Hari Terakhir di Fortune

Senin (24/3) lalu, saya resmi mengakhiri karier empat tahun sebagai wartawan bisnis-ekonomi Majalah Fortune Indonesia, di bawah penerbitan Kompas Gramedia Majalah. Sedih? Pastinya. Tapi, karena pertimbangan studi dan hal-hal lain, sepertinya keputusan ini memang sudah paling tepat. Hari terakhir itu, selain mengembalikan kartu identitas karyawan, kartu asuransi, dan tanda tangan surat pisah (mirip orang putus, ya?), saya beli dua kotak pizza, lalu makan sambil foto-foto bareng anak-anak.

Tempeeee!

Ada terlalu banyak kenangan di Fortune yang bikin saya beraaaat banget meninggalkan majalah ini. Ingat pertama bergabung April 2010, artinya tiga bulan sebelum majalah ini diluncurkan. Rasanya senang banget, soalnya Jalan Panjang no. 8A (Gedung Kompas Gramedia) adalah mimpi masa kecil saya. Sebagai anak kecil saya baca Bobo. Jadi remaja, baca kaWanku. Sepanjang itu pula selalu kirim surat ke alamat ini. Siapa sangka, sudah gede bisa kerja di sini!

Karena sejak kecil saya sudah tahu ingin jadi wartawan, beradaptasi di Fortune sama sekali tidak susah. Malah, cenderung alamiah. Saya merasa sangat nyaman karena ini dunia saya. Semua yang serba-pertama di Fortune saya cicipi. Pertama dinas luar kota, pertama liputan, pertama wawancara, pertama nulis artikel, pertama nulis feature, pertama rapat redaksi, pertama deadline, pertama nginep kantor, pertama menang penghargaan, pertama dapat surat pembaca, pertama jadi redaktur,.. semuanya.

Sekarang rasa senang, sedih, lega, degdegan, susah, penasaran, gloomy, mellow, semua jadi satu. Selama empat tahun terakhir, Fortune sudah seperti rumah sendiri. Kalau kumpul dengan teman-teman kuliah dan mereka mengeluh tentang pekerjaannya, saya selalu bersyukur. Nggak harus berangkat jam setengah lima pagi dari rumah karena takut gaji dipotong kalau telat. Nggak harus duduk di belakang meja seharian. Nggak harus pakai dasi. Bisa jalan-jalan dan ketemu orang baru tiap hari. Sampai hari ini saya masih berpendapat, jadi wartawan adalah pekerjaan terbaik di dunia. Biar gaji nggak hebat-hebat amat, kemerdekaan dan suasana kekeluargaan adalah dua hal yang tak bisa dibeli dengan uang sebanyak apapun.

Tapi, saya terlalu cinta pada jurnalistik untuk meninggalkannya betul-betul. Sambil bikin tesis, saya sekarang mengurus PanaJournal, sebuah blog inisiatif dengan beberapa kawan. Kami menulis kisah-kisah luar biasa yang terjadi pada orang-orang biasa. Sengaja melawan pakem "people make news" yang beredar di media-media arus utama sekarang. Nggak harus jadi selebriti untuk bisa masuk berita, kan? Sebaliknya, biarpun selebriti, kalau nggak ada nilai beritanya, ya buat apa ditulis? Formatnya kami buat panjang, untuk membuktikan bahwa dalam dunia daring pun, pembaca masih menyukai feature yang menarik. Main-main ke sini, ya.

Sampai jumpa, Fortune. Sampai jumpa, Jalan Panjang. Sampai jumpa, Kompas Gramedia. Apapun yang terjadi dan ke manapun saya melangkah nanti, saya tidak akan pernah lupa bahwa mimpi saya dimulai dari sini.

4 comments

  1. Gw kira lo bakal bikin tulisan seperti "Why I Left Goldman Sachs". Hahaha. Memang, kenangan di Jl. Panjang itu terlalu banyak untuk ditinggalkan begitu saja. Tapi, life must go on, kata orang bule. Setuju, bahwa kisah di Jl. Panjang menjadi awal untuk semua mimpi kita. Aheuyyy!

    ReplyDelete
  2. Hahaha, enggak. Tapi boleh juga idenya. Bisa ditawarkan ke penerbit :))

    Thanks, Pat! Now let's achieve the dreams! Semangat!

    ReplyDelete
  3. Udah lima kali saya baca tulisan ini, dan selalu terharu... hemmm... tempat kerja pertama memang seperti cinta pertama...

    ReplyDelete
  4. @Irham: Iya, tak pernah mati :)

    ReplyDelete