Bertanya Sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan


Katanya, dunia ini sekarang sudah menjadi global village, alias desa global di mana penduduknya dimungkinkan untuk saling mengenal dengan akrab layaknya kehidupan di desa. Hal ini, walaupun lebih sering dibicarakan daripada direalisasikan, disadari atau tidak sangat besar pengaruhnya bagi kita. Kita lalu jadi mengagung-agungkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengapa? Karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itulah yang mampu mengantarkan kita pada globalisasi. Ukuran maju tidaknya suatu bangsa bahkan cenderung dilihat dari perkembangan ipteknya. Bila maju, modernlah ia. Bila tertinggal, ia lalu dikatakan sebagai ‘suatu bangsa yang sedang berkembang’.

Pola berpikir kita sedang dibolak balik oleh konstruksi yang ada. Mengapa kita begitu bangga dengan kemajuan ilmu pengetahuan, tanpa pernah bertanya bagaimana ilmu pengetahuan itu bisa ada? Mengapa kita selalu diajarkan, didorong, dibuat, dikonstruksi, dibujuk, untuk mendahulukan sisi pragmatis? Mengapa bisa ada segenap teori fisika, kimia, biologi, matematika, yang sangat besar kontribusinya dalam memudahkan hidup manusia atas nama teknologi, dan karena itu dipuja sebagai solusi? Mengapa bisa ada isme-isme yang menginspirasi sekaligus meresahkan dunia? Semua itu bisa hadir karena dan hanya karena satu sebab: keberanian untuk bertanya.

Kritis: Sifat Dasar Filsafat
Untuk memulainya, pertama-tama kita harus mencari tahu, apakah filsafat itu? Secara etimologis, filsafat berasal dari dua buah kata dalam bahasa Yunani, yakni philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaaan). Bila dua buah kata itu digabungkan, kita akan mendapatkan sebuah definisi yang utuh mengenai filsafat secara etimologis, yakni cinta akan kebijaksanaan.

Karena kita sedang berfilsafat, selayaknya kita tidak menerima definisi ini begitu saja. Apakah cinta? Apakah kebijaksanaan? Untuk menjawab pertanyaan ini, baiknya kita mengutip apa yang dituliskan Sonny Keraf dan Mikhael Dua (2001):

“Cinta akan kebenaran adalah suatu dorongan terus-menerus, suatu dambaan untuk mencari dan mengejar kebenaran.. filsafat adalah sebuah upaya, sebuah proses, sebuah pencarian, sebuah quest, sebuah perburuan tanpa henti akan kebenaran.. karena itu, cinta (philo) dalam philosophia tidak dipahami sebagai kata benda, melainkan sebagai kara kerja, sebuah proses..” (p.14-15)

Dari kutipan tersebut dapat dikatakan bahwa filsafat adalah sebuah proses bertanya. Ia mempertanyakan segala sesuatu dalam hidup untuk menemukan kebenaran sejati. Kebenaran ini haruslah kebenaran yang paling hakiki, yang disepakati semua orang dan karena itu benar bagi setiap orang. Sayangnya, kebenaran semacam ini tidak ada dan tidak akan pernah ada.

Inilah sifat paradoks dalam filsafat. Ia berusaha mencari kebenaran akhir, yang tidak akan pernah ditemukan. Setiap kali proses perenungan dalam filsafat mencapai sebuah jawaban, dengan sendirinya jawaban itu kemudian dipertanyakan lagi. Begitu seterusnya. Bagi kita yang berpikir pragmatis, akan timbul pertanyaan, untuk apa mencari sesuatu yang tidak akan pernah ditemukan?

Justru disinilah letak kekuatan filsafat. Melalui proses berpikir yang sarat paradoks, seseorang akan mencapai taraf kebijaksanaan. Ia akan siap bila pendapatnya dikritik oleh orang lain, karena ia bahkan selalu mempertanyakan konsep-konsep yang telah ditemukannya sendiri. Ia lalu akan menginsyafi bahwa di dunia ini ada banyak ‘kebenaran’. Tidak ada satu manusia pun yang berhak mengklaim bahwa kebenaran yang ia yakini lebih benar daripada kebenaran yang diyakini manusia lain. Dengan belajar filsafat, dan menghidupinya, seseorang akan lebih siap dalam menjalani hidupnya.

Louis O. Katsoff (1986) memberikan sebuah analogi menarik tentang filsafat. Menurutnya, filsafat bukan ilmu yang mengajari kita ‘membuat roti’, tapi filsafat dapat menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menambahkan jumlah bumbunya secara layak, dan mengangkat roti itu dari tungku pada waktu yang tepat. Filsafat, kata Katsoff, membawa kita pada pemahaman, dan pemahaman membawa kita pada tindakan yang lebih layak.

