Setelah Wiranto

“Nawa Cita menjadi buta,” kata Maria Sumarsih melalui pesan teks kepadaku, sesaat setelah reshuffle jilid dua Kabinet Kerja. Beliau ngomongin penunjukan Wiranto sebagai Menkopolhukam, menggantikan Luhut Panjaitan, pada 27 Juli lalu.

Sumarsih adalah ibu dari mahasiswa Unika Atma Jaya Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, yang ditembak mati pada Tragedi Semanggi I November 1998 (baca kisahnya yang kutuliskan di sini). Wiranto saat itu menjabat Pangab dan kasus tersebut nggak pernah selesai. Aku pernah nanya ke Bu Marsih apa sih yang dia cari, dan dia jawab sederhana, "Saya ingin Pak Wiranto mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Anak saya sebenarnya salah apa, dan siapa yang menembaknya?"

Otomatis, penunjukan Wiranto sebagai menteri yang akan mengkoordinasikan urusan hukum, menjadi pukulan telak bagi Bu Marsih.

Selain Kasus Semanggi, Wiranto diduga bertanggung jawab atas berbagai tindak pelanggaran HAM berat, di antaranya kasus Kerusuhan Mei 1998, penculikan dan penghilangan paksa aktivis tahun 1997/1998, Kasus Trisakti, dan kerusuhan setelah referendum Timor Timur 1999. Nama Wiranto, kata Mas Haris Azhar dari KontraS, juga disebut dalam laporan PBB di bawah mandat “Serious Crimes Unit”.

Jadi, Jokowi menyerahkan komitmen penyelesaian pelanggaran HAM pada orang yang diduga melanggar HAM. Kalau aku nggak baca sendiri beritanya, aku bakalan mikir ini semua cuma lelucon stand up comedy yang gagal.

Ada banyak cara berkomunikasi, termasuk dalam politik. Menyampaikan maksud nggak harus selalu lewat pernyataan verbal yang gamblang. Jokowi mungkin nggak pernah berkata isu-isu HAM menduduki peringkat terakhir dalam daftar prioritasnya, tetapi seluruh kebijakannya akhir-akhir ini berkata demikian.

Amnesty International sampai menyebut penunjukan Wiranto ini menambah penghinaan, setelah sebelumnya Jokowi setuju 14 terpidana narkoba dieksekusi mati. Oh iya, posisiku dalam hal terpidana mati ini jelas: menolak. Aku sebagai pemilih Jokowi juga heran, kenapa ya pemerintahan beliau jadi rezim haus darah begini.

Seperti banyak orang yang memilih dia, awalnya aku pun terpesona oleh Jokowi karena kepribadiannya. Rasanya nggak berlebihan kalau kubilang Jokowi muncul sebagai rising star ranah politik Indonesia dengan kesederhanaan sebagai kekuatan utamanya.

Kebetulan aku punya kesempatan membuktikan hal ini dengan mata kepalaku sendiri. Jokowi, waktu itu masih jadi Walikota Surakarta, kuwawancara untuk majalah Fortune Indonesia. Artikel itu lalu kukirimkan ke panitia perlombaan Anugrah Adiwarta, dan menang. Aku mengirimkan sms pada beliau, mengucapkan terima kasih untuk kesempatan wawancaranya. Tahu apa yang dia lakukan? Lewat ajudannya, dia meneleponku. Mengucapkan selamat secara personal, ngobrol sebentar, tak lupa mengundang main ke rumah dinasnya lagi kalau sedang di Surakarta.

Itu nggak dilakukan setiap narasumber. Suamiku, yang memang lahir dan besar di Solo, sering melihat Jokowi menyetir mobil sendiri dan naik motor. Seorang kawan, yang kebetulan pernah menjadi pacar Kahiyang, tertimpa musibah: ibunya meninggal dunia. Jokowi yang waktu itu sudah jadi walikota, datang melayat dengan jalan kaki karena rumah si kawan berada di gang yang nggak bisa dimasuki mobil.

Jadi kalau sekarang banyak berita mengenai kesederhanaan Jokowi (beli baju di pasar, naik pesawat kelas ekonomi, dst) aku bisa bilang itu nggak palsu. Dan kesederhanaan inilah yang nggak bisa ditiru oleh lawan-lawan politiknya. SBY bisa saja tampil santun, tapi dia seorang jenderal. Prabowo tampak tegas, tapi dia senang naik kuda. Bahkan Megawati, yang selalu berkaca-kaca ketika bicara tentang orang miskin, adalah anak Soekarno dan itu menciptakan semacam jarak.

Hello, peasants!

