (Abdur Arsyad) dan Melki (Arie Kriting) mendengar teriakan dan mengira ada
yang kemasukan, Melki dengan enteng berkata, “Eh tapi kalau lagi bulan madu,
memang ada yang ‘kemasukan’ toh?”<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;"><br /></span></p>
<p class="MsoNormal"><span style="font-family: corbel, sans-serif;">Na </span><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">yang
cerdas,</span><span style="font-family: corbel, sans-serif;"><o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Menurut
Seno Gumira Ajidarma dalam salah satu artikelnya tentang bahasa lelucon,
semangat humor selalu mengandung agresi. Artinya, ada pihak yang diserang,
ditanggapi, dihadapi, atau dilawan. <i>Sexual
innuendo</i> menjadi lucu karena menyerang, menanggapi, menghadapi, atau
melawan perkara seksual, baik alat kelamin (penis, vagina) maupun hubungan
seksual.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Sexual innuendo</span></i><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;"> menjadi lucu karena
membicarakan hal yang "enggak sopan dibicarakan". Orang butuh
menyalurkan agresi<span> </span>mereka soal seks
dengan cara-cara yang bisa diterima publik, makanya guyonan yang nyerempet
digemari. Padahal, apa sih yang lucu dari alat kelamin dan penggunaannya?<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Alat
kelamin adalah perangkat yang digunakan untuk rekreasi dan reproduksi. Alat
kelamin enggak lebih penting maupun lebih menjijikkan dari tangan, siku,
hidung, dan alat-alat tubuh yang lain. Alat kelamin hanya perlu disembunyikan
karena kesepakatan kebudayaan kita mengatakan demikian. Dan alat kelamin
menjadi "lucu", ya, karena disembunyikan itu.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Makanya
kemudian ada banyak kata "normal" yang mengacu pada alat kelamin:
burung (penis) atau gunung (payudara). Dari kecil kita tidak pernah diajari
menyebut alat kelamin (penis, vagina) sebagaimana adanya karena
"saru". Makanya ketika membahas reproduksi di pelajaran Biologi,
sekelas cekikikan.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><i><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Cek Toko Sebelah</span></i><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;"> ditonton oleh 2,5 juta orang
dan <i>Susah Sinyal</i> memperoleh penonton
2 juta orang. <i>Warkop DKI Reborn</i> malah
sempat menduduki puncak <i>box office</i>
film Indonesia dengan total 10 juta penonton. Artinya, ada 14 juta orang lebih
yang menonton film dengan selipan seks sebagai lelucon.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Konten
dan medium itu saling mempengaruhi, Na. Lelucon berbau seks digunakan dalam
film karena dianggap sebagai kewajaran, padahal semakin sering orang menonton
adegan <i>sexual innuendo</i> dalam film,
semakin dia menerima hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Aku cemas,
semakin orang menangkap pesan bahwa bercanda atas nama seks itu wajar, akan
semakin banyak pelecehan fisik maupun verbal yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Ketika dikonfrontasi, pelaku boleh jadi akan berlindung di balik
kalimat, “cuma bercanda kok, serius amat!”.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;"><br /></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Na
tersayang,<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Soal
Sherman Alexie, kau boleh—dan perlu—mengambil sikap. Debbie Reese, editor blog
American Indians in Children’s Literature, menghapus foto dan semua artikel
tentang Alexie yang sudah nongol selama 11 tahun, sebagai bentuk protes. Harvey
Weinstein dipecat dari perusahaannya sendiri, The Weinstein Company. Aku
sendiri sudah berhenti nonton film-film Woody Allen</span><span style="font-family: corbel, sans-serif;">, walaupun
kautahu aku suka sekali <i>You Will Meet a
Tall Dark Stranger</i> dan <i>Midnight in
Paris</i>.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Selain
boikot, langkah lain yang produktif juga perlu diambil. Para kreator konten budaya
massa sebaiknya berhenti menyelipkan <i>sexual
innuendo</i> di karya-karya mereka. Bukankah banyak hal lain yang bisa
dijadikan bahan lelucon?<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Lalu,
daripada menganggap seks sebagai sesuatu yang tabu dan hanya boleh ditertawakan
diam-diam, lebih baik kita sungguh-sungguh merancang pendidikan seks untuk
anak-anak kita. Jangan sampai mereka mengalami kehamilan tak direncanakan atau
tertular penyakit karena tidak tahu fungsi alat reproduksinya sendiri.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;">Tempo
hari ada gadis remaja pengguna Twitter yang dirisak warganet karena menyarankan
perempuan yang sedang mens untuk <a href="https://makassar.tribunnews.com/2018/02/06/sebut-wanita-haid-dapat-hamil-saat-renang-karena-sperma-lewat-pori-pori-orang-ini-dibully-netizen" target="_blank">tidak berenang</a>. Soalnya, kata dia, sperma
laki-laki yang berenang di air kolam bisa masuk lewat pori-pori kulit! ***</span></p><p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;"><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="font-family: corbel, sans-serif;"><i>Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Ruang, 28 Februari 2018.</i></span></p></div>Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-87604630888947441632020-04-08T18:34:00.003+07:002023-12-04T18:06:35.190+07:00Doom-Surfing<span style="font-family: inherit;">Hari-hari ini main media sosial rasanya serba salah: di satu sisi kita butuh informasinya, di sisi lain, terlalu banyak asupan kabar buruk bikin gampang sedih dan frustrasi.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Kalau kamu sepertiku, karantina diri yang sudah berjalan berminggu-minggu ini justru membuat intensitas penggunaan media sosial meningkat. Aku jadi lebih ingin terhubung dengan dunia. Ingin selalu <i>update</i>, ingin tahu kabar orang-orang, ingin tahu perkembangan isu. Aku hampir selalu <i>online</i> di Twitter, lebih rajin buka Facebook, dan gercep bales WhatsApp <strike>masnya</strike>.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Mungkinkah karena selama ini media sosial menjadi perpanjangan dari komunikasi interpersonal kita (<i>haaaah... kitaaa</i>?) *mencolek Marshall McLuhan*</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxEzLJ_e6mc5QCpG4oj4Wm4C603-CsfclnRCc33_HXo3Qm-38HtGIkrwB6xPQkUZxJ_zUIH5K7Eg7enlEKk41OZLdyJuXmjcXV5cN4rBPlGfcYyxFvNYk7y5oewHu_6i9nee3aQP4qwNk/s1600/2xp779crdzq41.png" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="753" data-original-width="960" height="313" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxEzLJ_e6mc5QCpG4oj4Wm4C603-CsfclnRCc33_HXo3Qm-38HtGIkrwB6xPQkUZxJ_zUIH5K7Eg7enlEKk41OZLdyJuXmjcXV5cN4rBPlGfcYyxFvNYk7y5oewHu_6i9nee3aQP4qwNk/s400/2xp779crdzq41.png" width="400" /></span></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i><span style="font-family: inherit; font-size: small;">Kiamat sudah dekat</span></i><br />
<div style="text-align: left;">
<i><span style="font-family: inherit; font-size: small;"><br /></span></i></div>
<i><span style="font-family: inherit; font-size: small;">
</span></i></td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;">Salah seorang pengguna <span style="color: red;"><a href="https://www.collinsdictionary.com/submission/22175/doomsurfing" target="_blank"><span style="color: red;">Collins Dictionary</span></a> </span>mengusulkan kata '<i>doomsurfing</i>' sebagai istilah baru, yang diartikan sebagai '<span style="background-color: white;"><i>surfing the web for frightening content relating to Covid-19</i>'. Mungkin inilah yang selama ini kita lakukan di medsos: <i>browsing timeline </i>dan nge-<i>like </i>artikel, berita, jurnal, <i>thread </i>tentang corona... lalu nangis sendiri. <i>Doomsurfing </i>adalah kegiatan yang mungkin tidak produktif, tetapi sulit dihindari. Apalagi dengan sistem kerja algoritma sekarang ini; makin banyak kita mencari berita-berita 'miring' tentang Covid-19, makin buanyakkkk artikel serupa yang disodorkan ke hadapan kita.</span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white;"><br /></span></span>
<span style="background-color: white;">Bukannya enggak berterima kasih loh, pada para penulis artikel dan pembuat <i>thread</i>. Di tengah informasi yang simpang-siur dan Menkominfo Johnny G Plate (btw katanya beliau aslinya orang Tegal loh, soalnya G plate, nek AB plate ya berarti orang Jogja, lucu kan, ketawa dong...) yang terus-terusan memberi <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/04/07/18035891/menkominfo-penggunaan-internet-meningkat-hingga-10-persen-paling-banyak-dari?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter" target="_blank"><span style="color: red;">komentar absurd</span></a>, keberadaan sumber informasi yang cerdas, tajam, dan andal bagaikan cahaya di kegelapan.</span><br />
<span style="background-color: white;"><br /></span>
<span style="background-color: white;">Kalau bukan dari Twitter, aku pasti enggak tahu tentang bahaya <i>herd immunity</i>, tentang permodelan statistik penderita Covid-19 di Indonesia yang mencapai puluhan ribu, tentang kemungkinan puluhan juta orang Indonesia akan mati, tentang prediksi dampak pandemi yang mungkin akan makan waktu bertahun-tahun, tentang penderitaan orang-orang yang pada di-PHK, seorang bapak yang menukar TV dengan beras saking desperate anaknya gak bisa makan, ojol yang dikerjain pelanggan, dst dst. </span><br />
<span style="background-color: white;"><br /></span>
<span style="background-color: white;">Hanya saja, pada satu titik tertentu, segala pencerahan ini pelan-pelan mengikis harapan (yang sesungguhnya sudah tipis) dan memupuk kecemasan. Lha, masalanya, dihindari sama sekali juga enggak bisa. Apa kita mau jadi orang yang masa bodoh, serba <i>ignorant</i>, dan hanya memikirkan keadaan diri sendiri? Kan jadinya serba salah <strike>seperti perasaanku kepadamu</strike>.</span><br />
<span style="background-color: white;"><br /></span>
<span style="background-color: white;">Aku kasak-kusuk dengan beberapa teman soal ini. Ada teman yang jadi membatasi jam online di media sosial, selebihnya ponsel dia kunci di dalam lemari. Ada yang lebih ekstrim, hanya akan nongol di media sosial seminggu sekali. Ada yang lebih selektif membaca berita. Ada yang mengandalkan orang yang dia percaya sebagai <i>gatekeeper </i>berita; alias hanya membaca artikel/berita/informasi apa pun yang direkomendasikan orang tersebut.</span><br />
<span style="background-color: white;"><br /></span>
<span style="background-color: white;">Mungkin benar kata Spice Girls, <i>too much of something is bad enough</i>.. (you sing you lose). Kita harus tahu sampai di mana batas kemampuan kita menerima informasi biar enggak <i>overwhelmed</i>. Solusi lain? Lakukan sesuatu. Tempo hari aku keluar rumah, berkeliling membagikan masker ke orang-orang yang bekerja di jalanan di sekitar perumahan. Pulangnya, aku merasa lebih baik. Dunia ternyata terus berjalan di luar ketakutanku, dan betapa pun kecilnya, aku punya kesempatan untuk berbuat sesuatu. ***</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white;"><br /></span></span>Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-273504020429914332020-03-31T16:26:00.000+07:002023-12-04T18:06:37.793+07:00Dokter Amin Hari ini RT kami heboh. Beredar informasi di grup WhatsApp (WA) bahwa dokter Amin terserang corona. "Celaka betul," kata salah seorang tetangga. "Anakku belum lama ini diperiksanya."<br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqJzP5Yqo67BmQzC0vonFFyaI1qqKEW2O3z2Y8GiJnxIk3cnGPULu2WYTcXl6OjJ494dKllZM_F1BykHEJiuEX-C8Sqq4GrXE4jZoZW1H4FdbHzLhEADvn3XqhV-d2ms5ibMG8ee0PDFE/s1600/ws_Op_Art_Horizontal_Blinds_Green_1152x864.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="864" data-original-width="1152" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqJzP5Yqo67BmQzC0vonFFyaI1qqKEW2O3z2Y8GiJnxIk3cnGPULu2WYTcXl6OjJ494dKllZM_F1BykHEJiuEX-C8Sqq4GrXE4jZoZW1H4FdbHzLhEADvn3XqhV-d2ms5ibMG8ee0PDFE/s400/ws_Op_Art_Horizontal_Blinds_Green_1152x864.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="https://wallpaperstock.net/op-art-horizontal-blinds-green_wallpapers_8991_1152x864_1.html" target="_blank"><span style="color: red;">Source</span></a></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Dokter Amin spesialis anak dan pasiennya bejibun. Konon orangnya baik dan cakap (kami belum pernah ketemu karena anakku lebih anteng diperiksa neneknya sendiri), dan asal kau tahu, menemukan dokter anak yang cocok itu lebih sulit dari mencari jodoh. Kadang anak kita suka dengan dokternya, tapi obat yang dikasih sama sekali tidak manjur, atau kebalikannya, dokter itu cakap luar biasa tapi anak baru melihat ujung jas putihnya saja sudah menjerit-jerit.<br />
<br />
