Satu Jam Bersama Florentino Ariza

Berapa lama kamu tahan menunggu kekasih hati? Sebulan, setahun, sepuluh tahun? Kenalan dulu sini sama Florentino Ariza, seorang lelaki yang sanggup menanti kekasihnya, Fermina Daza, selama lima puluh tiga tahun, tujuh bulan dan sebelas hari. Baca sinopsis kisah cinta mereka di sini.

Aaaakuuu menunggumuuuu.. menunggumuu.. menunggumuu..

Halo, Bung, apa kabar? Masih sering sembelit?
Sayangnya, iya. Sembelit kronis adalah kutukanku sejak kecil. Dokter keluarga kami, yang juga adalah ayah baptisku, pernah berkata, 'dunia ini ini terbagi ke dalam dua kubu, yaitu orang-orang yang bisa be'ol dan orang-orang yang tidak bisa be'ol'. Dia bahkan membuat teori sendiri mengenai tipe-tipe kepribadian berdasarkan dogma ini. Nanti kukasih catatannya ya, kalau kau mau baca.

Nah, dogma si Dokter itu sudah aku modifikasi menjadi, 'dunia ini terbagi ke dalam dua kubu, yaitu orang-orang yang bersetubuh dan orang-orang yang tidak bersetubuh'. Aku tidak percaya pada golongan yang kedua. Mereka itu munafik minta ampun. Sekalinya menyimpang dari jalan lurus yang mereka yakini betul, mereka akan ngoceh kesana-kemari, seperti orang ketiban bulan.

Itukah sebabnya Bung meniduri 600 perempuan sembari menunggu Fermina Daza single lagi? Banyak pembaca yang mempertanyakan kelakuan Bung yang satu ini. Mereka merasa Bung tidak benar-benar mencintai Fermina Daza.
Koreksi: 622. Ah, itu karena mereka masih menyamakan cinta dengan seks, sebuah pandangan yang maha keliru. Lagipula sebenarnya sejak awal aku tidak pernah tergoda tidur dengan perempuan lain. Aku tidak berencana melepaskan keperjakaanku, kecuali untuk cinta. Lalu kau tahu sendiri, Fermina menikah dengan Urbino, dan aku dikirim ibuku membelah lautan supaya sembuh dari patah hati. Di kapal aku sedih banget sampai rasanya kepingin mati. Malam-malam, ketika aku sedang gentayangan di dek, ada perempuan menarikku ke kamar yang gelap minta ampun, dan meniduriku. Itu pengalaman bercinta pertamaku tapi aku tidak merasa senang, sedih, ataupun sesal. Aku hanya.. lupa pada penderitaan.

Dari kejadian itu aku sadar: obsesiku yang nyaris enggak masuk akal pada Fermina bisa tersembuhkan, walau sesaat, dengan percintaan fisik.

Jangan-jangan Bung ini bucin, ya? Budak cinta.
Fermina tidak memperbudakku. Ya ampun, dia bahkan tidak pernah memintaku melakukan apa-apa.

Setelah dia kembali dari perjalanan bersama ayahnya, sebelum dia kawin sama Urbino itu, dia kan mengirim surat untukku lewat Gala Placidia. Waktu itu kami habis papasan di Misa Tengah Malam. Aku menyapa dia dengan ketakutan luar biasa, dan hasrat yang sama besarnya. Surat Fermina pendek banget, hanya dua baris, bunyinya, "Hari ini, waktu aku melihatmu, aku sadar bahwa apa yang terjadi di antara kita tidak lebih dari sekadar ilusi." Bayangkan! Dari situ aku sadar bahwa perasaan Fermina kepadaku berubah-ubah, dan mungkin akan selalu begitu.

Tapi aku enggak sedih. Ini justru suatu keuntungan bagiku. Artinya, walaupun dia kawin dengan orang lain, aku selalu punya peluang untuk merebut hatinya dan menjadikannya milikku. Dan itulah titik kebangkitanku. Aku jadi kerja gila-gilaan, aku ingin meraih kekayaan, kemapanan, dan menjadikan diriku pantas untuk Fermina. Rumah yang kusewa bersama Ibu akhirnya sanggup kami beli, lalu aku renovasi dengan satu kamar yang nanti akan menjadi kamarku dan Fermina, bila tiba waktunya.

Pokoknya segala yang kulakukan dalam hidup, semua usahaku, seluruh hidupku, adalah untuk mendapatkan dia.

Cintaku kepada Fermina bahkan bisa menyelamatkanku dari kematian. Beberapa bulan setelah Urbino mati terpeleset, aku nyaris mengalami hal yang sama: tergelincir di lantai tangga kantor. Ketika sedang melayang jatuh, aku berpikir: mana boleh dua lelaki yang mencintai seorang perempuan yang sama, mati dalam saat yang berdekatan. Lalu aku berkelit sebisa mungkin, dan selamat, cuma patah tulang.

