Yang Tersisa dari Festival UWRF (selain keriaan dan foto selfie)


Photo by 
Volodymyr Hryshchenko on Unsplash


Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015 berlalu dengan menyisakan satu pertanyaan: bagaimanakah nasib kebebasan berbicara yang banyak diperbincangkan itu?

Tiga sesi diskusi terkait komunisme dan 1965 dibatalkan, juga pemutaran The Look of Silence (Senyap) karya Joshua Oppenheimer, peluncuran buku The Act of Living, serta buku Bali, 1964 to 1969.

Saya ada di sana sebagai partisipan untuk program Emerging Writers. Dan saya saksikan sendiri, isu yang dilarang dibicarakan di UWRF tidak hanya yang berkaitan dengan komunisme, Marxisme, dan peristiwa pembantaian tahun 1965, tapi juga isu-isu lain yang (menurut otoritas lokal) berpotensi mengganggu ketenteraman publik.

Panel tentang reklamasi Bali dibatalkan. Ada desas-desus panel tersebut akan tetap diadakan secara gerilya di Sanur, sayangnya saya gagal memperoleh konfirmasi kebenaran kabar tersebut. Selain itu, acara peluncuran buku kawan pengarang Eliza Vitri Handayani, juga dibatalkan.

Eliza, seorang novelis yang beberapa waktu tinggal di Norwegia, menulis buku tentang kehidupan muda-mudi masa reformasi 1998, berjudul From Now On Everything Will Be Different. Ia tak menyinggung 1965 atau komunisme dalam buku tersebut.

Selama acara berlangsung, Eliza berkeliling  mengenakan kaus bergambar sampul bukunya, dan membagikan kartu nama dengan keterangan peluncuran bukunya telah dibatalkan.

Kasus yang agak unik terjadi pada peluncuran buku The Crocodile Hole karya Saskia Wieringa, seorang dosen di Amsterdam yang juga peneliti kajian gender. Panitia UWRF membatalkan panel tersebut karena membicarakan tentang Gerwani, tapi dengan cerdik (dan berani) Yayasan Jurnal Perempuan yang menaungi penerbitan novel tersebut, memindahkan acara peluncuran ke restoran Nuri’s Nacho Mama, tak jauh dari lokasi event UWRF.

Seorang kawan memberitahu bahwa acara tersebut dimonitor intel. Seorang pria berpakaian bebas dan mengenakan topi adat, memfoto-foto semua peserta yang datang. Ketika ditanya untuk apa, pria tersebut berkata, "dokumentasi." Tapi, acara masih bisa berjalan terus karena YJP bilang ini acara makan-makan (lunching) bukannya peluncuran (launching) dan orang bisa bicara apa saja sambil makan.

Tidakkah sebaiknya panitia UWRF menggunakan siasat seperti yang dilakukan oleh YJP? Saat konferensi pers pembukaan, Ketua Program Nasional UWRF 2015 I Wayan Juniarto mengatakan, otoritas lokal tidak secara langsung melarang program-program tertentu, melainkan merujuk pada pasal-pasal tertentu dan mengimbau beberapa panel untuk dibatalkan, kalau tidak mau keseluruhan festival dibubarkan.

Ini artinya, ada banyak celah yang bisa dilakukan untuk mengusahakan beberapa panel, jika tak bisa seluruhnya, tetap berjalan. Nama panel mungkin bisa diganti. Beberapa hal mungkin harus dikompromikan. Tapi membatalkannya begitu saja, sangat sayang untuk dilakukan.

Panel tentang reklamasi Bali, misalnya, adalah hal paling sederhana yang bisa dilakukan festival ini untuk masyarakat Bali. Barangkali yang muncul tak langsung solusi taktis, tapi setidaknya ada kepedulian dan keberpihakan dari kaum terdidik ("penulis dan pembaca", kan?) untuk kepentingan masyarakat Bali, tempat acara ini diadakan. Kalau ini saja tidak bisa dilakukan, mungkin kita memang tidak perlu repot-repot membicarakan sejarah dan rekonsiliasi.

Dan jika otoritas lokal menggunakan alasan ketertiban umum untuk mengimbau panitia soal pembatalan panel, mengapa satu panel tentang Papua bisa lolos? Saya hadir di panel tersebut, dan Aprila Wayar, jurnalis dan novelis yang jadi salah satu pembicara di situ, berbicara dengan keras dan lantang mengenai ketidakadilan di tanah Papua.

Aprila berkali-kali menyatakan Papua tidak untung apa-apa dari statusnya sebagai bagian dari Indonesia. Ia juga bicara tentang perbedaan warna kulit dan ciri fisik yang menjadi salah satu dasar advokasinya. Dan tidak ada satu intel pun di panel tersebut.

Festival semacam UWRF seharusnya menjadi suatu ajang diskusi, tukar gagasan dan pengalaman. Dan sastra, serta dunia kepenulisan pada umumnya, tak boleh dan tak perlu dilepaskan dari konteks sosial dan politik yang melingkupinya. Justru dengan melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat, festival ini jadi punya makna.

Isu tentang komunisme dan 1965 memang selalu penuh kontroversi. Pemutaran film Oppenheimer juga bukan sekali-dua kali dilarang dan tetap berjalan walau dengan sembunyi-sembunyi. Banyak kampus dan komunitas di seluruh Indonesia yang berhasil melakukannya, dengan sumber daya dan dana yang pasti tidak lebih besar dari UWRF.

UWRF tahun ini menyadarkan saya bahwa yang terjadi bukan hanya penyensoran dalam rangka penggiringan opini publik tentang komunisme dan 1965. Bukan lagi perkara mengorek luka lama atau rekonstruksi sejarah.

Yang sedang terjadi adalah lebih dari itu: pembungkaman. Pelarangan hak kita sebagai warga negara untuk mendiskusikan apa yang penting bagi kita. Ketika memilih Jokowi sebagai presiden, saya tak pernah membayangkan masyarakat di suatu daerah akan dilarang membicarakan masalah mereka sendiri di sebuah festival yang digelar di tanah mereka sendiri.

Lebih meresahkan lagi adalah menebak ke arah mana kita sedang bergerak sebagai bangsa. ***


Versi berbahasa Inggris dari tulisan ini telah dimuat di harian The Jakarta Post, edisi Rabu, 11 November 2015. Untuk membacanya, silakan klik tautan berikut.

No comments