Bisa dibayangkan betapa waswasnya kami ketika mendengar kabar nahas itu. Di luar, hujan turun dengan derasnya dan angin menampar-nampar. Cuaca yang cocok untuk menangis.<br />
<br />
Para ibu segera berbagi kecemasan. Karena sedang <i>social distancing, </i>kami pun <i>cemruwit </i>di grup WA RT 003/RW 015.<br />
<br />
"Bu RT, apakah semua pasien yang habis berobat ke dokter Amin otomatis jadi ODP?"<br />
<br />
ODP adalah Orang Dalam Pemantauan (ODP). Sebaiknya jangan disebut ODC (Orang Dalam Catatan) <a href="https://twitter.com/wisnu_prasetya/status/1244233613261955073?s=20"><span style="color: red;">apalagi OCD</span></a>.<br />
<br />
"Bu RT, saya baru dari dokter Amin tiga hari lalu soalnya Zidan sakit. Sekarang saya kok jadi ngerasa demam, tenggorokan enggak enak, dada agak sesak. Gimana dong???" (tanda tanya tiga)<br />
<br />
"Bu, waktu periksa apa Ibu salaman sama dokter Amin?"<br />
"Seingat saya sih enggak, tapi kan Zidan diperiksa dia."<br />
"Lha apa tidak cuci tangan?"<br />
"Lupa."<br />
<br />
Seorang tetangga meneruskan gambar Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) tempat dokter Amin berpraktik, disegel dengan pita kuning-hitam. Karena diambil dari jarak jauh, plang nama RSIA tampak samar.<br />
<br />
"Siaga 1 ini ibu-ibu. Daerah kita menjadi zona merah. Seluruh dokter dan suster RSIA itu dipulangkan." (emot kaget-emot kaget-emot kaget)<br />
<br />
Beberapa ibu terlihat <i>is typing</i>...<br />
<br />
"Allahu akbar, mari kita minta perlindungan Allah SWT ibu-ibu sekalian, karena Allah lah sebaik-baik penolong.." (dilanjutkan dengan mengirim ayat-ayat).<br />
"Apa tidak sebaiknya kita lapor ke polsek depan, ibu-ibu? Biar ada yang mengkoordinasi kalau kita harus tes corona."<br />
"Lho kok jadi ke polisi? Ke rumah sakit rujukan saja dulu."<br />
"Tapi dengar-dengar antrenya lama. Kemarin ada yang 5 jam enggak diapa-apain, ujung-ujungnya koit."<br />
"Ya Allah, istighfar, Bu.."<br />
"Astaghfirullohaladziiiiim."<br />
<br />
Aku memutuskan terjun ke arena peperangan. Kataku, "Ada yang punya nomornya dokter Amin tidak? Sebaiknya kita tanya dulu apa benar beliau kena corona."<br />
<br />
Grup lantas menjadi #sejenakhening seperti pengikut Adjie Santosoputro.<br />
<br />
Sepuluh menit kemudian tetanggaku menyahut, barusan dokter Amin mengirim WA: yang bersangkutan tidak kena corona, melainkan dirawat karena kecapekan saja. Karena dokter-dokter spesialis anak yang lain pada takut terinfeksi, mereka libur praktik. Dokter Amin pun kewalahan karena menerima limpahan pasien yang begitu banyak.<br />
<br />
Lantas bagaimana dengan RSIA yang diisolasi?<br />
<br />
"Itu foto klinik di Bojonggede," jelas dokter Amin. "Disegel karena menjadi tempat aborsi. Kasus lama itu, sudah lima tahun lalu. Warna kliniknya memang mirip dengan rumah sakit kami."<br />
<br />
Kami mengangguk-angguk di rumah masing-masing, dan kubayangkan, di ujung sana, dokter Amin mengembuskan napas lelah. ***Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-79901726695373165192019-12-06T10:42:00.000+07:002020-05-30T19:19:52.654+07:00Sri Mulyani Dari Dekat Sekali<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEja-JzGnu6QOuPXCMS3HSBA8BbFAp-UosSSEm88XAX482Y9Pi6eHsIUaTc-KqYcshfIIgtfPLrhQrr88AGXBxXMvsRoP9krSe2-49XbJOzghMZBQoyydmSSMT1z40dces4fAPJmawwnZho/s1600/Women_in_Leadership_204k.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="894" data-original-width="1341" height="425" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEja-JzGnu6QOuPXCMS3HSBA8BbFAp-UosSSEm88XAX482Y9Pi6eHsIUaTc-KqYcshfIIgtfPLrhQrr88AGXBxXMvsRoP9krSe2-49XbJOzghMZBQoyydmSSMT1z40dces4fAPJmawwnZho/s640/Women_in_Leadership_204k.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Hak cipta: <a href="https://twitter.com/HerbFeithCentre"><span style="color: red;">@HerbFeithCentre</span></a></td></tr>
</tbody></table>
<br />
.. <i>literally </i>ya<i>, </i>bukan <i>figuratively</i>. 😁<br />
<br />
Beberapa waktu lalu saya diundang oleh Herb Feith Indonesian Engagement Centre untuk makan malam bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) di Restoran Tugu Kunstkring Paleis, Jakarta. Topiknya asyik: menjadi perempuan pemimpin. SMI cerita banyak soal pengalaman dia meniti karier sebagai pejabat publik.<br />
<br />
Satu hal yang sering banget ditanyakan orang ke SMI adalah: <i>bagaimana cara Ibu membagi waktu antara karier dan rumah tangga</i>? Lucunya, pertanyaan yang sama enggak pernah diajukan ke kolega laki-laki. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat kita memandang perempuan: setinggi-tingginya karier seorang istri, tanggung jawab urusan rumah dan anak tetap berada di pundak dia.<br />
<br />
"Hal lain yang juga sering dinyinyirin media <i>hanya </i>ke narasumber perempuan adalah penampilan. Pakai baju yang itu-itu saja dikomentarin, enggak pakai <i>make-up</i> dinyinyirin, bertato salah, kurang dandan salah," kata SMI, "Sementara politisi cowok bisa kelihatan enggak sisiran kayak Boris Johnson, enggak ada yang mempermasalahkan."<br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfiQFREesxp9PqIOCewLQYyBKdrGiueZjxIoMu06-bm28upj0rSodW3QY87a4WvKC5f0r27op_ilmKVAW1psPYiKPl5FM4_ir8Xqa1KJ9FVFsm3DeUM5wTq6E2e6gNrJpE1JCI-kne3ow/s1600/people-are-comparing-boris-johnson-to-trump-5-5d382344e0838__700.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="350" data-original-width="700" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfiQFREesxp9PqIOCewLQYyBKdrGiueZjxIoMu06-bm28upj0rSodW3QY87a4WvKC5f0r27op_ilmKVAW1psPYiKPl5FM4_ir8Xqa1KJ9FVFsm3DeUM5wTq6E2e6gNrJpE1JCI-kne3ow/s400/people-are-comparing-boris-johnson-to-trump-5-5d382344e0838__700.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Same vibe. <a href="https://www.boredpanda.com/boris-johnson-donald-trump-comparison/?utm_source=google&utm_medium=organic&utm_campaign=organic">Source</a>.</i></td></tr>
</tbody></table>
<br />
SMI cerita, di Kementerian Keuangan sendiri, proporsi laki-laki dan perempuan di jenjang awal karier sesungguhnya berimbang, nyaris 50-50. Proporsi ini semakin berkurang seiring peningkatan jenjang karier, hingga akhirnya menyentuh 30:70 di level eselon atas. Kebanyakan dari PNS perempuan Kemenkeu biasanya memilih mundur ketimbang harus ditempatkan di luar kota. Usia kritis bagi karier mereka ada di 30-40 tahun. *<i>batuk-batuk</i>*<br />
<br />
Episode "pilih karier atau keluarga" juga pernah dia alami sendiri. Saat sedang kuliah S3 di Amerika Serikat, SMI harus berpisah dengan suami dan anak, yang ketika itu masih berusia 1 tahun. Uang beasiswa menipis, sementara kebutuhan semakin banyak. Suami SMI memutuskan kembali bekerja di Indonesia dengan memboyong si bayi. SMI menangis setiap hari. Mungkin karena enggak tahan kangen keluarga itu lah, dia bisa menyelesaikan S3 dalam waktu 2 tahun 8 bulan.<br />
<br />
"Saya setiap hari nongkrong di depan ruang dosen, hari ini disuruh revisi, besok sudah datang konsul lagi," kenang SMI. "Mungkin dosennya bosen sama saya, ha-ha-ha."<br />
<br />
Sambil mendengarkan SMI bercerita, saya jadi teringat pertemuan dengan seorang mantan pimred media ternama (enggak usah disebutin ya, tebak sendiri aja, hehehe..). Waktu itu, saya dan si Bapak sedang membahas buku <i>Sapiens</i>-nya Yuval Noah Harari dan entah mengapa jadi ngomongin patriarki. Si Bapak bilang, jumlah wartawan perempuan di level reporter (alias baru mulai jadi wartawan) itu banyak, tapi yang bertahan sampai jadi editor, editor pelaksana, atau pimpinan redaksi, sedikit banget. Dan itu bukan salah medianya, tapi ".. mereka sendiri kok, yang pada mengundurkan diri begitu kawin dan punya anak," kata beliau bersikeras.<br />
<br />
Bandingkan dengan pendekatan yang dilakukan SMI saat menghadapi masalah serupa. Begitu sadar banyak anak buahnya yang jadi enggak konsen bekerja (atau bahkan berpikir mau <i>resign</i> aja) setelah selesai cuti melahirkan, SMI lantas menerapkan berbagai kebijakan, mulai dari ruang laktasi, <i>daycare</i>, sampai<a href="https://www.nytimes.com/2019/12/04/upshot/fathers-parental-leave-unequal.html"> <i><span style="color: red;">paternity leave</span></i></a> berdurasi 10 hari agar para suami bisa ikutan begadang bantuin istrinya. Yang dilakukan SMI adalah MENCARI SOLUSI, bukan sekadar tanda tangan surat pengunduran diri sambil bilang ".. ya mereka sendiri yang minta mundur." 😉 Inilah, Kawan, mengapa kita perlu semakin banyak perempuan di posisi pemimpin.<br />
<br />
"Saya akan berupaya sekuat tenaga agar perempuan tidak harus memilih antara karier dan keluarga," kata SMI. "Kita bisa mendapatkan keduanya, walau dengan banyak sekali pengorbanan."<br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhwNy5UqJM-z1GS0jYYoLNs23HOw1aJDkKL6PzFLkmhZZG_U8otAXAivccRi8l4LDDKdDCeCK1GEJMDtVKTf93K99GoHVDmKCf55utzqMrp3TNr1D2aZPBc11fp11EzqXN7FkL8-pBp2ig/s1600/ECg-Fn6XsAAWWAi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="660" data-original-width="1024" height="257" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhwNy5UqJM-z1GS0jYYoLNs23HOw1aJDkKL6PzFLkmhZZG_U8otAXAivccRi8l4LDDKdDCeCK1GEJMDtVKTf93K99GoHVDmKCf55utzqMrp3TNr1D2aZPBc11fp11EzqXN7FkL8-pBp2ig/s400/ECg-Fn6XsAAWWAi.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Rintangannya lain, Cuy.</i></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Bagian favorit saya dari paparan SMI adalah ketika dia bicara tentang keberuntungan<i>, </i>konsep yang barangkali mirip dengan 'privilege', yang beberapa lalu sempat hangat diperbincangkan di Twitter <strike>dan sudah dikomentari Ika Natassa</strike>. SMI dengan rendah hati mengakui bahwa dia bisa melakukan semua ini (menjalankan karier sekaligus berkeluarga) karena dia punya keberuntungan berupa orang tua yang mendukungnya untuk sekolah dan berkarier tinggi, juga seorang suami yang menjadikannya mitra setara.<br />
<br />
Wah!<br />
<br />
Pernyataan ini benar-benar kena buat saya. Selama ini saya selalu 'prihatin' sama teman-teman yang setelah menikah memilih mengundurkan diri, padahal saya tahu mereka sebenarnya pingin kerja. Kok mereka enggak mendebat suaminya sih? Kok enggak diskusi dulu? Kok enggak menyiapkan argumentasi yang canggih?<br />
<br />
Saya lupa: hubungan setiap pasangan suami-istri berbeda. Enggak setiap perempuan yang ingin terus bekerja setelah menikah, beruntung mendapatkan suami yang bisa diajak diskusi soal ini. Kadang kita juga udah berupaya memilih pasangan yang sebisa mungkin satu prinsip, tapi sesuatu terjadi di tengah jalan dan dia berubah pandangan. Ada kawan saya yang sudah menikah 10 tahun lebih lalu si suami tiba-tiba hijrah dan resign dari pekerjaan tanpa persiapan matang. Apa kawan saya 'menyangka' suaminya bakal berubah nilai dalam perjalanan pernikahan mereka? Pasti enggak.<br />
<br />
Orang tua saya juga seperti orang tua SMI, mendukung pendidikan anak-anaknya tanpa membedakan antara anak perempuan dan laki-laki. Mereka rutin membelikan buku, membiayai sekolah, membayari kursus sesuai minat.. percayalah, kalau orang tua kita kayak begitu, itu <i>privilege</i>. Ada banyak banget orang yang hari gini masih berpikir perempuan itu tempatnya di dapur, sumur, dan kasur, <strike>seperti Bapak Kapolri</strike>.<br />
<br />
Jadi apa yang bisa kita lakukan? Saat menulis ini, kebetulan saya sedang menghadiri ajang Bali Democracy Forum 2019. Pada sesi Ministerial Panel bertema "Women Leadership, Inclusion, and the State of Democracy" yang dihadiri menteri luar negeri dari Indonesia, Australia, Kenya, dan Namibia, keempatnya sepakat, masalah pemberdayaan perempuan itu bukan cuma urusan feminisme, tapi kemanusiaan.<br />
<br />
<a href="https://womendeliver.org/infographics/"><span style="color: red;">Riset UNAC (2012) </span></a>menunjukkan, perempuan membelanjakan 90% pendapatannya untuk keperluan anak-anak dan rumah tangga, sementara laki-laki hanya 30-40%. Artinya, ketika pemberi kerja membayar perempuan <b>dengan layak </b>(baca: sesuai kapabilitas dan TIDAK LEBIH RENDAH dari laki-laki dengan alasan laki-laki adalah tulang punggung keluarga) hal itu secara langsung berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Anak-anak lebih berpeluang untuk sekolah, makan sehat, berpakaian layak, beli buku, dan lain-lain.<br />
<br />
Jadi para pengusaha, bayarlah pekerja perempuanmu dengan layak. Beri mereka kesempatan yang sama dengan pekerja laki-laki, fasilitasi dan dorong mereka untuk berkembang sesuai potensi. Para perempuan yang memilih berkarier, tingkatkan kinerja dan tuntut hak kita. Para perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga, milikilah hobi dan (lebih baik lagi) sumber pendapatan sendiri. ***Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-43509068230316018172019-07-08T16:14:00.001+07:002023-12-04T18:06:40.480+07:00Hobi Para PensiunanBarangkali ini kecemasan yang berlebihan: sepulang mudik ke kampung halaman, kawan saya merasa orangtuanya jadi terlalu agamis. Mereka setiap hari ke gereja, melantunkan puji-pujian, memanjatkan doa, berkumpul dengan kawan sesama orang tua, mendengarkan ceramah tentang dunia yang serba kekal dan indah.<br />
