Pantau Media Lewat Blog!


Photo by Jess Bailey on Unsplash



Dalam cita-cita demokrasi, media adalah anjing penjaga yang setia. Ia memastikan agar kebenaran, dan tiada lain selain kebenaran, sampai ke telinga publik. Tetapi, apakah kebenaran itu? Berita yang ditulis oleh para wartawan selalu adalah realita yang telah dibentuk di atas kelindan kepentingan ekonomi dan politik, dan di sinilah peran bloggers menjadi menarik. Melalui mekanisme produksi dan distribusi gagasan yang lebih inklusif, bloggers memiliki potensi menjadi penjaganya anjing penjaga (watchdog watcher), melalui kritik terhadap konten media mainstream.

Istilah pilar kelima pertama kali digunakan oleh Dan D. Nimmo dan James E. Combs dalam buku mereka The Political Pundits (1992). Istilah “pundit” berasal dari bahasa Sansekerta “pandita” yang artinya mereka yang terpelajar (learned men), yang kemudian diadaptasi ke dalam bahasa India menjadi “pandit”. Kata ini awalnya untuk menyebut kaum dari kasta Brahmana yang pandai berbahasa Sansekerta, mengerti hukum Hindu dan petuah-petuah kuno. Dalam perkembangannya di India modern, kata “pandit” selain dilekatkan pada figur-figur yang dianggap memiliki pengetahuan lebih seperti  para guru, juga digunakan untuk menyebut tokoh yang memiliki otoritas dan pengaruh politis.

Pada abad ke-19, “pandit” masuk dalam kosakata bahasa Inggris dan konotasinya langsung meluas. Kata “pundit” digunakan untuk menyebut para ahli, yaitu mereka yang dianggap punya legitimasi dalam memberikan opini mengenai suatu hal. Mereka menganggap diri memahami konteks peristiwa, dan secara sadar memilih mana yang penting atau menarik untuk disampaikan pada khalayak, dan mana yang tidak. Termasuk di antara para pundits adalah para kritikus media, baik itu lembaga pengawas media (media watchdogs), analis, akademisi, maupun peneliti. Kata kritik sendiri berasal dari bahasa Latin criticus,yang artinya menentukan (“decisive”); bahasa Yunani kritikos yang berarti memahami (“to discern) dan kritos yang artinya memisahkan (“to separate”) atau memilih (“to choose”).

Kini, sudah selayaknya khalayak berani berpikir secara mandiri daripada duduk manis menonton para pakar berebut pengaruh, artinya fungsi kritik terhadap media juga harus dipegang oleh khalayak sendiri. Tetapi, di mana khalayak bisa menuliskan kritiknya terhadap media, tanpa harus takut kena sensor atau bahkan tak dimuat? Di mana khalayak dapat mengungkapkan gagasan mereka tentang dinamika media dan saling mendiskusikannya? Jawabannya: blog. Fakta bahwa kebanyakan blog adalah gratis, menunjukkan barrier to entry yang rendah. Blog terbuka untuk siapa saja, artinya bersifat inklusif, dan memungkinkan warga datang sebagai individu-individu yang membentuk suatu forum diskusi.

Saya mengambil topik ini untuk tugas akhir jenjang pascasarjana Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia. Judul tesis saya adalah "Banjir Ibu Kota Pada Tahun Politik: Tipologi Kritik Media Oleh Bloggers Kompasiana Sebagai Pilar Kelima"

Media baru (new media) menawarkan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya: mekanisme pengawasan media arus utama (mainstream) oleh warga biasa. Hal ini mengandaikan ruang dialog antar warga yang terbuka. Sebelum ada blog warga seperti Kompasiana, kita mungkin sulit membayangkan bagaimana media arus utama bisa dikritik oleh khalayak dengan bebas dan aktual. Sebelumnya, jika kita merasa tergelitik, tak setuju, atau sekadar ingin mengoreksi berita yang salah, paling banter hanya bisa mengirim surat pembaca yang baru akan dimuat dua-tiga hari kemudian, itu pun kalau lolos bersaing dengan ribuan surat lain yang masuk.

