Buku




Photo by 
Stanislav Kondratiev on Unsplash


Dua minggu terakhir, saya dan Aulia sibuk pindahan rumah. Dihitung-hitung, sejak menikah pada 2012, kami sudah empat kali pindah tempat tinggal. Kami akrab betul dengan kardus-kardus, lakban hitam, spidol besar, lemari yang bisa dibongkar-pasang, kasur yang selalu paling berat, mobil bak terbuka, terpal, dan segala printilan pindahan rumah lainnya.

Portofolio pindah rumah yang cukup panjang itu menyisakan banyak cerita, dari yang menggelikan sampai yang mengenaskan. Salah satu yang paling saya ingat adalah, sewaktu mengontrak di daerah Kebon Jeruk, kami kebanjiran in absentia. Waktu itu kami pergi ke Cianjur bersama keluarga besar Mama. Karena kemalaman, kami tidak pulang ke kontrakan. Baru hendak memejamkan mata, Pak Makmur, penjaga kontrakan, mengirim sms: rumah kami kebanjiran! Air sudah masuk dan menggenangi ruang tamu. Saya langsung panik karena sebagian koleksi buku ada di rak yang kami letakkan begitu saja di lantai.

Demikianlah dalam keadaan mengantuk, saya dan Aulia membelah Ciputat-Kebon Jeruk. Begitu sampai, buru-buru saya cek buku-buku di rak paling bawah. Aduh, basah sebagian. Dengan hati hancur, saya temukan Karya Lengkap Driyarkara yang minta ampun tebalnya itu juga kena. Untunglah buku itu edisi hard cover, dan segel plastiknya belum sempat dibuka. Buku lain yang kena cukup parah adalah The Unbearable Lightness of Being karya Milan Kundera. Hampir separuhnya terendam. Saya sedih luar biasa karena buku itu salah satu kesukaan saya. Membeli lagi memang bisa, tapi buku itu pemberian seorang kawan dekat yang amat saya sayangi.

Saya dan Aulia lalu menghabiskan malam dengan mengepel lantai dan menjemur buku-buku yang kena basah di depan kipas angin. Keesokan paginya, diiringi tatapan heran para tetangga, kami kerja bakti menjemur buku-buku di atas genteng. Sinar matahari memang membuat buku-buku itu kering, tapi bagian pinggirnya pada keriting, dan bekas air banjir berwarna coklat jorok itu ada yang tidak mau hilang. The Unbearable Lightness of Being kesayangan malah lepas lemnya. Buku itu lalu saya bawa ke tempat fotokopian untuk dijilid ulang.

Nah, perbukuan rupanya kembali menjadi topik penting dalam edisi pindahan kali ini. Di rumah kami yang baru ini, ada satu ruang khusus perpustakaan merangkap kamar kerja. Aulia sudah merancangkan rak buku tiga tingkat berbentuk siku, dan dengan baik hati menyilakan saya memilih sudut yang saya sukai untuk menulis dan membaca.

Persoalannya: buku koleksi saya + buku koleksi Aulia yang dikirim dari Solo (baru sebagian) + buku Aulia selama kuliah master di Melbourne = ada banyak. Terlalu banyak. Baru ketahuan saat Minggu pagi kami memindahkan kardus-kardus dibantu dua orang tukang. Dari delapan kardus di pikap, lima kardus isinya buku doang. Saya sampai bengong. Sewaktu menyortir buku-buku itu, kami tertawa-tawa sendiri karena banyak buku yang dobel. Ternyata memang dari dulu, sejak belum saling kenal dan berpacaran, selera baca kami sudah mirip.

Bedanya, bacaan Aulia lebih 'serius' (dia memang lebih pintar daripada saya). Aulia banyak mengoleksi buku-buku sejarah, sosial politik, dan ekonomi, sedangkan saya tenggelam dalam buku-buku fiksi. Sejak SD dia sudah baca majalah Tempo, Madilog, dan Di Bawah Bendera Revolusi. Syukurlah Aulia juga menggemari puisi, meski dia menertawai saya yang, dengan penuh sayang, menata koleksi buku detektif Sherlock Holmes, trilogi Lord of the Rings, dan The Hobbit.