<br />
Sebenarnya orang tua kawan saya itu bukan baru saja jadi pensiunan. Hanya saja, dulu, kegiatan para pensiunan di kampung jauh lebih bervariasi. Ada yang hobi memelihara unggas, bermain kartu, merangkai bunga, membangun kolam, menjahit, menyulam, bahkan ada yang jadi peternak lebah dadakan. Beberapa kali seminggu mereka olahraga sama-sama. Sekarang, kegiatan itu bukannya tidak ada, tapi sangat jarang dilakukan. Para orang tua lebih senang menenggelamkan diri di rumah ibadah masing-masing, barangkali memikirkan akhirat dan bagaimana caranya sampai ke surga.<br />
<br />
"Bahkan ronda sudah tidak ada," keluh kawan saya itu. "Sedangkan dulu malah ada kelompok ketoprak yang anggotanya pensiunan semua. Mainnya ya enggak jago-jago banget, lha wong sekadar buat hiburan, ketawa sama-sama."<br />
<br />
Membayangkan embah-embah berlakon ketoprak memang lebih <i>gayeng</i> dibandingkan embah-embah yang melulu ibadah.<br />
<br />
Sambil mendengarkan kawan saya itu curhat, saya jadi memikirkan orang tua sendiri. Bapak mertua saya pensiun tahun ini, sedangkan Ibu pensiun sejak tahun lalu. Sejauh yang saya tahu, begitu tidak berkantor lagi, mereka memang lantas mengarahkan energinya ke ranah agama. Ibu mertua saya aktif terlibat di pengajian, menjadi pengurus TK di masjid dan ikut kelompok tafsir al-Quran. Bapak mertua saya juga sama, aktif di masjid dan organisasi keagamaan lainnya.<br />
<br />
Dibandingkan dengan para mertua, orang tua kandung saya sedikit lebih 'sekuler'. Kegiatan utama Mama pascapensiun adalah senam tera. Itu lho, senam lansia yang gerakannya lemes-lemes asoy. Sebagai orang yang <i>high-achiever, </i>Mama beberapa kali didaulat menjadi kapten dan memimpin timnya berlaga di kancah perlombaan senam tera nasional. Di rumah kami tertata beberapa piala. Tab 'download' YouTube Mama berisi aneka video senam. Beberapa kali beliau minta diajari cara menyusun <i>playlist</i> yang berisi lagu-lagu berirama rancak dari tanah air dan manca negara.<br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiE0No2QCq1IAh0WNQuc4y3eF-dxWOgBhxbZ4j3X43NHvIi2sIM1lJiJv2fqYzfymtilI2yKsWftFYRKjzDr8VLfSYL1WJsyGOZmf3GajtXNLMAXj6J8W_kpY48oYMNLYOySyXACU-3fW8/s1600/49434-jokowi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="544" data-original-width="970" height="222" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiE0No2QCq1IAh0WNQuc4y3eF-dxWOgBhxbZ4j3X43NHvIi2sIM1lJiJv2fqYzfymtilI2yKsWftFYRKjzDr8VLfSYL1WJsyGOZmf3GajtXNLMAXj6J8W_kpY48oYMNLYOySyXACU-3fW8/s400/49434-jokowi.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>It's raining <a href="https://www.suara.com/foto/2018/12/09/115106/gaya-jokowi-ikut-senam-tera-indonesia-di-kebun-raya-bogor">men</a>!! ~yousingyoulose~</i></td></tr>
</tbody></table>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
Ayah saya lebih selo lagi. Sebagai orang Ternate yang baik, hobinya tentu saja dua: makan dan menyanyi. Ayah senang karaoke lagu-lagu The Beatles, Bee Gees, John Denver, Koes Plus, dan lagu lawas tanah air. Tiap ada kesempatan menyanyi saat kami makan-makan di restoran atau menghadiri acara keluarga, Ayah akan menyambar mikrofon dan bernyanyi: <i>siapa bilang pelaut mata keranjang...</i><br />
<i><br /></i>
Kawan saya tadi bukannya enggak ingin orang tuanya masuk surga, hanya dia khawatir melihat orang tuanya jadi seperti tidak menikmati hidup di dunia. Seolah-olah agenda hidup orang yang sudah tua adalah merapat sedekat mungkin ke akhirat. Seolah-oleh hobi yang tidak berpotensi memasukkan mereka ke surga, adalah sesuatu yang sia-sia. Seolah-olah bergaul dengan orang yang tidak seagama dan sealiran adalah hal yang tidak berguna.<br />
<br />
Semoga saja hal itu memang kecemasan yang berlebihan, dan tren ini tidak terjadi di seluruh Indonesia. Bagi pembaca yang orangtuanya sudah memasuki masa pensiun, sharing dong tentang kegiatan mereka?<br />
<br />Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-20241805562727912262019-06-05T16:11:00.000+07:002023-12-04T18:06:42.741+07:00"Nina Dapat Uang Dua"Di Dusun Sumber Nayu, Kelurahan Joglo, Surakarta, Idul Fitri dirayakan semua orang. Warga Muslim maupun bukan, berdandan rapi sejak pagi dan saling mengunjungi begitu solat Ied selesai. Momen saling mengunjungi ini tidak perlu lama-lama, sekadar cukup untuk bersalaman dan, buat anak-anak kecil, mengantungi salam tempel.<br />
<br />
Ini pertama kalinya anakku Nina berlebaran hari pertama di rumah akung-utinya. Biasanya kami baru akan mudik pada hari H atau H+1. Tahun ini, kami menempuh perjalanan 13 jam naik mobil dari Tangerang Selatan ke Surakarta empat hari sebelum takbiran.<br />
<br />
"Ibu, ada <i>dog</i> lucu!" Nina menggoyang tanganku yang menggandengnya berkeliling rumah tetangga. Akibat terpaan video YouTube, Nina kadang mencampur bahasanya.<br />
<br />
Nina rupanya menyenangi seekor <i>dachshund</i> berwarna hitam. Anjing kecil itu bertampang ramah, mondar-mandir mengelilingi Nina. Anakku takut-takut, tapi kegirangan. <i>Dachshund</i> itu dikejarnya, dan bila <i>dachshund</i> mengejar balik, Nina buru-buru lari memelukku dengan mata berbinar.<br />
<br />
"Ini namanya Molly," kata tetangga pemilik anjing tersebut. Seorang bapak berkemeja batik. Rambutnya dicat oranye. Kami lalu bersalaman. "Maaf lahir batin," kata dia tulus, padahal mungkin baru sekali itu kami ketemu.<br />
<br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmWaez1kZTeYvQpMAOy4Y0TMuMjIjGVw3Wo73a5wGL5f09Yepyms_Hb-CYhWuFl6RmhtA0mqTNK-DrpKTQ3cMymfZp_kruuLgtoUvMPUq9tnyGSoS9LkmUudNsmYTbZSKF3mxnP-6ud28/s1600/file_23020_dachshund-dog-breed-460x290.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="290" data-original-width="460" height="251" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmWaez1kZTeYvQpMAOy4Y0TMuMjIjGVw3Wo73a5wGL5f09Yepyms_Hb-CYhWuFl6RmhtA0mqTNK-DrpKTQ3cMymfZp_kruuLgtoUvMPUq9tnyGSoS9LkmUudNsmYTbZSKF3mxnP-6ud28/s400/file_23020_dachshund-dog-breed-460x290.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i><span style="color: red;"> </span><span style="color: red;"><a href="https://dogtime.com/dog-breeds/dachshund#/slide/1" target="_blank"><span style="color: red;">Molly</span></a> </span><span style="color: red;">mohon maaf lahir batin ya gaes..</span></i></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
Molly dipelihara oleh salah satu kerabat Mbah Mul, tetangga ibu mertuaku yang usianya sudah 89 tahun. Rumah Mbah Mul terletak persis di belakang rumah kami. Rumah itu kecil, tapi halamannya luas. Anak-anak tetangga senang main di pekarangan rumah Mbah Mul. Dulu di pekarangan ada pohon bambu, mangga, jambu dan trembesi. Kata suamiku, dulu anak-anak kampung (termasuk dia) suka bermain meriam bambu di halaman belakangnya. Sekarang pohon-pohon itu sudah ditebang untuk membangun rumah anak-anak dan kerabat Mbah Mul.<br />
<br />
"<i>Lha kok ayu men kowe</i>," kata Mbah Mul sambil mencium pipi Nina. Kuminta Nina salim. Mata Mbah Mul berbinar-binar menatap anakku. Yang ditatap mesem-mesem saja, lalu meminta turun dari gendongan untuk main kejar-kejaran lagi dengan Molly.<br />
<br />
Mbah Mul mengenakan rok kembang-kembang warna coklat. Tubuhnya mungil. Bibirnya agak merah berkat gincu. Dia kelihatan senang sekali dikunjungi. Berkali-kali menawari makan. Karena pendengarannya sudah agak berkurang, Ibu dan Bapak harus agak menunduk saat bicara dengan Mbah Mul. "<i>Nyuwun pangestunipun, Mbah,</i>" kata Ibu berkali-kali, khidmat. Memang di keluarga Jawa, menghormati orang tua adalah salah satu bentuk <i>unggah-ungguh</i> yang paling utama. Saat kami mengobrol, seluruh keluarga Mbah Mul yang kebetulan ada di rumah, keluar. Kami bersalam-salaman, berkenalan, saling meminta maaf.<br />
<br />
Mbah Mul beragama Kristen, tapi kerabatnya ada juga yang Islam. Ketika kami hendak pamit, Mbah Mul memanggil Nina. Dari dompetnya keluar uang dua puluh ribuan. Nina menerima, lalu dengan polos bertanya padaku, "Ini uang ya, Ibu? Buat apa?"<br />
<br />
Kami semua tertawa. Lalu berpamitan.<br />
<br />
Berikutnya kami datang ke rumah Pak Miarso. Letaknya persis di sebelah kiri rumah kami. Anak kedua Pak Miarso, Duanto, dan suamiku sudah berteman sejak balita. Duanto sekarang menjadi wartawan <i>Tribun Jambi</i>. Kedatangan kami disambut dengan sangat hangat. Pak Miarso, seorang pensiunan Departemen Penerangan, berkali-kali berucap, "<i>Nderek bingah, nderek bingah</i>.."<br />
<br />
Nina tertarik melihat burung dalam sangkar di pekarangan rumah. Anak-anak Pak Miarso dengan senang hati menggendong dan menjawab pertanyaan Nina, yang memang lagi cerewet-cerewetnya di usia 3 tahun. Anakku memang senang bergaul, tidak pernah malu-malu bila bertemu orang baru.<br />
<br />
Kami mengobrol hangat di pekarangan. Pak Miarso dan bapak mertuaku membahas perkembangan di kampung. Menantu Pak Miarso, suami dari anak pertamanya, menanyakan masalah tanah ke suamiku. Keluarga Pak Miarso beragama Katolik. Bila Natal tiba, adegan ini akan berulang. Bapak dengan suka cita mengucapkan selamat merayakan hari Natal. Bagi Pak Miarso dan Bapak, dan pasti banyak orang di dusun kami, Lebaran dan Natal adalah hari raya bersama. Tidak perlu dicemari dengan prasangka dan curiga.<br />
<br />
"Ibu, lihat! Nina dapat uang dua!" Anakku mengibarkan selembar uang. Rupanya dia baru mendapat Te Ha eR kedua hari itu. Kami tersenyum. Mudah-mudahan, berpuluh-puluh tahun yang akan datang, masih ada Indonesia yang baik-baik saja untuk Nina dan generasinya. ***Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-55807589198861565922019-05-20T16:10:00.002+07:002020-05-30T19:20:29.200+07:00Satu Jam Bersama Florentino ArizaBerapa lama kamu tahan menunggu kekasih hati? Sebulan, setahun, sepuluh tahun? Kenalan dulu sini sama Florentino Ariza, seorang lelaki yang sanggup menanti kekasihnya, Fermina Daza, selama lima puluh tiga tahun, tujuh bulan dan sebelas hari. Baca sinopsis kisah cinta mereka di <span style="color: red;"><a href="https://www.sparknotes.com/lit/cholera/summary/" target="_blank"><span style="color: red;">sini</span></a>.</span><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGg4eGUW0_Ruv897_hRLSFXxhWiQVl-C9BvKJcXNRhz8EHCInn3mZTKwSsjXuLMEjlmhpqpX-Xen4WR1pipABAYRpNziWDHfbcLBPvzs-ZwOnIqeQHgxFQtfXmgS2cx7mAr5X7WXntz9s/s1600/33136818542_fa0b0648e9_z.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="360" data-original-width="640" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGg4eGUW0_Ruv897_hRLSFXxhWiQVl-C9BvKJcXNRhz8EHCInn3mZTKwSsjXuLMEjlmhpqpX-Xen4WR1pipABAYRpNziWDHfbcLBPvzs-ZwOnIqeQHgxFQtfXmgS2cx7mAr5X7WXntz9s/s400/33136818542_fa0b0648e9_z.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Aaaakuuu menunggumuuuu.. menunggumuu.. menunggumuu..</i></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<b>Halo, Bung, apa kabar? Masih sering sembelit?</b><br />
Sayangnya, iya. Sembelit kronis adalah kutukanku sejak kecil. Dokter keluarga kami, yang juga adalah ayah baptisku, pernah berkata, '<i>dunia ini ini terbagi ke dalam dua kubu, yaitu orang-orang yang bisa be'ol dan orang-orang yang tidak bisa be'ol</i>'. Dia bahkan membuat teori sendiri mengenai tipe-tipe kepribadian berdasarkan dogma ini. Nanti kukasih catatannya ya, kalau kau mau baca.<br />
<br />
Nah, dogma si Dokter itu sudah aku modifikasi menjadi, '<i>dunia ini terbagi ke dalam dua kubu, yaitu orang-orang yang bersetubuh dan orang-orang yang tidak bersetubuh</i>'. Aku tidak percaya pada golongan yang kedua. Mereka itu munafik minta ampun. Sekalinya menyimpang dari jalan lurus yang mereka yakini betul, mereka akan ngoceh kesana-kemari, seperti orang ketiban bulan.<br />
<br />
<b>Itukah sebabnya Bung meniduri 600 perempuan sembari menunggu Fermina Daza <i>single</i> lagi? Banyak pembaca yang mempertanyakan kelakuan Bung yang satu ini. Mereka merasa Bung tidak benar-benar mencintai Fermina Daza.</b><br />
Koreksi: 622. Ah, itu karena mereka masih menyamakan cinta dengan seks, sebuah pandangan yang maha keliru. Lagipula sebenarnya sejak awal aku tidak pernah tergoda tidur dengan perempuan lain. Aku tidak berencana melepaskan keperjakaanku, kecuali untuk cinta. Lalu kau tahu sendiri, Fermina menikah dengan Urbino, dan aku dikirim ibuku membelah lautan supaya sembuh dari patah hati. Di kapal aku sedih banget sampai rasanya kepingin mati. Malam-malam, ketika aku sedang gentayangan di dek, ada perempuan menarikku ke kamar yang gelap minta ampun, dan meniduriku. Itu pengalaman bercinta pertamaku tapi aku tidak merasa senang, sedih, ataupun sesal. Aku hanya.. lupa pada penderitaan.<br />
<br />
Dari kejadian itu aku sadar: obsesiku yang nyaris enggak masuk akal pada Fermina bisa tersembuhkan, walau sesaat, dengan percintaan fisik.<br />