Fermina kabarnya marah sekali waktu Bung datang ke misa pemakaman Dr. Juvenal Urbino.
Iya, tapi dia marah bukan karena aku datang, melainkan karena kata-kata yang aku ucapkan. Habis bagaimana, ya.... aku tidak bisa menahan diri ketika tahu bel yang berkumandang di Katedral hari itu adalah untuk mengumumkan kematian Urbino. Aku merasa senang, sedih, dan cemas sekaligus, karena cinta dalam hidupku kini telah menjanda.

Maksudku, pernah enggak sih kau sudah lama menunggu datangnya sebuah momen, tapi ketika momen itu beneran datang, kau malah gugup enggak karuan? Ya seperti itulah kira-kira perasaanku. Aku kayak orang gila. America Vicuna langsung kupulangkan, dan aku berdandan dengan pakaian berkabung. Sepanjang jalan aku merancang mau bilang apa ke Fermina, tapi seperti biasa aku diam tak bicara. Aku berkesempatan ngobrol dengan dia baru setelah semua orang pulang.

Memangnya Bung bilang apa waktu itu?
Sebelum aku jawab, kau harus tahu, aku tidak punya masalah pribadi dengan Urbino. Dulu waktu aku masih kerja di kantor pos, dia pernah mampir untuk ketemu bosku. Saat melihatnya, aku tidak ada perasaan dendam atau iri. Menurutku dia pria gagah, ganteng, pintar, dan baik hati. Waktu itu yang terpikir olehku hanyalah: sayang sekali orang sebaik ini harus mati supaya aku bisa bahagia dengan Fermina. Dan aku akan sabar menunggu saat itu tiba.

Sialnya, ketika Urbino beneran mati, aku malah kelepasan bilang begini, "Fermina, aku sudah menunggu kesempatan ini selama lebih dari setengah abad, untuk sekali lagi mengucap sumpah janji setia dan cinta abadiku."

Di hari pemakaman suaminya?
Di hari pemakaman suaminya.

Ck ck ck, Bung memang hobi cari mati. Lalu, setelah kejadian itu, apa yang Bung lakukan untuk bisa ketemu lagi dengan Fermina?
Mengirim surat. Banyak surat. Lalu aku datang tiap Selasa, membawa teh dan kue-kue. Kami ngobrol lama sambil menatap matahari perlahan-lahan tenggelam. Aku sabar menanti. Sudah lima puluh tahun lebih aku menunggu Fermina, apalah artinya 1-2 tahun lagi?

Anak-anak Fermina tidak suka aku berhasrat pada ibu mereka, tapi Fermina adalah seorang perempuan yang amat tegas dan berkarakter. Dia bilang begini, "dulu kami tidak punya kesempatan karena terlalu muda, sekarang mereka ingin memisahkan kami karena kami terlalu tua."

Kau tahu, Lorenzo Daza mengusirku karena tidak mau Fermina berhubungan dengan lelaki kere. Sekarang aku sudah cukup kaya, tapi anak-anak Fermina tidak mau ibunya berhubungan dengan lelaki tua--jadi bagaimana? Kapan cinta kami menang? Aku sungguh mengagumi Fermina karena kepribadiannya yang luar biasa itu. Pelan-pelan aku berhasil memenangkan hatinya lagi. Waktu aku patah tulang, dia merindukanku. Makanya setelah sembuh aku langsung mengajaknya plesir dengan kapal pesiar ini.

Kapal pesiar yang sampai sekarang masih terus berlayar karena Sang Kapten mengibarkan bendera kolera, maksud Bung?
(tersenyum). Fermina tidak mau orang-orang yang dikenalnya melihat kami berdua di atas kapal, jadi aku memerintahkan Kapten memasang bendera kolera dan memaksa semua penumpang turun. Sekarang di kapal ini kami hanya bertiga, eh berempat dengan Anda, tanpa ada kepastian di mana kami bisa mendarat.

Tapi, buatku itu semua tidak penting lagi. Hal seperti ini sudah pernah dilakukan sebelumnya demi kepentingan perang atau dagang, jadi apa salahnya dilakukan atas nama cinta? Lagipula, seperti yang pernah kukatakan ketika Lorenzo Daza mengancam akan meledakkan kepalaku dengan pistolnya: there is no greater glory than to die for love..


The Captain looked at Florentino Ariza, his invincible power, his intrepid love, and he was overwhelmed by the belated suspicion that it is life, more than death, has no limits. - Gabriel Garcia Marquez"Love in the Time of Cholera"

No comments