Sepagian itu kami habiskan dengan memilih buku mana yang akan diletakkan di rak, dan mana yang akan masuk kardus untuk dihibahkan atau mungkin dijual. Aulia meledek saya kapanpun dia menemukan buku-buku yang menurutnya sungguh tak menarik, dan kami kadang heran sendiri kok bisa mengoleksi buku Ini atau buku Anu. Romantika ini sungguh mengasyikkan, dan sebuah pertanyaan melintas di benak saya: sejak kapan saya suka buku?

Ingatan saya kembali ke masa kecil, saat ibu saya, seorang dokter spesialis anak yang brilian, punya kebiasaan membawa anak-anaknya ke toko buku tiap dua minggu sekali. Saat itu adalah saat yang membahagiakan karena saya bebas memilih buku apa saja yang saya mau. Berhubung buku anak cenderung tipis dan kebanyakan gambar, saya mulai melebarkan sayap membaca buku 'orang gede'. Di benak anak SD, buku 'orang gede' adalah buku yang isinya tulisan doang. Pada masa ini pula saya tak sengaja membaca buku Penembak Misterius karya Seno Gumira Ajidarma dan Atheis karya Achdiat K. Mihardja. Kedua buku ini nantinya akan berperan besar dalam kesukaan saya akan cerita.

Setelah saya renungkan: saya mula-mula suka membaca buku karena merindukan orangtua. Masa kecil saya banyak dihabiskan seorang diri karena Mama bekerja dan Ayah berdinas di luar pulau. Setelah dewasa saya baru bisa paham, ini sungguhlah wajar karena Mama waktu itu merintis karier sebagai dokter anak spesialis gawat darurat. Ini pekerjaan yang mulia, keren, tapi menyita waktu. Sering Mama pulang dalam kondisi kayak teler saking capeknya. Maka saya menjadikan buku penghalau rasa sepi. Dan ini manjur. Saya betah duduk berlama-lama di sofa atau kasur, membaca. Mungkin ini juga sebabnya saya lebih suka buku cerita daripada non fiksi. Saya membaca pertama-tama bukan untuk mencari tahu, tapi mencari kawan.

Buku cerita membuat saya merasa ada seseorang entah siapa yang sedang mendongeng untuk saya. Semakin besar, saya ternyata dapat kawan sungguhan dari kesukaan membaca ini. Waktu SD, saya punya geng main sepeda. Salah satu anggota geng ini anak cowok yang belum terlalu lancar membaca. Ia tadinya kakak kelas, tapi tidak naik. Saya membantunya mengerjakan tugas Bahasa Indonesia, yaitu merangkum buku dongeng yang saya sudah lupa judulnya. Kami jadi berkawan dan ia sering meminjam buku di perpustakaan berdasarkan rekomendasi saya. Saya juga berkawan dengan petugas penjaga perpustakaan yang kerap menyisihkan buku baru untuk saya baca lebih dulu, sebelum di-display di rak. Ini terjadi sampai SMA.

Masa kuliah, buku bertambah penting. Para dosen menggelontori kami dengan aneka judul buku yang aneh-aneh tapi penting. Di bangku kuliahlah buat pertama kali saya berminat pada filsafat. Saya ikuti dengan penuh keasyikan, buku-buku tentang Marx, Habermas, Sartre, Camus, Kierkegaard. Bacaan filsafat saya memang super acak karena saya hanya membaca sebatas hobi, bukan studi. Saya juga tak berani membaca sumber langsung, jadi bacaan filsafat saya hanya terbatas pada apa yang ditulis pemikir Indonesia tentang para filsuf besar itu. Tapi yang sedikit dan populer itu pun sudah membuat saya cukup gembira. Pada masa ini pula saya mulai sering menulis artikel semacam kajian media sederhana (lebih sering merupakan komentar lugu saya tentang berbagai acara televisi, film, dan iklan) di edisi Minggu koran Suara Merdeka. Selama lebih kurang empat tahun saya rutin menulis dua minggu sekali di koran tersebut, dan jadi rada beken di kalangan dosen dan rekan mahasiswa.

Buku juga menuntun saya pada cinta. Pertemuan awal dengan Aulia terjadi di sebuah rumah seni di Semarang, dalam acara diskusi buku fotografi. Buku jugalah yang menjadi topik pembicaraan kami setelah berkenalan. Buku juga membawa saya pada sejumlah persahabatan yang masih awet sampai sekarang, hubungan-hubungan romansa yang singkat namun manis-getir menyenangkan, dan yang terpenting, buku masih menjadi salah satu sahabat terbaik saya hingga kini. Ke manapun saya pergi, selalu ada satu buku menemani.

5 comments