<br />
<b>Jangan-jangan Bung ini bucin, ya? Budak cinta.</b><br />
Fermina tidak memperbudakku. Ya ampun, dia bahkan tidak pernah memintaku melakukan apa-apa.<br />
<br />
Setelah dia kembali dari perjalanan bersama ayahnya, sebelum dia kawin sama Urbino itu, dia kan mengirim surat untukku lewat Gala Placidia. Waktu itu kami habis papasan di Misa Tengah Malam. Aku menyapa dia dengan ketakutan luar biasa, dan hasrat yang sama besarnya. Surat Fermina pendek banget, hanya dua baris, bunyinya, "<i>Hari ini, waktu aku melihatmu, aku sadar bahwa apa yang terjadi di antara kita tidak lebih dari sekadar ilusi</i>." Bayangkan! Dari situ aku sadar bahwa perasaan Fermina kepadaku berubah-ubah, dan mungkin akan selalu begitu.<br />
<br />
Tapi aku enggak sedih. Ini justru suatu keuntungan bagiku. Artinya, walaupun dia kawin dengan orang lain, aku selalu punya peluang untuk merebut hatinya dan menjadikannya milikku. Dan itulah titik kebangkitanku. Aku jadi kerja gila-gilaan, aku ingin meraih kekayaan, kemapanan, dan menjadikan diriku pantas untuk Fermina. Rumah yang kusewa bersama Ibu akhirnya sanggup kami beli, lalu aku renovasi dengan satu kamar yang nanti akan menjadi kamarku dan Fermina, bila tiba waktunya.<br />
<br />
Pokoknya segala yang kulakukan dalam hidup, semua usahaku, seluruh hidupku, adalah untuk mendapatkan dia.<br />
<br />
Cintaku kepada Fermina bahkan bisa menyelamatkanku dari kematian. Beberapa bulan setelah Urbino mati terpeleset, aku nyaris mengalami hal yang sama: tergelincir di lantai tangga kantor. Ketika sedang melayang jatuh, aku berpikir: <i>mana boleh dua lelaki yang mencintai seorang perempuan yang sama, mati dalam saat yang berdekatan. </i>Lalu aku berkelit sebisa mungkin, dan selamat, cuma patah tulang.<br />
<br />
<b>Fermina kabarnya marah sekali waktu Bung datang ke misa pemakaman Dr. Juvenal Urbino.</b><br />
Iya, tapi dia marah bukan karena aku datang, melainkan karena kata-kata yang aku ucapkan. Habis bagaimana, ya.... aku tidak bisa menahan diri ketika tahu bel yang berkumandang di Katedral hari itu adalah untuk mengumumkan kematian Urbino. Aku merasa senang, sedih, dan cemas sekaligus, karena cinta dalam hidupku kini telah menjanda.<br />
<br />
Maksudku, pernah enggak sih kau sudah lama menunggu datangnya sebuah momen, tapi ketika momen itu beneran datang, kau malah gugup enggak karuan? Ya seperti itulah kira-kira perasaanku. Aku kayak orang gila. America Vicuna langsung kupulangkan, dan aku berdandan dengan pakaian berkabung. Sepanjang jalan aku merancang mau bilang apa ke Fermina, tapi seperti biasa aku diam tak bicara. Aku berkesempatan ngobrol dengan dia baru setelah semua orang pulang.<br />
<br />
<b>Memangnya Bung bilang apa waktu itu?</b><br />
Sebelum aku jawab, kau harus tahu, aku tidak punya masalah pribadi dengan Urbino. Dulu waktu aku masih kerja di kantor pos, dia pernah mampir untuk ketemu bosku. Saat melihatnya, aku tidak ada perasaan dendam atau iri. Menurutku dia pria gagah, ganteng, pintar, dan baik hati. Waktu itu yang terpikir olehku hanyalah: <i>sayang sekali orang sebaik ini harus mati supaya aku bisa bahagia dengan Fermina</i>. Dan aku akan sabar menunggu saat itu tiba.<br />
<br />
Sialnya, ketika Urbino beneran mati, aku malah kelepasan bilang begini, "<i>Fermina, aku sudah menunggu kesempatan ini selama lebih dari setengah abad, untuk sekali lagi mengucap sumpah janji setia dan cinta abadiku.</i>"<br />
<br />
<b>Di hari pemakaman suaminya?</b><br />
Di hari pemakaman suaminya.<br />
<br />
<b>Ck ck ck, Bung memang hobi cari mati. Lalu, setelah kejadian itu, apa yang Bung lakukan untuk bisa ketemu lagi dengan Fermina?</b><br />
Mengirim surat. Banyak surat. Lalu aku datang tiap Selasa, membawa teh dan kue-kue. Kami ngobrol lama sambil menatap matahari perlahan-lahan tenggelam. Aku sabar menanti. Sudah lima puluh tahun lebih aku menunggu Fermina, apalah artinya 1-2 tahun lagi?<br />
<br />
Anak-anak Fermina tidak suka aku berhasrat pada ibu mereka, tapi Fermina adalah seorang perempuan yang amat tegas dan berkarakter. Dia bilang begini, "<i>dulu kami tidak punya kesempatan karena terlalu muda, sekarang mereka ingin memisahkan kami karena kami terlalu tua.</i>"<br />
<br />
Kau tahu, Lorenzo Daza mengusirku karena tidak mau Fermina berhubungan dengan lelaki kere. Sekarang aku sudah cukup kaya, tapi anak-anak Fermina tidak mau ibunya berhubungan dengan lelaki tua--jadi bagaimana? Kapan cinta kami menang? Aku sungguh mengagumi Fermina karena kepribadiannya yang luar biasa itu. Pelan-pelan aku berhasil memenangkan hatinya lagi. Waktu aku patah tulang, dia merindukanku. Makanya setelah sembuh aku langsung mengajaknya plesir dengan kapal pesiar ini.<br />
<br />
<b>Kapal pesiar yang sampai sekarang masih terus berlayar karena Sang Kapten mengibarkan bendera kolera, maksud Bung?</b><br />
(<i>tersenyum</i>). Fermina tidak mau orang-orang yang dikenalnya melihat kami berdua di atas kapal, jadi aku memerintahkan Kapten memasang bendera kolera dan memaksa semua penumpang turun. Sekarang di kapal ini kami hanya bertiga, eh berempat dengan Anda, tanpa ada kepastian di mana kami bisa mendarat.<br />
<br />
Tapi, buatku itu semua tidak penting lagi. Hal seperti ini sudah pernah dilakukan sebelumnya demi kepentingan perang atau dagang, jadi apa salahnya dilakukan atas nama cinta? Lagipula, seperti yang pernah kukatakan ketika Lorenzo Daza mengancam akan meledakkan kepalaku dengan pistolnya: <i>there is no greater glory than to die for love..</i><br />
<br />
<br />
<i style="background-color: white; color: #1c1e21;">The Captain looked at Florentino Ariza, his invincible power, his intrepid love, and he was overwhelmed by the belated suspicion that it is life, more than death, has no limits. - </i><span style="background-color: white; color: #1c1e21;"><b>Gabriel Garcia Marquez</b>, <b>"Love in the Time of Cholera"</b></span><br />
<div>
<span style="background-color: white; color: #1c1e21;"><b><br /></b></span></div>
Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-66559159116048668232019-04-27T16:02:00.002+07:002020-05-30T19:20:36.493+07:00Mengajar Tanpa Power PointPembimbing tesisku punya guyonan yang garing-garing gemes. Menurut beliau, dosen yang sudah pensiun tidak akan terkena Post Power Syndrome seperti para pejabat. "Soalnya, pensiunan dosen itu kenanya penyakit Post Power Point," kata beliau, terkekeh.<br />
<div>
<br /></div>
<div>
Ehe ehe ehe ehe~</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Belakangan, setelah lima tahun menggeluti profesi dosen, aku baru menyadari jangan-jangan guyonan itu ada benarnya. Kami para dosen memang amat tergantung pada Power Point (PPT) dalam mengajar. Ada kolega dosen yang biasa merancang ratusan slides PPT selama libur untuk bekal sepanjang semester, ada juga yang <i>go with the flow</i> bikin PPT baru setiap minggu. Aku bahkan pernah menyaksikan seorang dosen yang menemani anak lelakinya melamar seorang gadis, dan saat sesi perkenalan keluarga, alih-alih ngobrol santai <strike>kayak orang normal</strike>, dosen tersebut menggunakan slides PPT lengkap dengan proyektornya..</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Lalu aku membaca artikel <span style="color: red;"><a href="http://theconversation.com/lets-ban-powerpoint-in-lectures-it-makes-students-more-stupid-and-professors-more-boring-36183" target="_blank"><span style="color: red;">ini</span></a> </span>di laman The Conversation. Artikel karya Bent Meier Sorensen, seorang profesor dari Copenhagen itu menyebutkan, penggunaan PPT di ruang-ruang kelas sebaiknya dihentikan karena hanya bikin dosen membosankan dan mahasiswa makin bodoh!</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_oGLRwzsdN27k_-jsdjnZef8hV0SEaqS1eNhFjMDEPoYJctyawGbSAhyzBy_-HIGJljIoiov-EliveCqqIt6Z1LPAI6Z7rMFef03ukezCZHsBDW0mCkaIBbBAD06JqN3-ghbFQa6Fr5E/s1600/astaghfirullah-saya-sangat-terkejut.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="405" data-original-width="388" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_oGLRwzsdN27k_-jsdjnZef8hV0SEaqS1eNhFjMDEPoYJctyawGbSAhyzBy_-HIGJljIoiov-EliveCqqIt6Z1LPAI6Z7rMFef03ukezCZHsBDW0mCkaIBbBAD06JqN3-ghbFQa6Fr5E/s400/astaghfirullah-saya-sangat-terkejut.jpg" width="382" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Mak dheggg akutu..</i></td></tr>
</tbody></table>
<div>
<br /></div>
<div>
Gara-gara artikel itu, aku jadi tertantang untuk enggak terlalu bergantung pada PPT saat mengajar. Awalnya sih, terasa aneh masuk kelas tanpa bekal slides PPT. Rasanya bagaikan koboi masuk arena pertempuran tanpa bawa pistol. Tapi setelah 1-2 kali pertemuan, aku mulai terbiasa dan rasanya (ternyata) lebih asyik.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kok bisa? Ya karena tanpa PPT, dosen jadi mengandalkan umpan balik (<i>feedback</i>) dari mahasiswa. Dan proses memancing umpan balik inilah yang menjadikan kelas lebih hidup. Misalnya, di kelas Jurnalisme Digital ada satu pertemuan membahas tentang <i>feature</i> di media daring. Dulu ketika masih menggunakan PPT, aku pasti akan mulai dengan slide definisi <i>feature</i>, contoh-contoh <i>feature</i> di media daring, karakteristik <i>feature</i>, dan seterusnya.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Tanpa PPT, yang bisa kulakukan hanya satu: BERTANYA. Sebelumnya, aku minta mahasiswa untuk riset kecil-kecilan tentang <i>feature</i> di media daring. Mereka membuat semacam resensi tiga <i>feature</i> yang mereka temukan di media daring. Berbekal resensi itulah aku memancing mereka dengan beragam pertanyaan.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Menurut kalian,<i> feature</i> itu apa sih? Apa yang membedakan dengan <i>straight news</i>?"</div>
<div>
"Apa <i>feature </i>favorit kalian? Kenapa kalian suka itu?"</div>
<div>
"Apa yang kalian rasakan ketika membaca <i>feature</i>? Bosan nggak, baca tulisan panjang?"</div>
<div>
"Tema-tema <i>feature</i> apa yang menurut kalian paling sering muncul?"</div>
<div>
dst.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kelas jadi jauh lebih hidup dibandingkan ketika aku masih bersenjatakan PPT. Mahasiswa lebih berani untuk bicara karena mereka merasa dimintai pendapat. Dan aku mencatat semua jawaban yang masuk (supaya mereka merasa pikirannya dihargai), untuk kemudian dirangkum dan dibandingkan dengan definisi dari buku teks. Memang sih, prosesnya akan lebih panjang dan lama, tapi sepadan kok dengan hasil yang didapat.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Dengan metode ini pula, aku jadi bisa mengajar lebih lama. Biasanya aku hanya akan mengajar 50-60 menit. Capek bos, ngomong lebih dari satu jam! Tapi karena sekarang bukan aku yang banyak ngomong, aku bisa mengajar hingga dua jam. Dan enggak kerasa! Mahasiswa pun jadi lebih terlibat dan otomatis lebih menyimak.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Karena ikut "mikir", pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari mahasiswa pun semakin kritis dan beragam. Misalnya, di kelas yang membahas <i>feature </i>tadi, ada mahasiswaku yang bertanya kenapa media cenderung terjebak dalam <i>stereotype</i> "kesedihan si miskin" saat menulis <i>feature </i>tentang golongan masyarakat menengah ke bawah. Untuk menjawab pertanyaan itu, aku menantang kelas mengusulkan ide tulisan tentang masyarakat miskin, tanpa terjebak jadi mengharu-biru dan justru melakukan <a href="http://www.andinadwifatma.com/2008/12/menolong-tanpa-mengekspose.html" target="_blank"><span style="color: red;">dobel marjinalisasi ala <i>reality show </i>"Tolong" atau "Jika Aku Menjadi".</span></a></div>
<div>
<br /></div>
<div>
Ada yang usul tulisan tentang tukang kopi Starling alias Starbuck Keliling dan para konsumennya. Itu lho, abang-abang naik sepeda dengan termos dan kopi renceng yang sering beroperasi di trotoar dan taman-taman. Saat minum kopi murah di gelas plastik (yang kadang didobel biar tangan enggak kelewat panas), sebatang rokok ketengan harga dua ribuan, duduk menikmati angin berembus tanpa AC dan pewangi mewah, perasaan kita toh senang juga, enggak beda dengan yang duduk di kafe-kafe mahal di pusat perbelanjaan. Bahwa kopi <i>artisan</i> mbuh apa namanya yang dibikin dengan metode <i>pour over,</i> V60, <i>manual brew</i>, <i>french press, </i>endebre endebre, tidak otomatis memberi jaminan kebahagiaan dibandingkan ketika minum Kapal Api yang ampasnya harus ditunggu turun dulu sembari ditiup-tiup syahdu. Kita tidak harus kasihan kepada mereka yang hanya mampu minum kopi sachet sembari duduk di pinggir jalan, seperti kita juga tidak harus mengagumi mereka yang perutnya cuma bisa menerima kopi <i>single origin</i> yang diseduh dengan cara tertentu. Keduanya bisa menikmati kopi itu dengan kebahagiaan yang sama.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