Dengan Jokowi, ceritanya berbeda. Dia tampak seperti tetangga sebelah rumah yang jujur, pekerja keras dan bisa diandalkan. Kalau kita kesusahan, kita bisa minta tolong padanya. Jokowi bukan hanya seorang pemimpin yang dekat dengan rakyat; dia adalah representasi dari rakyat itu sendiri.

Nah, di sinilah timbul masalah. Harapan terhadapnya sudah terlalu besar sejak awal. Sebenarnya sih logis saja, mengingat teknik branding politik yang digunakan (“Jokowi adalah kita”, kan?), diperkuat dengan poin “penegakan hukum yang bermartabat dan tepercaya” dalam Nawa Cita.

Semasa sebelum hamil, aku lumayan rutin ikutan Aksi Kamisan. Teman-teman di sana, termasuk Ibu Sumarsih, sempat merasakan secercah harapan begitu Jokowi naik. Harapan ini bukan jenis yang naif, ya. Mereka juga sadar di sekitar Jokowi ada siapa saja. Tapi tetap terasa ada sedikiiiit.. saja titik terang. Untuk tetap hidup, orang harus punya harapan. Dan buat orang-orang seperti Ibu Sumarsih --yang selama delapan tahun belakangan berdiri di depan Istana Negara tiap Kamis selama sejam mau hujan mau badai sekalipun-- harapan itu penting sekali.

Harapan itu segalanya.

Makin ke sini makin terlihat, urusan HAM ternyata nggak pernah jadi prioritas Jokowi. Memang sih, Jokowi bukan superhero dan di sekelilingnya ada banyak kepentingan. Masalahnya, sepertinya Jokowi sendiri memang menitikberatkan pemerintahannya pada upaya penguatan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Bila membicarakan prestasi Jokowi, yang disebut-sebut selalu penerbitan aneka kartu, pembangunan ruas jalan tol, kilang minyak, jembatan, waduk, atau rel kereta.

Rasanya geregetan pingin bilang: Pak Presiden, membiarkan orang kayak Wiranto nggak tersentuh hukum itu satu hal, tapi nunjuk dia jadi MENKOPOLHUKAM itu soal lain. Nggak gitu juga kali!

Mengapa ya, Jokowi terkesan abai pada masalah-masalah yang bersinggungan dengan hak asasi manusia? Aku tertarik menghubungkannya dengan "kerja, kerja, kerja" sebagai slogan kabinet Jokowi. Latar belakang Jokowi sebagai pengusaha mungkin membuatnya terbiasa berpikir pragmatis. Dia seolah ingin kabinetnya dinilai berdasarkan sektor yang tangible dengan hasil-hasil yang bisa diukur.

Jika dibandingkan dengan sektor ekonomi dan infrastruktur yang secara langsung berdampak pada taraf hidup masyarakat, penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu seolah menjadi tidak urgent.

Makanya hati ini terasa ikut sakit ketika membaca Wiranto menanggapi penolakan terhadapnya dengan santai. "Setiap saya muncul pasti ada penolakan. Itu biasa," kata doi seraya membenahi rambut polemnya (dalam bayanganku). Wiranto tuh kayak orang yang kalau kegep selingkuh cuma ketawa-tawa cengengesan terus besok-besoknya diulangin lagi.

Juga Oom Luhut yang bilang masyarakat jangan ikut-ikutan terbawa isu pelanggaran HAM. "Kita nggak usah ikut-ikutan lah," imbau dia. Dengan dia pakai kata kita, seolah pelanggaran HAM itu cuma urusan para korban. Seolah kemanusiaan kita nggak terusik sampai kita sendiri mengalaminya. Seolah se-Indonesia isinya orang egois yang cuma mikir dirinya sendiri dan keluarga bisa makan apa enggak. Oh, ada orang yang anaknya ditembak nggak tahu oleh siapa? Bodo amat. Ada orang yang gara-gara stigma PKI nggak pernah bisa bekerja dan membangun keluarga dengan normal? Derita lo.

Dan yang juga juara adalah komentar Johan Budi yang bilang Presiden sudah konfirmasi langsung ke Wiranto apa benar dia melanggar HAM dan yang bersangkutan bilang enggak.

Polisi: "Eh, kamu maling, ya?"
Maling: "Iya. Ih kok kamu tahu, sih?"
Polisi: "Ya udah, masuk penjara yuk!"
Maling: "Ayuk!"

Pernah dengar dialog kayak gitu? Iya, sama.

Ah, analisis politik emang bisa macem-macem dan muter-muter. Yang aku tahu, penderitaan Ibu Marsih kehilangan anak itu nyata. Buat dia, dan orang-orang senasib yang kehilangan keluarga akibat tindak laku para penguasa, Jokowi pernah menyalakan seberkas cahaya harapan yang kini hanya samar-samar.

No comments