Bagaimana pemahaman dan tindakan itu mungkin? Tidak lain adalah dengan bertanya. Untuk bisa menjadi paham akan sesuatu, tentu harus didahului dengan pertanyaan, apa sebenarnya yang ingin kita pahami. Setelah ada pemahaman, kita bertanya lagi, apa yang bisa kita lakukan dengan pemahaman itu. Dari sini lahirlah tindakan. Demikianlah sikap bertanya, alias kritis, menjadi sifat dasar dan jiwa bagi filsafat.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan & Sifat Kritis Filsafat
Ilmu pengetahuan tidak sama dengan pengetahuan. Pengetahuan berkaitan dengan berbagai hal yang diketahui oleh manusia dalam hidupnya, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang telah dibakukan dengan berbagai sistem dan metode. Pertanyaan mengenai siapa yang membakukan dan kenapa perlu dibakukan memerlukan pembahasan tersendiri. Tulisan ini akan berfokus pada pembahasan mengenai ilmu pengetahuan dan perkembangannya saja.

Kiranya sudah jelas bahwa keberadaan ilmu pengetahuan mengandaikan adanya sifat kritis manusia. Jika ditarik garis ke belakang, manusia bisa memperoleh pengetahuan, meski itu sifatnya belum sistematis dan tidak metodis, juga karena ia bertanya. Meski pengetahuan itu sifatnya sangat sederhana sekalipun, misalnya pengetahuan tentang air bila direbus akan mendidih, juga berasal dari pertanyaan.

Menurut Sonny Keraf dan Mikhael Dua (2001, p.22-23), ilmu pengetahuan muncul ketika manusia sadar bahwa ia memiliki suatu pengetahuan. Ia tahu bahwa ia tahu. Dari sini muncul refleksi, dari refleksi muncul sistem dan metode, dan dari situ lahirlah ilmu pengetahuan. Semua proses ini pun mengandaikan sifat kritis. Sekurang-kurangnya manusia harus menanyakan dua hal sebelum sampai pada ilmu pengetahuan, (1) apakah yang saya ketahui?, dan (2) bagaimanakah cara saya menyusun pengetahuan tersebut agar orang lain dapat mengetahuinya pula?

Meski demikian, kekuatan kritis dalam pola berpikir filsafat tidak berhenti sampai pada peranannya membidani lahirnya ilmu pengetahuan saja. Sesuai dengan sifatnya yang selalu bertanya, ketika ilmu pengetahuan –dengan segala sistem dan metodenya- lahir, tugas filsafat adalah mempertanyakannya lagi. Disini kekuatan kritis filsafat sangatlah penting, karena ia bisa menghindari kemungkinan ilmu pengetahuan menjadi sebuah dogma.

Ketika Immanuel Kant menerbitkan tiga jilid bukunya; Kritik der reinen Vernunft (1781), Kritik der praktischen Vernunft (1788), dan Kritik der Urteilkraft (1790), sesungguhnya ia sedang menghidupi karakter kritis khas filsafat. Kant hidup di zaman Pencerahan dimana orang-orang sangat mengagungkan kekuatan rasio. Alih-alih mengikuti tren berpikir zaman itu, Kant malah balik bertanya, seberapa besar kekuatan rasio sampai ia layak dipuja sedemikian rupa?

Menurut F.Budi Hardiman dalam bukunya Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche (2004), filsafat Kant juga disebut ‘kritisisme’, yang dipertentangkan dengan ‘dogmatisme’. Sementara dogmatisme menerima begitu saja kemampuan rasio tanpa meneliti batas-batasnya, kritisisme dipahami sebagai sebuah filsafat yang lebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum memulai penyelidikannya (p.133).

Kant menilai, para filsuf sebelum dirinya bermetafisika tanpa menguji kesahihan metafisika itu. Kata ‘kritik’ dipahami Kant sebagai ‘pengadilan tentang kesahihan pengetahuan’, atau ‘pengujian kesahihan’ (Hardiman, p.133). Pemikiran Kant ini memberikan sumbangan yang sangat besar dalam sejarah filsafat modern, khususnya dalam mendamaikan aliran pemikiran rasionalisme dan empirisisme.

Aroma kritis juga terasa sangat kental dalam pola pikir Friedrich Nietzsche dengan nihilismenya yang terkenal. Ketika agama Kristen sedang mapan-mapannya, Nietzsche bilang tuhan sudah mati. Ketika orang sedang gencar-gencarnya mencari makna hidup lewat kemajuan (modernitas), Nietzsche bilang dalam hidup ini sebenarnya tidak ada yang baru. Meski nyeleneh, filsafat Nietzsche sangat kuat pengaruhnya pada ilmu pengetahuan. Ia mengajarkan orang untuk mempertanyakan segala sesuatu dalam hidup ini, alih-alih menerima begitu saja apa yang kita lihat, dengar, dan lakukan setiap hari.