"Jadi stereotype haru-biru terhadap kaum menengah ke bawah itu muncul karena kita menggunakan tolok ukur kebahagiaan yang berbeda saat menilai mereka ya kak," simpul salah seorang mahasiswaku.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Itu sudah.</div>
Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-4594112569130970542019-01-07T16:02:00.000+07:002023-12-04T18:06:45.330+07:00Premeditatio Malorum<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_9vjULsmo2fxpc1L-pDtXLFFPM_QlMGgdsPj8lxQt2OruDiPqcj1mjBrLC8EqjQND5yyxYV0VfYEnGd3ThmlSKNmHNtedWSM1l4yt-AARfuGwlgBa5CTajtiDiqs8s2vSPOvYyF25iHA/s1600/Black-Wallpapers-33-1680-x-1050-340x220.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="220" data-original-width="340" height="411" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_9vjULsmo2fxpc1L-pDtXLFFPM_QlMGgdsPj8lxQt2OruDiPqcj1mjBrLC8EqjQND5yyxYV0VfYEnGd3ThmlSKNmHNtedWSM1l4yt-AARfuGwlgBa5CTajtiDiqs8s2vSPOvYyF25iHA/s640/Black-Wallpapers-33-1680-x-1050-340x220.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<br />
Salah satu korban Tsunami Banten beberapa waktu lalu adalah Roykhan Ghifari, mahasiswa bimbingan skripsi saya. Sebelum meninggal, Roy sedang memperbaiki proposal skripsi yang rencananya akan diajukan semester ini.<br />
<br />
Roy angkatan 2013. Seharusnya dia sudah lulus dua tahun lalu, tapi skripsinya tertunda karena sibuk mengurus bisnis <i>event organizer </i>sendiri. Terhadap mahasiswa model Roy, saya tidak pernah terlalu keras. Justru saya bangga kalau ada mahasiswa yang sudah bisa menghidupi dirinya sebelum jadi sarjana. Saya hanya perlu lebih sering mengingatkan mereka bahwa gelar sarjana bukan sekadar bekal untuk cari pekerjaan, tapi tentang menyelesaikan apa yang sudah dimulai.<br />
<br />
Saya mengingat Roy sebagai anak yang tidak banyak tingkah. Saat membahas skripsinya, selalu saya yang lebih banyak bicara. Dia hanya sesekali bertanya dengan wajah serius, atau tertawa tipis-tipis saat saya ajak bercanda. Pada akhir setiap sesi konsultasi, saya selalu menekankan hal yang sama, berulang-ulang: <i>sesibuk apapun, kamu harus lulus.</i><br />
<br />
Dan setiap kali Roy akan menganggukkan kepala sembari berkata, "Iya, Kak."<br />
<br />
Wajah inilah yang saya kenang saat membereskan folder skripsi minggu lalu (beberapa mahasiswa bimbingan siap maju sidang minggu depan dan saya perlu memberikan revisi terakhir). Saya memegang draft proposal skripsi Roy yang bertanda "<i>revisi kedua</i>" dan merasakan kekosongan luar biasa.<br />
<br />
Anak ini... beberapa minggu lalu masih ada di ruangan saya, masih memikirkan tema skripsinya, masih merancang strategi agar bisa segera lulus, dan sekarang.. semua itu sudah tidak penting lagi.<br />
<br />
Saya tidak ingin menjadikan catatan ini sebagai pengingat bahwa kita semua akan mati. Truisme usang semacam itu tidak ada gunanya untuk ditulis. Saya hanya ingin berbagi, pada siapa saja yang membaca ini, tentang alangkah rapuhnya kita, manusia. Betapa kita bisa mati kapan saja, dan dengan cara apa saja. Saya kira ini sebuah fakta yang tidak pernah benar-benar kita resapi, karena <i>well</i>, siapa sih, yang suka membicarakan dan memikirkan kematian? Otak manusia dirancang untuk menghindari hal-hal yang menyakitkan, dan aspek ketidakpastian dalam <strike> hubungan kita</strike> kematian itu menyakitkan.<br />
<br />
Minggu lalu saya membaca buku mengenai filsafat Stoisisme. Intisari dari cabang filsafat ini adalah membagi segala urusan hidup ke dalam dua koridor: hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Menurut filsafat Stoisisme, kita harus mengarahkan energi kita ke hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan berhenti meresahkan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Kematian tentu saja masuk ke dalam koridor hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, tapi reaksi kita menghadapi kematian tergolong hal yang bisa kita kendalikan.<br />
<br />
Untuk itu, filsafat Stoisisme punya mekanisme latihan mental yang dinamakan <i>premeditatio malorum </i>alias membayangkan kemungkinan terburuk. Kita dianjurkan berlatih <i>premeditatio malorum </i>setiap hari setelah bangun tidur: bayangkan berbagai hal terburuk yang bisa terjadi pada kita hari itu. Mobil mogok? Diserempet di jalan? Kereta gangguan sehingga terlambat masuk kantor berjam-jam? Diomelin atasan? Diputusin pacar? Dst, dst.<br />
<br />
Tujuan dari <i>premediatio malorum </i>adalah mempersiapkan mental kita bahwa hal-hal yang buruk itu <i>bisa</i> terjadi, <i>mungkin </i>terjadi, dan jika pun <i>beneran</i> terjadi, kita akan tetap baik-baik saja. Kita tetap ada dan hidup jalan terus. Penulis buku yang saya baca bahkan menganjurkan ketika kita melihat suami/istri/anak/pacar, bayangkan jika mereka meninggal dunia. Bayangkan hidup kita tanpa mereka; bayangkan rumah sepi, kita seorang diri, waktu sedih enggak tahu harus nangis ke siapa, waktu senang enggak tahu harus berbagi dengan siapa, dan seterusnya. Tujuan dari <i>premeditatio malorum</i> ini bukan biar kita jadi <i>gloomy anxiety shoegazing</i> sepanjang hari, melainkan supaya kita jadi lebih mampu menghargai apa (dan siapa) yang ada di sekitar kita sehari-hari. Contoh: jika kita sadar suami/istri/anak/pacar adalah makhluk mortal yang bisa meninggal kapan saja, kalau lagi sama mereka ya jangan mainan hape, fokus dengarkan ceritanya dan tatap matanya.<br />
<br />
Saya enggak tahu bagaimana caranya nulis ini tanpa terdengar <i>cheesy </i>dan klise abis, <i>but really</i>, <i>go ahead and say what you need to say, do what you need to do. </i>Kalau sayang, bilang. Kalau cinta, ungkapkan. Kalau ingin peluk, peluklah. Kalau ingin cium, ciumlah (tapi izin dulu biar enggak digampar). Jangan sampai momentum terlewatkan dan kita selamanya memendam perasaan. Jangan sampai waktu habis dan segala yang tersisa belum terselesaikan.<br />
<br />
Selamat jalan, Roykhan.Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-61517112434015341782018-12-13T16:07:00.002+07:002020-05-30T19:21:09.231+07:00AtheisMinggu ini untuk kesekian kalinya aku menamatkan novel <i>Atheis</i> karangan Achdiat Karta Mihardja. Buat kalian yang belum pernah baca, buku ini bercerita tentang seorang pemuda bernama Hasan yang terombang-ambing antara relijiusitas, atheisme, agnostisisme dan anarkisme. Terdengar rumit, Mylov? Jangan kuatir, Achdiat mengemasnya dalam bungkus romantika percintaan yang asique.<br />
<br />
Hasan yang nyaris gagal <i>move on </i>karena gagal nikah dengan pujaan hatinya bernama Rukmini, dibikin jatuh cinta lagi oleh seorang perempuan bernama Kartini. Saat pertama kali berkenalan dengan Kartini, Hasan deg-degan karena wajah gadis itu amat mirip dengan Rukmini. Pulang kantor, Hasan langsung membuka laci dan mengeluarkan foto Rukmini sambil membayangkan Kartini.<br />
<br />
(Iya, nyimpan foto mantan itu gak papa kok. Kalau kata Hasan, ".. padahal sudah kutetapkan dalam hatiku sendiri, bahwa Ruk sudah mati bagiku [..] kan tiap orang yang mati itu harus mempunyai kuburannya, dan kuburan Ruk ialah album itulah. Kuburan yang sekali-sekali kukunjungi pada saat aku merasa terlampau rindu kepadanya...." - hlm 50)<br />
<br />
Di luar alasan yang rada <i>cringey (</i>mirip mantan, duh!), Hasan akhirnya jatuh cinta sungguhan pada Kartini, pada jiwanya yang bebas, pada gayanya yang modern, pada pola pikirnya yang progresif. Ketika bersama Rukmini cita-cita Hasan hanyalah hidup bahagia dan beribadah bersama, dengan Kartini ia jadi ikut aktif di pergerakan. Hasan berkenalan dengan Rusli, pemuda atheis yang progresif dan humanis, juga Anwar, seorang anarkis yang semaunya sendiri dan jarang punya uang.<br />
<br />
Akhir cerita cinta ini sedih, sih. Pokoknya <i>everybody hurts</i>. Tapi bukan itu yang menjadikan novel ini berkesan buatku.<br />
<br />
Setiap kali aku membaca soal Hasan, aku seperti berkaca. Seperti Hasan, aku pun dibesarkan dengan sangat agamis oleh kedua orangtuaku. Sebelum bisa membaca, aku harus sudah bisa mengaji. Sejak belum sekolah aku sudah ikut kajian, dengan seorang ustadz yang luar biasa hebat, namanya Ustadz Sa'id (tapi dia suka menyebut dirinya 'Pak Sangid', seperti dialek orang Jawa umumnya). Ustadz Sa'id tidak hanya mengajariku mengaji, tapi juga menghafal hadis dan menelaah kitab kuning (keluargaku bertradisi NU). Saat kecil aku menganggap Islam itu indah dan Allah itu dekat.<br />
<br />
Lalu bangunlah aku dari tidur dogmatisku (ciye).<br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdQvskiI7NG_SL7TvuwtWThML57D4fYcBdD146fCZXfA7LO3v6hdlHpEqNBT0VLTWRjLOI-MRHvWZu0QNUboc2B2ySHm3BIDYTaF-As7Fb2dxLv0Z3oqID1t4oIClw-cfNtW6Fz9OWIzE/s1600/WhatsApp+Image+2018-12-14+at+3.09.58+PM.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="599" data-original-width="900" height="424" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdQvskiI7NG_SL7TvuwtWThML57D4fYcBdD146fCZXfA7LO3v6hdlHpEqNBT0VLTWRjLOI-MRHvWZu0QNUboc2B2ySHm3BIDYTaF-As7Fb2dxLv0Z3oqID1t4oIClw-cfNtW6Fz9OWIzE/s640/WhatsApp+Image+2018-12-14+at+3.09.58+PM.jpeg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">.......</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Aku mulai merasa agama tidak memberikan ruang bagi pertanyaan. Aku ingat pernah protes karena guru agama waktu SMA bilang "selain orang yang beragama Islam, tempatnya adalah di neraka."<br />
<br />
Aku mengangkat sebelah tangan. "Tapi bagaimana dengan orang baik seperti Bunda Teresa, Mahatma Gandhi, dan lainnya?"<br />
<br />
"Tetap masuk neraka, karena mereka tidak syahadat."<br />
<br />
"Tapi kan, mereka berbuat kebaikan melulu?"<br />
<br />
"Ya, tapi salah sendiri mereka tidak mencari Islam."<br />
<br />
<i>What the fuck, </i>pikirku saat itu. Katanya Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kok pelit amat membuka surganya?<br />
<br />
Bibit-bibit keraguan semacam ini mulai tumbuh subur ketika kuliah. Aku mulai berkenalan dengan buku-buku filsafat. Orang pertama yang mengguncang alam pikiranku yang lugu adalah Ludwig Feuerbach. Kata dia, Tuhan itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah proyeksi ketidakmampuan dan ketidakberdayaan manusia. Karena manusia lemah, maka dia ciptakan sesuatu yang Maha Kuat. Karena manusia lekas marah, maka dia ciptakan sesuatu yang Maha Pengasih.<br />
<br />
ASU.<br />
<br />
Aku waktu itu seperti orang gila. Eh, bukan, lebih mirip seperti orang yang dari lahir matanya ditutup selembar kain lalu tiba-tiba dibuka. Dan seperti Hasan, aku jadi pemarah. Aku berantem dengan siapa saja yang kurasa sok mengkhotbahiku tentang agama. Dan itu termasuk, sedihnya, orang tuaku sendiri.<br />
<br />
Episode Hasan berdebat keras tentang Tuhan dan agama dengan kedua orang tuanya yang agamis, benar-benar menamparku. Ini sama persis dengan momenku ketika pulang ke rumah Mama sebagai mahasiswa perantauan. Mama yang selalu cemas dengan keimananku, memintaku shalat Subuh dan mengaji di depannya. Aku, tentu saja ogah. Aku bela mati-matian hakku sebagai individu untuk tidak beragama dan tidak beritual. Aku tantang ibuku, aku segan menundukkan kepala di depan orang yang sudah melahirkanku.<br />
<br />
<i>Mom, if you're reading this, I'm eternally sorry....</i><br />
<br />
Sekarang fase itu sudah lewat. Aku sudah tidak lagi memperdebatkan Tuhan ada atau tidak, agama yang benar itu yang mana, ibadah itu harus dengan cara apa, dst. Aku, dengan penuh kerendahan hati, mengakui bahwa sesungguhnya <strike>kangen ialah hak segala bangsa </strike>tidaklah mungkin bagi manusia untuk mengetahui kebenaran tentang Tuhan. Itu terlalu jauh dari jangkauan.<br />
<br />
Karena itu pula, aku tidak mungkin jadi atheis. Orang yang tidak percaya adanya Tuhan, tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada, sebagaimana orang yang percaya Tuhan juga tidak bisa membuktikan Tuhan itu ada.<br />
<br />
".. soal itu ada di luar kekuasaan kita untuk menyelesaikannya, malah tentang seluk-beluknya yang sebenarnya pun tidak sanggup kita mengetahuinya. [..] Bagi saya, pedoman itu adalah rasa kemanusiaan semata-mata.." (hlm 204)<br />
<br />
Kutulis catatan kecil ini dengan harapan suatu saat nanti, bila diperlukan, aku bisa menengok jerih payahku menemukan kembali cahaya iman dalam diri.<br />
<br />
Panjang umur kemanusiaan!Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com14tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-10326446732499675742018-10-05T15:32:00.002+07:002020-05-30T19:21:56.652+07:00Buku (3)Meskipun ingin sekali bisa <a href="https://beritagar.id/artikel/telatah/bagaimana-membaca-dua-buku-dalam-sepekan" target="_blank"><span style="color: red;">membaca dua buku dalam sepekan</span></a>, kadang aku tidak dapat menahan diri untuk membaca buku yang sama berulang-ulang. Kebiasaan yang sesungguhnya tidak terlalu berguna. Bukankah waktu yang terbuang untuk membaca buku lama, bisa untuk membaca buku-buku baru yang sudah mulai berdebu <strike>seperti kisah cintamu</strike>?<br />
