Negeri Opini

Di salah satu episode Tafsir Al-Mishbah yang tayang di Metro TV, Ustadz Quraish Shihab pernah menceritakan tentang ulama "zadul" alias zaman dulu. Ulama zadul (mungkin Pak Quraish merujuk pada guru-gurunya waktu kuliah di Al-Azhar, Kairo) sangat menghindari menjawab pertanyaan yang bukan bidangnya. Mereka kuatir, menjawab dengan ilmu yang terbatas akan menyesatkan yang bertanya, bukannya memberi pencerahan. Biasanya para ulama tersebut lantas merujuk sahabat ulama yang lain, yang dia tahu benar-benar ahli dalam perkara yang dimaksud. "Sungguh suatu sikap yang rendah hati," kata Pak Quraish.


Junjunganque

Potongan jawaban Pak Quraish ini menyelinap begitu saja di benakku ketika iseng-iseng memantau timeline media sosial hari ini. Di media sosial sekarang para pakar berseliweran, jempol mereka siap me-like dan men-dislike pendapat orang, lengkap dengan komentar yang cerdas dan cadas. Para pakar ini akan disahut oleh pakar yang lain, kadang sepakat kadang tidak, sehingga muncullah fenomena tubir alias ribut yang direkam sempurna oleh akun kesukaanku seperti Info Twitwor & Drama.

Aku tidak pernah keberatan dengan yang namanya 'beropini'. Punya pendapat itu hal yang wajar, justru sehat, daripada abai sama sekali terhadap persoalan hidup bermasyarakat. Hanya saja, sekarang rasanya makin banyak orang yang: 1) beropini mengenai sesuatu yang bukan bidangnya; dan 2) beropini sampai level ngotot mengenai sesuatu yang remeh-temeh dan bukan tempatnya diributkan sampai sedemikian rupa.

Kawanku penyair Adimas Imanuel pernah diajak ribut oleh seseorang ketika dia ngetwit mengenai tempat-tempat jajan yang musti dikunjungi di Solo, kota asalnya. Si penantang ini rupanya menganggap tujuan kuliner yang disebut Adimas itu terlalu mainstream, enggak enak, dan mahal. Yang membuatku enggak habis pikir, si penantang sampai bertanya dengan nada sinis kepada Adimas, "do you even live in Solo?" Errr... ini kan 'hanya' perkara jajan-jajan lucu yah, kenapa sih harus sampai adu otot? Kalau yang bersangkutan merasa lebih pakar soal kulineran dan lebih paham kota Solo, bikinlah thread sendiri, malah bagus dong para pelancong mendapat dua alternatif daftar wisata kuliner di kota itu.

Tapi enggak. Si penantang memilih mengejek dan cari ribut di akun orang.

Contoh lain, baru tadi aku membaca vlogger politik Cania Citta Irlanie ngetwit "Pedofil sih gak apa-apa. Itu natural. Selama tidak ada pelanggaran hak."

.....

Ya, aku paham sekali maksud Cania. Pedofil itu preferensi seksual; orang yang memilikinya bisa terangsang secara seksual dengan anak kecil. Kalau dia kemudian menindaklanjuti hasratnya ini dengan memperkosa atau melecehkan anak kecil, barulah dia bersalah dan disebut sebagai child molester. Di negara-negara tertentu, kata Cania, child molester dipasang tracker seumur hidup dan enggak boleh ke tempat yang ada anak-anak.

TAPI KAN.

Ya Allah, ngebayangin ada orang di luar sana yang onani (enggak menyentuh lho ya) pakai foto anakku saja rasanya pengen tak kuliti hidup-hidup. Aku tahu pendapatku ini bias karena aku seorang ibu, tapi tidakkah pendapat mengenai pedofilia sepatutnya disampaikan oleh seorang pakar ilmu kesehatan jiwa, bukan sarjana ilmu politik seperti Cania? Aku paham, yang ingin Cania tekankan di sini adalah sesuatu yang sangat dihargainya, yaitu kebebasan individu. Tapi ketika yang dia bicarakan sebegini sensitifnya (pedofilia! OMG) kenapa dia tidak mundur dan memberi ruang bagi para pakar yang bisa jadi lebih paham?

