Aneh-Aneh Anonim


Photo by Clint Patterson on Unsplash



Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra,  pernah meminta pemerintah mengatur akun-akun anonim (barangkali lebih tepat disebut pseudonim) yang berseliweran di media sosial. Saat itu bulan April, dan Fadli sedang pusing menghadapi serangan kelompok yang ia sebut pasukan nasi bungkus alias panasbung, terhadap figur Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Fadli merasa serangan fitnah pada Prabowo terlalu masif, sistematis, dan terstruktur, padahal mantan jenderal itu sedang sengit bertarung dalam pilpres 2014 melawan Joko Widodo alias Jokowi.

Kata Fadli, sudah tiba masanya akun-akun palsu yang kerjanya menebar fitnah, diberantas. Bahwa akun-akun itu bisa tumbuh subur di Indonesia tanpa ada yang mengatur, adalah gambaran betapa liberalnya kita, bahkan bila dibandingkan dengan Amerika Serikat sekalipun. Nah, tertangkapnya Edi Saputra, Hari Koeshardjono dan Raden Nuh dari @TM2000Back hari-hari ini membuat saya teringat lagi pada imbauan Fadli.

Peneliti Oxford University, Nayef Al-Rodhan, pernah membuat semacam diagram oktagon berisikan rekomendasi agar para bloggers bisa terlibat dalam diskursus politik partisipatif di negaranya. Salah satunya, Al-Rodhan menganjurkan agar para bloggers didorong untuk tak lagi anonim, bahkan jika mungkin dilarang anonim sama sekali agar mereka bertanggung jawab terhadap apa yang mereka tulis (anonimity should be discouraged and potentially eliminated so that bloggers are responsible for what they write).

Rekomendasi ini sangat sulit diterapkan mengingat anonimitas adalah perkara inheren dalam dunia internet. Melarangnya berarti mencabut internet dari sifat alamiahnya. Justru, kelebihan internet dari media arus utama (mainstream) yang membuatnya bisa mengambil posisi alternatif, dimungkinkan oleh anonimitas ini. Ada kalanya, posisi alternatif yang dimaksud adalah menjadi watchdog watcher-nya media arus utama. Salah satu yang paling terkenal adalah kasus plagiarisme dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Anggito Abimanyu.

Harian Kompas memuat artikel opini Anggito yang berjudul “Gagasan Asuransi Bencana” pada edisi 10 Februari 2014. Lima hari kemudian, seorang Kompasianer dengan akun “Penulis UGM” mengunggah posting yang berjudul “Anggito Abimanyu Menjiplak Artikel Orang? (OPINI-nya di KOMPAS 10 Feb 2014)”. “Penulis UGM” menunjukkan, dalam artikel tersebut Anggito menjiplak tulisan Hotbonar Sinaga. Lucunya, artikel Hotbonar yang ditulis bersama rekannya Munawar Kasan itu, juga pernah dimuat di harian Kompas pada 21 Juli 2006 dengan judul “Menggagas Asuransi Bencana”.

Sedikitnya tiga pihak jadi malu luar biasa: UGM sebagai institusi pendidikan, Anggito sebagai akademisi yang mustinya sudah etis sejak dalam pikiran, dan tentu saja harian Kompas sebagai pembawa amanat hati nurani rakyat. Bahwa kemudian harian Kompas dalam beritanya tidak menyebut-nyebut tertangkapnya kasus plagiarisme Anggito berawal dari Kompasiana—blog warga yang notabene berada di bawah Kompas sendiri—tentu hanyalah perkara menyelamatkan muka :)

Kasus Anggito membuktikan bahwa akun anonim tidak selalu berisi fitnah dan mudarat. Muka dan identitas boleh jadi tak tampak, tapi apa yang disampaikan akurat. Selain itu, bentuk pelarangan akun anonim juga sangat rentan dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Pemerintahan yang alergi dengan anonimitas adalah pemerintahan yang sudah pasti bersifat rezim. Akan sangat mudah mengintimidasi dan/atau menghukum siapapun yang  isi tulisannya tidak “kondusif”.

Anonim atau tidak biarkan menjadi pilihan netizen. Jika terbukti melanggar hukum—misalnya melakukan pemerasan—barulah diproses sesuai undang-undang. Pada akhirnya, para pemilik akun akan dinilai berdasarkan kekuatan analisis dan akurasi bukti-bukti yang ia sertakan dalam tulisannya. Seseorang yang menggunakan nama asli, tapi tulisannya tidak akurat, tidak aktual, dan tidak kredibel, akan tetap ditinggalkan oleh pembaca. Bukankah kolumnis sekelas Fareed Zakaria pun bisa hancur kredibilitasnya gara-gara ketahuan menjiplak tulisan orang?

No comments