<br />
Tapi, itulah istimewanya buku bagus: setiap kali dibaca, selalu memberikan sensasi yang berbeda. Ada satu cerpen Etgar Keret yang judulnya "Crazy Glue", ceritanya tentang seorang istri yang membeli lem super. Lem ini saking supernya diklaim bisa mengelem benda apapun, termasuk manusia. Suaminya mencibir dan mengatai istrinya kurang kerjaan. Istrinya ngambek dan menuduh suaminya sinis karena punya wanita lain. Sepulang kerja, suaminya menemukan semua furnitur di rumah dilem ke lantai, dan sang istri mengelem kakinya sendiri, gelantungan dari langit-langit. Dia lalu berusaha menarik sang istri turun, tapi yang ada malah dia ikut bergelantungan. Mereka lalu tertawa bersama.<br />
<br />
Pertama kali aku baca cerita ini (sebelum nikah) aku pikir ini hanyalah <i>Etgar Keret being Etgar Keret</i>, dengan segala kegemarannya pada cerita yang <i>bizarre</i>. Waktu aku baca kedua kalinya (setelah nikah) aku jadi bisa merasakan hal lain: "<i>crazy glue</i>" mungkin metafora hubungan suami-istri yang kayak apapun enegnya, sebelnya, marahnya, tetap aja enggak bisa dan enggak mau pisah. Seperti kata <a href="https://www.someecards.com/usercards/viewcard/MjAxMi04ZjEyNTlhYWRhY2FjMTkx/" target="_blank"><span style="color: red;">e-cards favoritku</span></a>, "<i>love is spending the rest of your life with someone you want to kill & not doing it because you'd miss them</i>". Inilah, Pembaca, makna pernikahan yang sesungguhnya, hahaha..<br />
<br />
Buku bagus juga bisa menjadi pelipur lara dan obat kala pusing melanda. Waktu stres mengerjakan tesis, misalnya, aku memutuskan membaca ulang 7 seri <i>Harry Potter </i>(HP). Setelah itu, pikiranku jadi segar lagi dan tesisku selesai. Ketujuh seri HP sampai sekarang tersimpan manis di <a href="http://www.andinadwifatma.com/2018/05/buku-2.html" target="_blank"><span style="color: red;">Kindle-ku</span></a>, jika sewaktu-waktu dibutuhkan (udah kayak P3K aja).<br />
<br />
Di bawah ini adalah buku-buku yang sudah kubaca berkali-kali sepanjang hidup:<br />
<br />
<b>Harry Potter - J.K. Rowling</b><br />
<b><br /></b>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigN7gpGImpckh8yvD_NvR6IFwpVey0ziib9qJndVVX82G3LUVF-QUsAi5PsPyKQRc70BLlqCY6d30ZmruK1sZmKofZbBrQf2awWT2gzmobVQoQXfSRZ696BRpRLmyiC2AhVQQI0uIt5I8/s1600/51HSkTKlauL._SX346_BO1%252C204%252C203%252C200_.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="499" data-original-width="348" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigN7gpGImpckh8yvD_NvR6IFwpVey0ziib9qJndVVX82G3LUVF-QUsAi5PsPyKQRc70BLlqCY6d30ZmruK1sZmKofZbBrQf2awWT2gzmobVQoQXfSRZ696BRpRLmyiC2AhVQQI0uIt5I8/s320/51HSkTKlauL._SX346_BO1%252C204%252C203%252C200_.jpg" width="223" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Yer a wizard, Harry</i>!</td></tr>
</tbody></table>
Buku pertama yang kubaca dari seri ini adalah <i>Harry Potter dan Kamar Rahasia</i> (2000). Waktu itu keluarga besar sedang kumpul Hari Raya, dan sepupuku dari Jakarta (aku tinggal di Semarang bersama Nenek) membawa buku ini. Kupinjam dan kutamatkan dalam semalam. Besoknya aku dimarahi Nenek karena kesiangan dan tidak solat Subuh. Setelah sepupuku kembali ke Jakarta, aku langsung ke Gramedia dan membeli <i>Batu Bertuah</i> (dan <i>Kamar Rahasia</i>-ku sendiri). Sejak itu, aku rajin mengumpulkan seri ini setiap kali terbit yang baru. Koleksi HP-ku tersampul rapi, berjajar di rak buku seperti harta karun. Namun karena <span style="color: red;"><a href="http://www.andinadwifatma.com/2016/11/buku.html" target="_blank"><span style="color: red;">sudah pindah rumah berkali-kali</span></a>,</span> koleksi itu sekarang tersebar entah ke mana. Premis "<i>from zero to hero</i>" di novel ini sebenarnya bukan barang baru, tapi ada sensasi yang entah kenapa bikin kangen. Sampai sekarang aku masih nangis waktu baca Hagrid kasih Harry hadiah berupa buku foto orangtuanya, masih marah waktu Bellatrix bunuh Sirius, masih senyum-senyum <strike>najong</strike> waktu Ron pingsan dan ngigau manggil nama Hermione, bukan Lavender pacarnya.. Hmm, mungkin HP memang se-nostalgik itu.<br />
<br />
<br />
<b>Atheis - Achdiat K. Mihardja</b><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5fg6jyzCEKDa2Dt30BqU54p5_Qc0PRvzeJOMqvBCPRPFG-oEd8-4DPukL51WNCYladL35gjOQE2YWqirTyroxm1EMnRxjxejHG8qJty5zCuQvEs64mHey6bvZ4KuO0aoV0cE82MnvvH4/s1600/220px-Atheis_novel_Achdiat_K_Mihardja.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="310" data-original-width="220" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5fg6jyzCEKDa2Dt30BqU54p5_Qc0PRvzeJOMqvBCPRPFG-oEd8-4DPukL51WNCYladL35gjOQE2YWqirTyroxm1EMnRxjxejHG8qJty5zCuQvEs64mHey6bvZ4KuO0aoV0cE82MnvvH4/s1600/220px-Atheis_novel_Achdiat_K_Mihardja.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Rusli...</i></td></tr>
</tbody></table>
Buku pertama yang bikin aku berpikir "<i>hah orang boleh ya gak percaya Tuhan</i>??" Buku yang cukup mengguncangkan hati dan pikiran karena bacanya pas SD. Banyak adegan yang <i>memorable </i>di sini, bandelnya Rusli, foto Lenin (kalau gak salah) terpajang di ruang tamu, pernikahan Hasan-Kartini yang kacau balau, sampai Anwar yang sengak. Dulu aku <i>innocently</i> pilih buku ini dari rak buku perpustakaan sekolah karena sampulnya berdarah-darah ala <i>Goosebumps</i>-nya R.L. Stine. Eh ternyata, isinya sama sekali lain....!<br />
<br />
<br />
<b>The Stranger - Albert Camus</b><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWlwV1x1LIDXwdnqDclGYiPQyxYAYj9_2kB4NZsNSzLYUBd3ZlAqy-5JIEt2IJ-FgcDqKOvGVUHScUKka5mEESHH4UzLYw3jENLjb_6WgnBhGefzeI504ZMBSOtL7y6EzVeV89KlU3Ji4/s1600/81rNFIU-FxL.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1600" data-original-width="995" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWlwV1x1LIDXwdnqDclGYiPQyxYAYj9_2kB4NZsNSzLYUBd3ZlAqy-5JIEt2IJ-FgcDqKOvGVUHScUKka5mEESHH4UzLYw3jENLjb_6WgnBhGefzeI504ZMBSOtL7y6EzVeV89KlU3Ji4/s320/81rNFIU-FxL.jpg" width="199" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Mother died today, or maybe yesterday, I can not be sure</i><br />
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
</td></tr>
</tbody></table>
Mersault dan segala keanehannya adalah magnet utama novel ini. Aku seneng banget cara Mersault menarasikan pikirannya. <i>Oddly beautiful; </i>lihat aja kalimat pembukanya! Adegan penembakan yang jadi <i>turning point</i> cerita ini juga indah banget. Camus lihai mengkontradiksikan narasi umum (Mersault menembak berkali-kali) dan narasi pribadi Mersault (dengan sinar matahari yang menyilaukan matanya). Pertama kali baca buku ini kayaknya waktu kuliah, dan selalu balik lagi, balik lagi. <i>The Stranger </i>adalah buku yang mengilhamiku menulis novel pertama (dan semoga bukan satu-satunya) <i>Semusim, dan Semusim Lagi</i>.<br />
<br />
<b><br /></b>
<b>Affair - Seno Gumira Ajidarma</b><br />
<b><br /></b>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimVZS9CtmkMJlPL6VO3BevHjT0fZ98C9cCLLrfJwD0XGhKQ_alyZhGTxMr2WN3sbP2j3uOIJhI3XlMnufzBf_a5oXP0Q4WQ2ObDCdezChYxvMgF3w6_01kXNseLQ__0XGYE_kC4-TeK6w/s1600/620324_f19e96d0-e90f-4389-abf2-83584465bcc8.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="816" data-original-width="612" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimVZS9CtmkMJlPL6VO3BevHjT0fZ98C9cCLLrfJwD0XGhKQ_alyZhGTxMr2WN3sbP2j3uOIJhI3XlMnufzBf_a5oXP0Q4WQ2ObDCdezChYxvMgF3w6_01kXNseLQ__0XGYE_kC4-TeK6w/s320/620324_f19e96d0-e90f-4389-abf2-83584465bcc8.jpg" width="240" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Affair, sebuah jalan buntu</i></td></tr>
</tbody></table>
Buku ini semacam kitab suci yang selalu kubaca kalau mau nulis esai. Gaya nulis Seno di buku ini adalah kesukaanku: apa adanya, jujur, nakal, dan nyaris tanpa pretensi ngilmiah apapun. Kalau kamu baca <i>Kentut Kosmo</i> dan esai-esainya di Tempo & Kompas akhir-akhir ini, kamu akan tahu apa yang aku maksud. Seno di Affair adalah Seno yang rileks, dan ingin nyinyir aja tanpa perlu memberi konteks teoretis dari hal-hal yang dia amati. Salah satu esai Seno di buku ini tentang terorisme, mengilhamiku menulis skripsi. Di buku ini Seno menulis tentang apa saja, dari mulai sayur buntil, air terjun dalam ruangan, sampai "panduan" untuk Homo Jakartensis yang ketiban sial naksir pasangan orang...<br />
<b><br /></b>
<b><br /></b>
<b>Seribu Senyum dan Setetes Air Mata - Myra Sidharta</b><br />
<b><br /></b>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnUcbUImcB-KZUMlzNnF8pq2S_GMZYMLd154M5pNVv01fat_PGDmlHYmYQRcC_v0S_2692UDVDKOMLsPsGNfADh8Yu-NCp_g5ilatPlqZvDF8BWEeSG45quzIMeNaCEDVN3GMdcPxq190/s1600/25412776.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="468" data-original-width="318" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnUcbUImcB-KZUMlzNnF8pq2S_GMZYMLd154M5pNVv01fat_PGDmlHYmYQRcC_v0S_2692UDVDKOMLsPsGNfADh8Yu-NCp_g5ilatPlqZvDF8BWEeSG45quzIMeNaCEDVN3GMdcPxq190/s320/25412776.jpg" width="217" /></a></div>
<b><br /></b>
<br />
AKU NGEFANS BANGET SAMA BU MYRA. <i>Nuff said</i>.<br />
<b><br /></b>
<b><br /></b>
<b>Pemikiran Karl Marx - Franz Magnis-Suseno</b><br />
<b><br /></b>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPPjdAc30dZCcv8OBCjbxdlSsh5kXzIFoSFeDhMGt8OCSE8aIjSUeF8pEmeFWkLCQQohFKMz-gVjW1ZJ-dCz-H9YKxLIR72WrosjmeMK6h2QgXuOV_gTeC0ZhN5VYHOgGyxoDsIvF5vCU/s1600/3183649.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="475" data-original-width="307" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPPjdAc30dZCcv8OBCjbxdlSsh5kXzIFoSFeDhMGt8OCSE8aIjSUeF8pEmeFWkLCQQohFKMz-gVjW1ZJ-dCz-H9YKxLIR72WrosjmeMK6h2QgXuOV_gTeC0ZhN5VYHOgGyxoDsIvF5vCU/s320/3183649.jpg" width="206" /></a></div>
<br />
Kubawa ke mana-mana sampai lecek. Buku pertama yang membukakan pikiran bahwa ketidakadilan itu terstruktur dan berbasis ekonomi. Baca buku ini waktu SMA atau kuliah (lupa). Aku beli dua seri lanjutan, yaitu <i>Dalam Bayangan Lenin</i> dan <i>Dari Mao ke Marcuse, </i>tapi enggak selesai-selesai sampai sekarang. Mungkin enggak ada waktu baca, atau mungkin karena semakin tua semakin ke tengah! Hahahahha...<br />
<br />
Kalau kamu, buku apa yang kamu baca berkali-kali?Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-80949269833211125942018-08-30T16:38:00.002+07:002023-12-04T18:06:47.903+07:00Negeri Opini Di salah satu episode Tafsir Al-Mishbah yang tayang di Metro TV, Ustadz Quraish Shihab pernah menceritakan tentang ulama "zadul" alias zaman dulu. Ulama zadul (mungkin Pak Quraish merujuk pada guru-gurunya waktu kuliah di Al-Azhar, Kairo) sangat menghindari menjawab pertanyaan yang bukan bidangnya. Mereka kuatir, menjawab dengan ilmu yang terbatas akan menyesatkan yang bertanya, bukannya memberi pencerahan. Biasanya para ulama tersebut lantas merujuk sahabat ulama yang lain, yang dia tahu benar-benar ahli dalam perkara yang dimaksud. "Sungguh suatu sikap yang rendah hati," kata Pak Quraish.<br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7HTVw6OYNmaT7k9wJFmBr4Yp5VATNvfKDcx_uLCR9i41YEcqo5y2NyFlnm4KWzgbY36mVbO2bb2Zoyjik_6p6witQwX-pLtG8nMrjz0ZUKkCeHpUUZMPPMhB2q0hPysk5qVqNR76Lqtg/s1600/quraish-shihab_20171014_091917.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="393" data-original-width="700" height="223" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7HTVw6OYNmaT7k9wJFmBr4Yp5VATNvfKDcx_uLCR9i41YEcqo5y2NyFlnm4KWzgbY36mVbO2bb2Zoyjik_6p6witQwX-pLtG8nMrjz0ZUKkCeHpUUZMPPMhB2q0hPysk5qVqNR76Lqtg/s400/quraish-shihab_20171014_091917.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Junjunganque</i></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Potongan jawaban Pak Quraish ini menyelinap begitu saja di benakku ketika iseng-iseng memantau <i>timeline</i> media sosial hari ini. Di media sosial sekarang para pakar berseliweran, jempol mereka siap me-<i>like</i> dan men-<i>dislike</i> pendapat orang, lengkap dengan komentar yang cerdas dan cadas. Para pakar ini akan disahut oleh pakar yang lain, kadang sepakat kadang tidak, sehingga muncullah fenomena tubir alias ribut yang direkam sempurna oleh akun <strike>kesukaanku</strike> seperti <span style="color: red;"><a href="https://twitter.com/InfoTwitwor" target="_blank"><span style="color: red;">Info Twitwor & Drama</span></a>.</span><br />
<br />
Aku tidak pernah keberatan dengan yang namanya 'beropini'. Punya pendapat itu hal yang wajar, justru sehat, daripada abai sama sekali terhadap persoalan hidup bermasyarakat. Hanya saja, sekarang rasanya makin banyak orang yang: 1) beropini mengenai sesuatu yang bukan bidangnya; dan 2) beropini sampai level ngotot mengenai sesuatu yang remeh-temeh dan bukan tempatnya diributkan sampai sedemikian rupa.<br />
<br />