Seno Gumira Ajidarma pernah bilang padaku, bahwa dia kadang masih menjalankan praktik 'self-censorship' ketika menulis. Praktik ini tentu saja hasil dari pengalaman dia menjadi wartawan di era Orde Baru yang represif dan dikit-dikit main bredel. Barangkali itu sudah terlanjur jadi habitus baginya. Tapi kini, yang jadi pertimbangan Seno ketika menulis bukan lagi pemerintah, melainkan orang lain. "Kita enggak boleh seenaknya menulis apa saja yang kita tahu bakal menyakiti hati orang lain," kata Seno. "Hanya karena kita bisa dan boleh melakukannya."

Aku yakin, Seno enggak begitu saja sampai pada kesimpulan ini. Mungkin ada hubungannya juga dengan usia. Semakin tua, kita semakin sadar bahwa kita enggak sepandai yang kita kira, hahaha! Semakin dewasa, semakin banyak membaca, justru semakin kita sadar bahwa di dunia ini ada banyak hal yang tidak kita pahami. Dan semakin sadar pula bahwa seberapa cerdas pun kita, seberapa berpengetahuan pun kita, enggak ada secuil pun hak untuk menyakiti hati orang lain dengan pendapat kita.

But again, what do I know? 

10 comments

  1. Tulisan menarik. Beropini tak melulu harus sesuai dgn bidangnya karena seseorang bisa tahu, paham, bahkan ahli dalam banyak hal sekaligus. Beropini itu hak semua orang, tidak perlu harus jadi pakar dulu. Benar salah opini itu acuannya ilmu. Dan seseorang bisa tahu banyak ilmu jika dia hobi membaca dan belajar. Apalagi jaman sekarang semua informasi serba terbuka dan bisa diakses dari genggaman (ponsel).

    Masalah sebenarnya dari nyinyir bin tubir itu bukan pada opininya, tapi pada sikap yg bersangkutan saat berinteraksi di media sosial. Ada jenis orang2 tertentu –termasuk yg ahli di bidangnya– punya sikap yg buruk saat berinteraksi di media sosial. Mengapa mereka bisa demikian? Saya juga kurang tahu karena saya bukan ahlinya.

    Mungkin tulisan ini lebih cocok diberi judul "Negeri Nyinyir". 😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hmm, benar juga sih. Para pakar di media sosial itu kok kayaknya susah bener bilang "bisa jadi pendapat anda yang benar dan saya yang salah, coba saya baca/belajar lagi ya". Jarang banget ada yang begitu. Kebanyakan bakal mempertahankan opininya mati-matian dan tertangkap radar Info Twitwor, hahahaha...

      Delete
    2. mungkin karena mereka butuh follower mbak, makanya nggak pernah ngaku salah. contohnya kaya akun katakita kmrn, abis nyebar info hoax soal pilot, nggak ada tuh minta maaf, malah dgn entengnya ngalihin ke topik lain.

      Delete
    3. semua dilakukan demi menambah jumlah followers, ya mungkin karena penghasilan mereka berbanding lurus dengan itu. hmm, tapi kayak Cania yang saya contohkan di atas, dia itu orang pinter lho, bukan akun anonim yang cari duit dari endorsements. sampai sekarang dia gak merasa salah, atau minimal dengan kerendahan hati meminta maaf kepada para orangtua, setelah ngomong "pedofil itu gak papa krn alamiah". gimana menjelaskan perilaku seperti Cania itu? segitu free thinking-nya sampai gak peduli ucapan dia menyakiti hati orang..

      Delete
  2. Kalau ada yang bilang kejujuran itu benda yang langka zaman sekarang, kayaknya saya mau nambahin bahwa kerendahan hati itu jauh lebih langka. Dan sedikit sekali yang bisa seperti yang Mbak Andina gambarkan di kalimat ini, "Mungkin ada hubungannya juga dengan usia. Semakin tua, kita semakin sadar bahwa kita enggak sepandai yang kita kira." Yang ada, banyak tapi tidak semua, makin tua, orang makin merasa paling benar. Follow twitternya Mbak Andina, ah. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kurasa ini masalah 'jebakan' sudut pandang aja. Dengan sering-sering merasa "kurang pandai" (meskipun kita sudah tua dan berpengalaman), kita jadi terpicu untuk banyak baca dan belajar. Dan terutama, enggak gampang sengit mempertahankan pendapat karena selalu ada ruang untuk berkata "mungkin Anda benar dan saya yang salah'".

      Delete