Konsekuensinya, filsafat Nietzsche sebagai ilmu pengetahuan pun (meski ia menulis dalam bentuk aforisme tanpa metode, yang sebenarnya merupakan suatu metode tersendiri), harus dipertanyakan lagi. Inilah yang, salah satunya, dilakukan oleh Karl Jaspers. Menurut Jaspers, kegiatan filsafat Nietzsche belum selesai. Nietzsche hanya berhenti dalam salah satu tahap berfilsafat dan memutlakkan tahap itu menjadi ajarannya (St.Sunardi, 1996, p.179). Kegiatan mempertanyakan filsafat Nietzsche yang pokok ajarannya juga tentang mempertanyakan ini kemudian melahirkan banyak aliran pemikiran, seperti postmodernisme, poststrukturalisme, dan dekonstruksionalisme.

Hal yang sama terlihat pula dalam fenomena perkembangan ilmu pengetahuan yang ada sekarang. Ketika sebuah teknologi baru ditemukan, manusia akan berlomba-lomba bertanya, teknologi apa lagi yang dapat diciptakan melampaui teknologi sebelumnya? Kemudahan apa lagi yang kira-kira bisa diperoleh manusia dengan kemajuan teknologi? Inilah sebabnya kenapa bisa ada, misalnya, teknologi kloning, rekayasa genetik, alat-alat rumah tangga nan inovatif, dan lain-lain. Sifat kritis juga memegang peranan penting ketika sekelompok manusia menolak teknologi kloning. Apapun alasan yang dikemukakan, penolakan terhadap teknologi kloning mengandaikan adanya pertanyaan apa yang akan terjadi bila teknologi tersebut benar-benar direalisasikan dalam kehidupan.

Sekarang ini kita cenderung akan dipandang aneh ketika bicara filsafat, alias mempertanyakan segala sesuatunya. Ini karena, seperti kata Sonny Keraf dan Mikhael Dua (p.17), kita sudah terlalu terbiasa dengan pem-biasa-an. Orang cenderung lebih suka mati-matian berusaha agar dibilang modern, daripada mempertanyakan dulu, apa sebenarnya modern itu. Orang juga cenderung lebih suka terus mengejar perkembangan teknologi, tanpa mempertanyakan apakah sebenarnya teknologi itu dan mengapa perkembangannya begitu diperlukan.

Kekuatan kritis filsafat tetap diperlukan karena bertanya adalah jalan menuju kebijaksanaan. Dengan belajar filsafat, seseorang akan lebih bijak dalam menyikapi keragaman dalam hidup. Bagaimanapun sengitnya perdebatan antar ilmu pengetahuan, bagaimanapun derasnya arus kemajuan zaman dengan perkembangan teknologinya, bagaimanapun beragamnya penafsiran tentang hal-hal yang sifatnya prinsip seperti tuhan dan agama, filsafat dengan sifatnya yang selalu bertanya akan menghadapinya dengan pikiran terbuka.

Dari zaman Kant sampai era kloning, dari periode Nietzsche sampai masa Jaspers, sifat kritis filsafat terbukti telah menjadi jiwa yang melahirkan, mengkritik, memunculkan wacana baru, dan pada akhirnya menghindarkan ilmu pengetahuan dari bahaya dogmatisme.

Rujukan bacaan:
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietszche, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Keraf, A. Sonny & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta, Kanisius, 2001.

TW, Prasetya, Anarkisme Ilmu Pengetahuan Menurut Paul Karl Feyerabend, dalam R. Bambang Rudianto, J. Sudrijanta, dkk (ed.), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta, Gramedia, 1993


NB: ditulis semasa masih menjadi mahasiswa sekitar tahun 2006, diposting dengan rasa rindu yang mendalam terhadap kelas Filsafat Ilmu Pengetahuan... *mewek

6 comments

  1. hahaha..rindu kuliah ya ndin? :p

    ReplyDelete
  2. Sangat! Saya boleh ikut kelas anda, Pak Dosen? :D

    ReplyDelete
  3. bagus tulisannya...
    kayaknya, mreka yang suka mempertanyakan nilai2 yg mapan gak bahagi hidupnya...
    mungkin bahagia dlam menyikpi hdup kali ya?

    ReplyDelete
  4. @ Anonymous: Orang yang nggak banyak bertanya bisa jadi lebih bahagia, tapi kan kata Socrates hidup yang nggak direfleksikan sebenarnyalah nggak layak untuk dihidupi.. :)

    ReplyDelete
  5. itu kan Sokrates, hdupnya untuk kebenaran... nah kalo mayortas saat ini hdup pragmatis, kan? bsa jadi masalah kalo mereka banyak nanya, bsa jatuh sendiri ntar...
    kalo ngambil ikon Sokrates kayaknya lebih pas ngambil Epikuros.... dia bertanya untuk hdup yang praktis, kenikmatan... bagaimana hdup ini terhindar dari penderitaan, tapi kalo kontemplasi yg lebh dalam, suasana sosial dan politik kita, Indonesia, bsa balik lagi bergelora... karena paham...

    ReplyDelete
  6. itu kan Sokrates, hdupnya untuk kebenaran...

    --> hei, kita juga bisa (dan perlu) lho hidup untuk kebenaran, meski kita bukan Sokrates, tidak berkelana ke pasar dan akhirnya minum racun :)

    ReplyDelete