Kawanku penyair Adimas Imanuel pernah diajak ribut oleh seseorang ketika dia ngetwit mengenai <a href="https://twitter.com/adimasnuel/status/1006320835898904576" target="_blank"><span style="color: red;">tempat-tempat jajan yang musti dikunjungi di Solo</span></a>, kota asalnya. Si penantang ini rupanya menganggap tujuan kuliner yang disebut Adimas itu terlalu <i>mainstream, </i>enggak enak, dan mahal. Yang membuatku enggak habis pikir, si penantang sampai bertanya dengan nada sinis kepada Adimas, "<i>do you even live in Solo</i>?" Errr... ini kan 'hanya' perkara jajan-jajan lucu yah, kenapa sih harus sampai adu otot? Kalau yang bersangkutan merasa lebih pakar soal kulineran dan lebih paham kota Solo, bikinlah <i>thread </i>sendiri, malah bagus dong para pelancong mendapat dua alternatif daftar wisata kuliner di kota itu.<br />
<br />
Tapi enggak. Si penantang memilih mengejek dan cari ribut di akun orang.<br />
<br />
Contoh lain, baru tadi aku membaca <i>vlogger</i> politik Cania Citta Irlanie ngetwit <a href="https://twitter.com/InfoTwitwor/status/1034764855083823104" target="_blank"><span style="color: red;">"Pedofil sih gak apa-apa. Itu natural. Selama tidak ada pelanggaran hak."</span></a><br />
<br />
.....<br />
<br />
Ya, aku paham sekali maksud Cania. Pedofil itu preferensi seksual; orang yang memilikinya bisa terangsang secara seksual dengan anak kecil. Kalau dia kemudian menindaklanjuti hasratnya ini dengan memperkosa atau melecehkan anak kecil, barulah dia bersalah dan disebut sebagai <i>child molester</i>. Di negara-negara tertentu, kata Cania, <i>child molester </i>dipasang <i>tracker </i>seumur hidup dan enggak boleh ke tempat yang ada anak-anak.<br />
<br />
TAPI KAN.<br />
<br />
Ya Allah, ngebayangin ada orang di luar sana yang onani (enggak menyentuh lho ya) pakai foto anakku saja rasanya pengen tak kuliti hidup-hidup. Aku tahu pendapatku ini bias karena aku seorang ibu, tapi tidakkah pendapat mengenai pedofilia sepatutnya disampaikan oleh seorang pakar ilmu kesehatan jiwa, bukan sarjana ilmu politik seperti Cania? Aku paham, yang ingin Cania tekankan di sini adalah sesuatu yang sangat dihargainya, yaitu kebebasan individu. Tapi ketika yang dia bicarakan sebegini sensitifnya (pedofilia! OMG) kenapa dia tidak mundur dan memberi ruang bagi para pakar yang bisa jadi lebih paham?<br />
<br />
Seno Gumira Ajidarma pernah bilang padaku, bahwa dia kadang masih menjalankan praktik '<i>self-censorship</i>' ketika menulis. Praktik ini tentu saja hasil dari pengalaman dia menjadi wartawan di era Orde Baru yang represif dan dikit-dikit main bredel. Barangkali itu sudah terlanjur jadi habitus baginya. Tapi kini, yang jadi pertimbangan Seno ketika menulis bukan lagi pemerintah, melainkan orang lain. "Kita enggak boleh seenaknya menulis apa saja yang kita tahu bakal menyakiti hati orang lain," kata Seno. "Hanya karena kita bisa dan boleh melakukannya."<br />
<br />
Aku yakin, Seno enggak begitu saja sampai pada kesimpulan ini. Mungkin ada hubungannya juga dengan usia. Semakin tua, kita semakin sadar bahwa kita enggak sepandai yang kita kira, hahaha! Semakin dewasa, semakin banyak membaca, justru semakin kita sadar bahwa di dunia ini ada banyak hal yang tidak kita pahami. Dan semakin sadar pula bahwa seberapa cerdas pun kita, seberapa berpengetahuan pun kita, enggak ada secuil pun hak untuk menyakiti hati orang lain dengan pendapat kita.<br />
<br />
<i>But again, what do I know? </i>Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com10tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-18315104100959351822018-07-13T14:11:00.004+07:002020-05-30T19:21:30.864+07:00Anakku, Pencapaianku (?)Bulan lalu, timeline Twitter diramaikan dengan tubir mengenai apakah menikah dan punya anak itu pencapaian atau bukan. Kebanyakan yang ikutan tubir adalah ciwi-ciwi, meski sebenarnya pertanyaan yang sama bisa juga ditujukan ke cowo-cowo.<br />
<br />
Dari semua komentar yang berseliweran, ada satu yang menggelitikku:<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvOWrGP3SbAXoH0Cp5ooQ0g7QRtL0ShKuy33UZrf9an0Jv-7tk4hGBVl-RSNc2NcldURKXMkE37sZMwSwRfarfoV27d7VIOIn989gBcht5enG4QnZO0tOH-kMGxGkjAMaKnK0v6YEbreE/s1600/40bac57c-39cf-45d6-9c60-b0d854b90535.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="667" data-original-width="960" height="277" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvOWrGP3SbAXoH0Cp5ooQ0g7QRtL0ShKuy33UZrf9an0Jv-7tk4hGBVl-RSNc2NcldURKXMkE37sZMwSwRfarfoV27d7VIOIn989gBcht5enG4QnZO0tOH-kMGxGkjAMaKnK0v6YEbreE/s400/40bac57c-39cf-45d6-9c60-b0d854b90535.jpeg" width="400" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
Bagi yang tertarik mengikuti rangkuman lengkap ketubiran yang terjadi, silakan cek Steller-nya @catwomanizer<span style="color: red;"> <a href="https://steller.co/s/8M9dGaREjd2" target="_blank"><span style="color: red;">di sini</span></a>.</span></div>
<br />
(Akun Steller @catwomanizer ini <i>recommended</i>, <i>btw</i>! Banyak banget membahas topik-topik "kontroversial", menggelitik, sekaligus nambah pengetahuan, seperti STD, aborsi, <i>sugar mommy/daddy/baby</i>, perempuan inspiratif, pengalaman diskriminasi karena SARA.. pokoknya jenis topik yang nggak akan ada di acaranya Mamah Dedeh.)<br />
<br />
Andai pertanyaan "punya anak itu pencapaian apa bukan" diajukan kepadaku 5-10 tahun lalu, aku pasti akan menjawab YA BUKANLAH, GILE AJE LU! <i>Mosok </i>menikah dan punya anak disebut pencapaian? Receh amat? Pencapaian itu ya sukses di akademik, sukses di dunia kerja, sukses di ranah kreatif.<br />
<br />
Tapi sekarang <strike>setelah menjadi tua, </strike>aku mungkin akan balik nanya, ya, kenapa enggak? Pencapaian itu kan, bentuknya macam-macam. Misalnya, waktu tinggal di Kebon Jeruk, pencapaianku adalah berhasil nyobain (hampir) semua rasa Martabak Alim Kemanggisan hanya dalam waktu beberapa bulan.<br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHM4j59PtV4AxeWF0_c67ASl3mUHgQkIgjCQOjQBwne08K4eWpaUDrcj1P5L088KmaYN7w18x-ipce3PSJSow1g6twsFaOSre4K6E7f-a9PSnJutKqw0gOKGhGdtpHvLg-o_E1kaghKk0/s1600/foody-album20160226_152923-jpg-509-635959905812205749.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1080" data-original-width="1500" height="287" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHM4j59PtV4AxeWF0_c67ASl3mUHgQkIgjCQOjQBwne08K4eWpaUDrcj1P5L088KmaYN7w18x-ipce3PSJSow1g6twsFaOSre4K6E7f-a9PSnJutKqw0gOKGhGdtpHvLg-o_E1kaghKk0/s400/foody-album20160226_152923-jpg-509-635959905812205749.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Sebanyak ini</i></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Bisa berangkat lebih pagi ke kantor sehingga terhindar dari macet, juga pencapaian. Bisa baca 2 buku tiap bulan sampai habis, juga pencapaian. Bisa berhenti melakukan kebiasaan buruk seperti merokok atau menggigit <strike>kamu</strike> kuku, juga pencapaian. Jadi, kenapa menikah dan punya anak tidak bisa disebut pencapaian? Bisa-bisa aja, ah.<br />
<br />
Buatku yang aslinya penakut sama komitmen, ijab kabul jelas pencapaian. Buatku yang angin-anginan, enggak pernah bisa konsisten melakukan sesuatu dalam jangka panjang, bisa kasih ASI eksklusif melalui <i>breastpumping</i> selama 1,5 tahun, jelas pencapaian.<br />
<br />
Jadi, sesuatu bisa dikatakan pencapaian atau bukan, sangat tergantung sama metrik yang kita pakai buat mengukur diri sendiri. Dan itu sah-sah saja karena pengalaman pribadi seseorang berbeda-beda.<br />
<br />
Untuk sampai ke pernikahan, orang yang datang dari keluarga <i>broken home </i>mungkin harus berjuang ekstra keras melawan ketakutannya sendiri. Mungkin dia menghabiskan banyak sesi dengan psikolog, mencari cara menyingkirkan pikiran buruk yang menghantui. <i>Mosok</i> yang kayak gitu enggak boleh disebut pencapaian?<br />
<br />
Untuk bisa hamil, seseorang yang ingin banget punya anak tapi kesehatannya bermasalah, mungkin harus berkali-kali menjalani pemeriksaan dan operasi. Mungkin menghabiskan dana yang enggak sedikit. Mungkin harus minum obat yang banyak dan enggak enak. Mungkin harus ikut program bayi tabung. Ketika akhirnya hamil, dia merasa bahagia dan lega. <i>Mosok</i> yang kayak gitu enggak boleh disebut pencapaian?<br />
<br />
Yang enggak boleh itu, menjadikan hal-hal yang menurut kita pencapaian sebagai TOLOK UKUR dalam menilai orang lain.<br />
<br />
("Tolok ukur" ya, bukan "tolak ukur", nanti dimarahin Ivan Lanin.)<br />
<br />
Misalkan kamu pengikut gerakan #IndonesiaTanpaPacaran dan beranggapan menikah adalah solusi terhadap permasalahan hidup apa pun, ya silakan. Tapi, jangan nyinyir sama orang yang menunda menikah atau bahkan enggak mau menikah. <span style="color: red;"><a href="https://entertainment.kompas.com/read/2018/04/14/100950110/usia-injak-48-tahun-thomas-djorghi-belum-mau-menikah" target="_blank"><span style="color: red;">Thomas Djorghi</span></a> </span>enggak nikah, tapi bahagia.<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEij72FagG6UbsqiOvodauHKLru9tT1R80R0M-0h8KLB30_Yh0aQGfE5rEM7Tq7MXzU3jJEDHUEVjE2phx9fIdfocQczP1eZ-YKdsr6iRgnkDxC6pNZODZpAQHmj6tcWur23CArVv6hI1Xs/s1600/IMG_2121.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1600" data-original-width="1012" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEij72FagG6UbsqiOvodauHKLru9tT1R80R0M-0h8KLB30_Yh0aQGfE5rEM7Tq7MXzU3jJEDHUEVjE2phx9fIdfocQczP1eZ-YKdsr6iRgnkDxC6pNZODZpAQHmj6tcWur23CArVv6hI1Xs/s320/IMG_2121.JPG" width="202" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Sembilan bahan pokok, di dalam bercinta...</i></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Misalkan kamu penggemar keluarga Halilintar dan bercita-cita punya anak setahun dua kali, ya silakan. Tapi, jangan hobi nanya "<i>gimana, udah hamil belum? ih, kok belum hamil-hamil sih?</i>" ke orang lain. Eh malih, enggak semua orang yang menikah itu pingin cuss dapat <i>baby</i>. Ada pasangan yang menunda punya anak, ada juga yang enggak pingin punya anak. Dan, sekali lagi, itu sah-sah saja.<br />
<br />
Jangan juga menilai seseorang belum jadi "perempuan seutuhnya" kalau belum pernah hamil dan melahirkan. Itu <i>annoying</i> parah. Kamu yang ngomong gitu kuanggap sedang dalam tahap evolusi kembali menuju kera. Emangnya "harga" seorang perempuan ditentukan dari rahim doang?<br />
<br />
Jadi, kembali ke skrinsyut pertama tadi, marilah sama-sama menghargai pilihan masing-masing. Terlepas dari istilah dan bahasa yang digunakan, mereka yang bilang "menikah sebaiknya enggak dianggap pencapaian" mungkin cemas karena sekarang semakin banyak orang yang dikit-dikit pingin nikah. Dan kecemasan ini ada benarnya, lho.<br />
<br />
Capek kerja, nikah aja ah. Capek kuliah, duh, lamar adek, Bang. Seolah nikah adalah obat instan menuju kebahagiaan. Padahal, angka perceraian di Indonesia per 2017 itu <a href="http://www.beritasatu.com/keluarga/31699-perceraian-di-indonesia-rekor-tertinggi-se-asia-pasifik.html" target="_blank"><span style="color: red;">tertinggi</span> </a>di Asia Pasifik, lho. Apakah mereka yang kebelet cepat-cepat nikah itu yakin enggak akan cepat-cepat cerai?<br />
<br />
<i>So, to each their own</i>. Mari sama-sama mencoba memahami, dan tidak menggunakan standar masing-masing sebagai tolok ukur dalam menilai orang lain. Begitulah kalau oke.Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-25086646479050198492018-05-19T16:36:00.002+07:002020-05-30T19:21:40.764+07:00Buku (2) Bagian satu bisa dibaca di <a href="http://www.andinadwifatma.com/2016/11/buku.html" target="_blank"><span style="color: red;">sini</span></a>.<br />
<br />
Beberapa minggu lalu, saya beruntung mendapatkan beasiswa <i>staff exchange</i> dari program Erasmus+ ke Westphalian University, Gelsenkirchen, Jerman. Di sana saya mengajar dan menjadi pengamat di beberapa kelas internasional. Saya memberi kuliah tentang maraknya akun YouTube Islami yang kemasannya pop tapi isinya sebenarnya sangat konservatif. Kami lalu membahas soal kaum Muslim menengah perkotaan yang ideologinya tidak jauh dari konsumsi (mungkin soal ini akan saya tulis secara terpisah). Dari Jerman saya melanjutkan perjalanan ke Austria, persisnya Tannheimer, Innsbruck, lalu Vienna. Semua dengan kereta api.<br />
<br />
Sepanjang perjalanan, saya perhatikan banyak orang menghabiskan waktu dengan membaca <i>notebook </i>bersampul kulit warna hitam atau coklat. Hmm, apa ya itu? Setelah berupaya mengintip <strike>secara elegan</strike>, ternyata mereka lagi pada baca pakai Kindle, <i>e-book reader</i> dari Amazon.<br />
<br />
Saya sudah sering mendengar tentang Kindle, tapi enggak pernah minat. Buat saya buku itu ya, harus bisa dilihat, diraba, diterawang. <i>Romantisme membaca buku fisik tidak akan tergantikan</i>, ya gak sih. Buku kan enaknya bisa dicoret-coret, distabilo, dibaca sambil pup, sambil tiduran (kadang ketiduran beneran), bisa sok modus pinjem-pinjeman sama gebetan.. dan masih banyak lagi.<br />
<br />
Tapi melihat orang-orang ini baca Kindle di kereta membuat iman saya goyah. Kok, kayaknya asyik bener?<br />
<br />
