Semusim di Jumpa Lagi

Sudah beberapa lama berselang sejak aku terakhir kali menghadiri diskusi novel pertamaku, Semusim dan Semusim LagiDan untunglah demikian karena aku jadi lebih punya jarak terhadap karyaku itu. Kalau kubaca lagi sekarang, ada beberapa bagian yang membuatku mengernyitkan dahi dan berbisik "seharusnya aku enggak tulis begitu". Di beberapa bagian aku senyum-senyum sendiri karena tahu seperti apa perasaanku saat menuliskannya. Sebagian dari novel itu adalah surat cinta. Sebagian lagi ialah ekspresi rasa sedih yang tak tersampaikan, entah kepada siapa. Sisanya lanturan yang menyenangkan, setidaknya untukku sendiri sebagai penulisnya. Secara keseluruhan kunilai karyaku itu tak buruk-buruk amat (untuk ukuran novel debutan) meski tak sempurna.

Selasa (30 September, tanggal keramat!) lalu aku menghadiri diskusi klab buku yang didirikan oleh A.S. Laksana, Yusi Avianto Pareanom, Linda Christanty, Eka Kurniawan, dan Zen Hae. Setiap bulan mereka kumpul untuk membahas karya pengarang Indonesia. Bulan ini giliranku. Menurut Bang Zen, nama sementara klab buku mereka adalah Sarekat Pembenci Karya Buruk karena mereka hanya akan membahas karya-karya yang layak (berarti aku boleh GR sedikit). Kami bertemu di Restoran Jumpa Lagi yang terletak di lantai basement The City Tower, MH Thamrin (depan Menara BCA). Pembahas bukuku adalah Setyo Saputro, seorang mantan wartawan Tempo TV yang saat ini menggeluti kesenian. Selain para sastrawan yang sudah aku sebutkan di atas (minus Bang Eka yang lagi tepar) hadir juga teman-teman dan para pembaca yang kira-kira berjumlah 20 orang. Cukup ramai.

(Berlagak) serius

Setyo mengungkapkan telaahnya terhadap bukuku dengan baik meski aku agak sebal karena dalam tulisannya itu dia menamai tokoh 'aku' dengan Nurul. Alasannya: si tokoh mengingatkan Setyo pada temannya yang bernama serupa. Wah. Setyo membukakan mataku terhadap beberapa kekurangan (mostly details) yang ada. Aku tak selalu sepakat dengan apa yang dia tulis, seperti misalnya mengapa si tokoh 'aku' mempertanyakan asal usul segala hal tapi tidak mempertanyakan siapa ayahnya. Aku bilang, begitulah yang dinamakan absurditas. