Kiri atau Kanan?

Miawati adalah pelanggan setia KRL jurusan Tanah Abang. Perempuan berumur 40-an tahun itu biasa naik dari Stasiun Sudimara karena itu yang terdekat dari rumahnya di Jombang, Ciputat. Sebelum ada KRL, perjalanan Miawati ke Jakarta sungguh berliku. Dia harus naik angkot dulu ke Ciputat, baru naik bus jurusan Pasar Senen. Bisa juga ke Lebak Bulus dulu, lalu naik Patas.

"Pokoknya jauh," demikian Miawati menyimpulkan. "Dan lama. Apalagi kalau macet."

Dengan KRL, Miawati cukup membayar tiga ribu rupiah untuk sampai ke Tanah Abang, hanya dalam waktu kurang lebih tiga puluh menit. Satu-satunya hal yang memusingkan bagi Miawati adalah naik KRL banyak aturannya. Tidak seperti naik bus atau angkot yang tinggal lompat, naik KRL harus beli kartu, belajar cara nge-tap (tap sebelah mana, dorong pintu putar sebelah mana), isi ulang kartu, dan seterusnya.

Tapi soal-soal printilan ini mampu dipelajari Miawati dengan cepat. KRL bagi Miawati adalah pilihan transportasi terbaik, apalagi dia masih harus ke Jakarta setidaknya 3x seminggu untuk membantu menjaga keponakannya, Keysha (4 tahun) sementara ibunya, Nurlaila (32 tahun) bekerja. Nurlaila mengontrak di daerah Cideng dan bekerja sebagai buruh cuci. Pada hari-hari Miawati tidak datang, Keysha ikut ibunya ke rumah majikan.

Akhir-akhir ini ada yang baru di Stasiun Sudimara, yaitu underpass. Calon penumpang harus melewatinya untuk bisa sampai ke peron, baik yang ke Tanah Abang maupun ke Serpong/Parung Panjang/Maja. Underpass itu tidak buruk, paling-paling licin kalau hujan. Satu-satunya masalah adalah petugas memasang tanda verboden di sebelah kiri.

Miawati jadi kebingungan di mana harus berjalan. Dan Miawati tidak sendirian. Banyak calon penumpang mengeluhkan hal serupa. Pasalnya, di Indonesia kita sudah terbiasa untuk berjalan kaki di sebelah kiri.

Saya pernah nongkrong 20 menitan (iya, kadang saya se-selo itu) di bawah tangga underpass dan tersenyum-senyum melihat orang-orang jadi kikuk karena saling bertabrakan.

Beberapa penumpang kelihatan dilematis, antara ingin jadi warga negara taat aturan tapi kok ya bertentangan dengan kebiasaan. Beberapa sudah telanjur jalan, kaget melihat rambu, lalu buru-buru pindah jalur. Ada juga yang sadar kalau salah, tapi cuek. Ada juga yang dari awal tidak melihat rambu, jalan di kiri seperti biasa. Biasanya mereka ini yang buru-buru mengejar kereta.



Minggir klean!

Mari kita periksa Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan. Dalam Bab X tentang Pejalan Kaki pasal 91 ayat 1 butir a, pejalan kaki harus berjalan pada bagian jalan yang diperuntukkan bagi pejalan kaki, atau pada bagian jalan yang paling kiri apabila tidak terdapat bagian jalan yang diperuntukkan bagi pejalan kaki.

Dalam kasus underpass Stasiun Sudimara ini, seharusnya calon penumpang tetap mematuhi rambu-rambu yang notabene meminta mereka berjalan di sebelah kanan. Tapi, kata Miawati, rasanya aneh. Awalnya dia sempat mematuhi rambu dan berjalan di sebelah kanan.

"Tapi, tabrakan melulu sama yang baru dateng, Neng," keluh dia. "Kayak semut jadinya, nabrak-nabrak, enggak sampai-sampai."

Saras dan Andreas, keduanya mahasiswa jurnalistik di sebuah universitas di Serpong, juga seperti Miawati. Apalagi pada saat jam sibuk, atau saat kereta pelan-pelan memasuki area stasiun.

"Gara-gara harus lewat underpass, kita enggak bisa lagi lari-lari ngejar kereta terus main masuk aja. Ya sudah, pilih jalan tercepat saja, Kak. Kita patuh, orang lain enggak, ya jadinya lama." Mereka berebutan menjelaskan.

Perkara underpass ini ada dua mazhab. Di Stasiun Kebayoran, mazhabnya sama dengan Sudimara. Orang diminta berjalan di sebelah kanan. Dan seperti di Stasiun Sudimara, kebanyakan penumpang di Stasiun Kebayoran dengan senang hati tetap berjalan di sebelah kiri.

Di Stasiun Palmerah, petugas tetap menempelkan rambu verboden di sebelah kanan. Orang pun leluasa berjalan di sebelah kiri tanpa harus bertabrakan, kecuali pada jam berangkat dan pulang kantor. Pada jam-jam sibuk itu, orang akan menyikat ruas kanan dan kiri jalan tanpa pandang bulu. 

2 comments

  1. Padahal akan lebih mudah jika ada standard, ya?
    Misalnya yang diperbolehkan lewat ya sebelah kiri kayak di jalanan.
    Di Stasiun Duri lebih aneh, karena eskalator untuk turun dimatikan dan digunakan untuk naik.
    Syukurlah Jakartans sabarnya luar biasa....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lebih tepatnya: terbiasa menerima karena enggak ada alternatif lain yang lebih baik wkwk

      Delete