Kindle ternyata enggak gede-gede amat (seperti bayangan saya sebelumnya). Pas di genggaman. Satu Kindle bisa memuat hingga ribuan buku, cocok buat <i>book poligamists </i>(pembaca beberapa buku sekaligus dalam waktu yang bersamaan) seperti saya.<br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBxdYKpZx4eSBHbWDqVjQIDwMuxnBtPOT-im8QTeCOW1r_T9YMqGH5Brd2udkorQtLRcEq26kXjz8BPF_7gRWzvaQjc1vPvP0iPMQ9qX4UF8Tc08oUzM5ro7vav43l6LY2ptd_albVz70/s1600/WhatsApp+Image+2018-05-12+at+9.42.58+AM.jpeg" imageanchor="1"><img border="0" data-original-height="780" data-original-width="1040" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBxdYKpZx4eSBHbWDqVjQIDwMuxnBtPOT-im8QTeCOW1r_T9YMqGH5Brd2udkorQtLRcEq26kXjz8BPF_7gRWzvaQjc1vPvP0iPMQ9qX4UF8Tc08oUzM5ro7vav43l6LY2ptd_albVz70/s320/WhatsApp+Image+2018-05-12+at+9.42.58+AM.jpeg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Hayo tebak ini buku apa?</i></td></tr>
</tbody></table>
<br />
IMHO buku itu kayak musik, ada <i>mood</i>-nya. Buku non fiksi enak dibaca dalam keadaan terang. Mungkin di sela-sela pekerjaan kantor, sehabis makan siang, saat otakmu sedang dalam keadaan santai dan siap menerima pengetahuan baru. Sementara buku puisi cocok dibaca malam hari, dengan pencahayaan minimal, sambil menyeruput teh atau kopi lantas merasa <i>ambyar </i>sendiri.<br />
<br />
Nah, kebetulan di perjalanan kemarin saya hanya membawa satu buku, yaitu <i>50 Reasons the World Could End</i> karya kolumnis sains <i>The Guardian</i>, Alok Jha. Isinya 50 kemungkinan dunia <i>chaos</i> sampai bubar, mungkin diakibatkan oleh <i>cyber terrorism</i>, transhumanisme, euforia karena manusia kecanduan pil, kena virus mematikan, mega tsunami, dan lain-lain yang pokoknya suram lah.<br />
<br />
Padahal, dalam perjalanan ke Innsbruck, kami melewati pemandangan berupa lembah, gunung, dan padang bunga yang luar biasa bagus. Langit biru sebiru-birunya. Bunga-bunga bermekaran secantik-cantiknya. Masa iya pemandangan sebagus itu ditemani dengan buku yang berisi berbagai skenario kiamat? Rasanya kayak lagi berduaan sama pacar tapi dengerin <i>Chop Suey</i>-nya System of a Down. Kalau kata admin Mojok: ramashook.<br />
<br />
Terpaksa saya berhenti membaca. Dan iri setengah mati pada para pembaca Kindle yang punya direktori ribuan buku di gawai mereka. Kalau saya punya Kindle saat itu, saya bakal baca buku puisi sambil menikmati pemandangan Salzburg yang jadi latar film <i>Sound of Music </i>dari balik jendela.<br />
<br />
Pulang ke Indonesia, saya membulatkan tekad beli <i>e-book reader</i>. Telat banget emang. Teman-teman saya kayaknya sudah pada pamer direktori buku di Kindle masing-masing dari zaman Fadli Zon masih iklan Daia.<br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOilC260VMNby3FG6W5njtfm9sbMmhp-aJ0TVoCqoCAFARox51zhHFU9YNHUzpgIJNueONvUrQMlMrARSTCWqMoHadJpfIw6FRoTkqw__GpLneOVzr2gOvgpqQCTtYN1cBMaadUfAhjeg/s1600/fadli-zon+%25283%2529.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="237" data-original-width="453" height="208" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOilC260VMNby3FG6W5njtfm9sbMmhp-aJ0TVoCqoCAFARox51zhHFU9YNHUzpgIJNueONvUrQMlMrARSTCWqMoHadJpfIw6FRoTkqw__GpLneOVzr2gOvgpqQCTtYN1cBMaadUfAhjeg/s400/fadli-zon+%25283%2529.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Dag dig dug duerrr!</i></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Tapi saya memang selalu jadi yang terakhir untuk pakai teknologi, sih. Dulu saat orang-orang sudah pada pakai internet banking, saya tetap saja ngantre di <i>teller</i> dan mengira token itu semacam <i>tamagochi</i>. Saya juga orang terakhir di kantor yang pakai BlackBerry, terakhir pakai Android, terakhir unduh WhatsApp, nyinyirin teman yang pakai <i>smartwatch</i>, dan seterusnya. Saya jadul dan saya bangga.<br />
<br />
Di Tokopedia saya memesan Kindle Paperwhite. Barang langsung diantar hari itu juga ke kampus dengan GoSend. Saya lalu menghabiskan semalam suntuk berburu buku di Amazon dan situs-situs <i>open source </i>seperti <a href="http://www.gutenberg.org/" target="_blank"><span style="color: red;">Project Guttenberg.</span></a><br />
<br />
Dan hasilnya....<br />
<br />
YA ALLAH ENAK BANGET INI KINDLE.<br />
<br />
Rasanya persis kayak lagi baca buku beneran. Enggak <i>backlight</i>, enggak bikin mata sakit, dan bisa di-<i>highlight </i>pakai sentuhan ujung jari. Kalau nemu kata yang kita enggak tahu artinya, cukup di-<i>highlight </i>dan langsung nongol entri dari kamus Oxford yang memang tersedia secara <i>offline</i>. Huruf bisa diatur jenis <i>font</i> dan ukurannya. Operasionalnya pun gampang sekali.<br />
<br />
Saya jadi merasa jatuh cinta (lagi) dengan buku. Sekarang tiap naik kereta pulang dan pergi ke kantor, saya pasti bakalan tutup hape dan buka Kindle, sambil denger lagu di mp3. <i>So old school</i>. Saya jadi mengalami lagi bagaimana gandrungnya saya dengan buku, khususnya ketika kuliah. Kadang saya bisa satu-dua hari enggak keluar kosan, cuma goler-goler di kasur baca buku seharian sambil dengerin <i> playlist </i>bikinan sendiri di WinAmp (<i>now you know I'm that old)</i>.<br />
<br />
Dengan Kindle, saya menamatkan <i>Men Without Women</i>-nya Haruki Murakami setebal 290 halaman ++ dalam waktu tiga hari saja! Buat saya ini prestasi besar, mengingat akhir-akhir ini susah banget baca buku sampai habis. Seringnya berhenti di tengah jalan karena ya enggak sanggup aja baca sampai selesai. Buka buku pasti teralihkan oleh hape. Pakai Kindle entah kenapa beda. Lebih fokus dan menikmati, tahu-tahu sudah selesai.<br />
<br />
Efeknya adalah saya jadi males beli buku fisik. Di gudang atas masih ada 2 kardus isi buku yang belum sempat dibuka (dan entah kapan akan dibuka). Dan sementara buku-buku itu menumpuk berdebu dimakan rayap, saya sudah mulai membaca<i> e-book</i> berikutnya..Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1111640315690877054.post-15334498389531950352018-04-02T16:51:00.000+07:002020-05-30T19:22:09.072+07:00Kiri atau Kanan?<span style="font-family: inherit;">Miawati adalah pelanggan setia KRL jurusan Tanah Abang. Perempuan berumur 40-an tahun itu biasa naik dari Stasiun Sudimara karena itu yang terdekat dari rumahnya di Jombang, Ciputat. Sebelum ada KRL, perjalanan Miawati ke Jakarta sungguh berliku. Dia harus naik angkot dulu ke Ciputat, baru naik bus jurusan Pasar Senen. Bisa juga ke Lebak Bulus dulu, lalu naik Patas.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">"Pokoknya jauh," demikian Miawati menyimpulkan. "Dan lama. Apalagi kalau macet."</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Dengan KRL, Miawati cukup membayar tiga ribu rupiah untuk sampai ke Tanah Abang, hanya dalam waktu kurang lebih tiga puluh menit. Satu-satunya hal yang memusingkan bagi Miawati adalah naik KRL banyak aturannya. Tidak seperti naik bus atau angkot yang tinggal lompat, naik KRL harus beli kartu, belajar cara nge-<i>tap </i>(<i>tap </i>sebelah mana, dorong pintu putar sebelah mana), isi ulang kartu, dan seterusnya.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Tapi soal-soal <i>printilan</i> ini mampu dipelajari Miawati dengan cepat. KRL bagi Miawati adalah pilihan transportasi terbaik, apalagi dia masih harus ke Jakarta setidaknya 3x seminggu untuk membantu menjaga keponakannya, Keysha (4 tahun) sementara ibunya, Nurlaila (32 tahun) bekerja. Nurlaila mengontrak di daerah Cideng dan bekerja sebagai buruh cuci. Pada hari-hari Miawati tidak datang, Keysha ikut ibunya ke rumah majikan.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Akhir-akhir ini ada yang baru di Stasiun Sudimara, yaitu <i>underpass</i>. Calon penumpang harus melewatinya untuk bisa sampai ke peron, baik yang ke Tanah Abang maupun ke Serpong/Parung Panjang/Maja. <i>Underpass </i>itu tidak buruk, paling-paling licin kalau hujan. Satu-satunya masalah adalah petugas memasang tanda <i>verboden </i>di sebelah kiri.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Miawati jadi kebingungan di mana harus berjalan. Dan Miawati tidak sendirian. Banyak calon penumpang mengeluhkan hal serupa. Pasalnya, di Indonesia kita sudah terbiasa untuk berjalan kaki di sebelah kiri.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Saya pernah nongkrong 20 menitan (iya, kadang saya se-selo itu) di bawah tangga <i>underpass </i>dan tersenyum-senyum melihat orang-orang jadi kikuk karena saling bertabrakan.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Beberapa penumpang kelihatan dilematis, antara ingin jadi warga negara taat aturan tapi kok ya bertentangan dengan kebiasaan. Beberapa sudah telanjur jalan, kaget melihat rambu, lalu buru-buru pindah jalur. Ada juga yang sadar kalau salah, tapi cuek. Ada juga yang dari awal tidak melihat rambu, jalan di kiri seperti biasa. Biasanya mereka ini yang buru-buru mengejar kereta.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvZaaB4zJviNiitL1RjtPvz3jdmbfA-_9pR5yzOxo2pOKbB8Q98GWDJ5l1Fond283D1PyvSLBBs1z58H9YiRHsxN8miWASUCmGbciiDWaNbzL7uV4nbRe66UuLEjbsWRapa1Sqc1dpqUg/s1600/IMG_20180307_164929.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><span style="font-family: inherit;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvZaaB4zJviNiitL1RjtPvz3jdmbfA-_9pR5yzOxo2pOKbB8Q98GWDJ5l1Fond283D1PyvSLBBs1z58H9YiRHsxN8miWASUCmGbciiDWaNbzL7uV4nbRe66UuLEjbsWRapa1Sqc1dpqUg/s400/IMG_20180307_164929.jpg" width="400" /></span></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i><span style="font-family: inherit; font-size: small;">Minggir klean!</span></i></td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; color: #333333;"><br /></span></span></span>
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; color: #333333;"><span style="background-color: transparent;">Mari kita periksa </span><span style="background-color: transparent;"><span style="background-color: white; color: #333333;">Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan. Dalam Bab X tentang Pejalan Kaki pasal 91 ayat 1 butir a, pejalan kaki harus berjalan pada bagian jalan yang diperuntukkan bagi pejalan kaki, atau pada bagian jalan yang paling kiri apabila tidak terdapat bagian jalan yang diperuntukkan bagi pejalan kaki.</span></span></span></span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; color: #333333;"><br /></span></span></span>
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; color: #333333;">Dalam kasus <i>underpass </i>Stasiun Sudimara ini, seharusnya calon penumpang tetap mematuhi rambu-rambu yang notabene meminta mereka berjalan di sebelah kanan. Tapi, kata Miawati, rasanya aneh. Awalnya dia sempat mematuhi rambu dan berjalan di sebelah kanan.</span></span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; color: #333333;"><br /></span></span></span>
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; color: #333333;">"Tapi, tabrakan melulu sama yang baru dateng, Neng," keluh dia. "Kayak semut jadinya, nabrak-nabrak, enggak sampai-sampai."</span></span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; color: #333333;"><br /></span></span></span>
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; color: #333333;">Saras dan Andreas, keduanya mahasiswa jurnalistik di sebuah universitas di Serpong, juga seperti Miawati. Apalagi pada saat jam sibuk, atau saat kereta pelan-pelan memasuki area stasiun.</span></span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; color: #333333;"><br /></span></span></span>
<span style="font-family: inherit;"><span style="background-color: white; color: #333333;">"Gara-gara harus lewat </span><i style="color: #333333;">underpass</i><span style="background-color: white; color: #333333;">, kita enggak bisa lagi lari-lari ngejar kereta terus main m</span></span><span style="background-color: white; color: #333333; font-family: inherit;">asuk aja. Ya sudah, pilih jalan tercepat saja, Kak. Kita patuh, orang lain enggak, ya jadinya lama." Mereka berebutan menjelaskan.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;"><br /></span></span>
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-family: inherit;">Perkara </span><i style="font-family: inherit;">underpass </i><span style="font-family: inherit;">ini ada dua mazhab. Di Stasiun Kebayoran, mazhabnya sama dengan Sudimara. Orang diminta berjalan di sebelah kanan. Dan seperti di Stasiun Sudimara, kebanyakan penumpang di Stasiun Kebayoran dengan senang hati tetap berjalan di sebelah kiri.</span></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Di Stasiun Palmerah, petugas tetap menempelkan rambu <i>verboden </i>di sebelah kanan. Orang pun leluasa berjalan di sebelah kiri tanpa harus bertabrakan, kecuali pada jam berangkat dan pulang kantor. Pada jam-jam sibuk itu, orang akan menyikat ruas kanan dan kiri jalan tanpa pandang bulu. </span>Andina Dwifatmahttp://www.blogger.com/profile/12410858846799548345noreply@blogger.com2