Permasalahan utama media “tradisional” seperti televisi, koran, majalah dan radio, adalah khalayak cenderung menerima informasi dan hiburan secara pasif, alih-alih memberikan reaksi berupa komentar atau gagasan. Media tradisional tidak memberikan kesempatan bagi khalayak untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh konten media yang mereka konsumsi, dan kalaupun ya, khalayak juga tidak diberi ruang untuk mengekspresikan ide dan gagasannya itu secara sistematis dan berkelanjutan.

Media baru memiliki potensi untuk mengisi kekosongan ini. Perhatikan bagaimana konten berita daring (dalam jaringan) menyertakan ruang untuk komentar pembaca. Ini berarti ada kebutuhan masyarakat untuk bicara, mengkritisi, didengar dan mendengar. Warga bukan lagi sekelompok individu anonim yang menerima begitu saja konten media tanpa bersikap kritis. Tentu saja tidak semua komentar di berita daring diungkapkan secara serius dan merepresentasikan keinginan untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara; banyak di antaranya yang asal-asalan, rasis, dan seksis. Di lain pihak, media warga berupa blog keroyokan seperti Kompasiana, misalnya, dapat menjadi wadah dialog publik karena mereka menulis posting yang lebih panjang dan sistematis, bukan sekadar komentar iseng. Dengan kata lain, ada proses deliberasi di sini.

Kajian mengenai bloggers sebagai pilar kelima (fifth estate) demokrasi sebenarnya bukan gagasan yang baru. Penelitian serupa telah dilakukan di Amerika Serikat oleh Profesor Stephen D. Cooper dari Marshall University, yang membuktikan bahwa keberadaan bloggers mampu menawarkan pandangan alternatif bagi diskursus politik di Amerika Serikat. Menurut Cooper (2006),

And this is the essence of the blogosphere’s challenge to the mainstream media; the conventional storyline and frames of the established journalist no longer constitute the master narrative of current events; heterodox narratives are viable now. (p. 286)

Setelah dibantai  diuji oleh para dosen, tesis tersebut saya akhiri dengan beberapa kesimpulan, di antaranya Keberadaan pilar kelima mutlak diperlukan dalam demokrasi karena kinerja pers juga harus diawasi, sebagaimana pilar keempat itu memantau kinerja eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini juga akan menjadi bagian dari pendidikan politik untuk warga. Blog menjadi sarana warga untuk menyadari posisinya sebagai khalayak media, yang memiliki hak untuk mengkritisi konten dan kinerja pers demi kebaikan bersama.

Fungsi bloggers sebagai pilar kelima dimulai dari kemampuannya memantau kinerja pers (watchdog watcher). Pers, sebagai pilar keempat, bertugas mengawasi apakah eksekutif, legislatif dan yudikatif, sudah bekerja demi sebaik-baik kemakmuran rakyat. Bloggers, sebagai pilar kelima, bertugas memantau apakah pers sendiri sudah menjalankan fungsi pengawasan tersebut.

Selain itu, bloggers juga bisa menyuarakan kebutuhan publik yang bisa jadi luput dari berita yang disajikan media arus utama. Sembari menjaga agar pers tetap setia pada fungsi mereka, pada gilirannya bloggers juga akan mampu berkontribusi terhadap kehidupan bermasyarakat dalam taraf yang lebih luas, misalnya pengambilan kebijakan oleh pemerintah.

Eh, kalau tesis ini dikembangkan menjadi semacam artikel/jurnal/buku yang lebih mudah dibaca, sekadar sebagai sumbangan kecil untuk upaya literasi media yang lebih inklusif, boleh juga, ya?

2 comments

  1. Bukukanlah, Kak, akan menarik untuk dibaca pembaca lebih luas.

    ReplyDelete
  2. Wendy: Siap! Cari penerbit yang mau dulu, hehehe..

    ReplyDelete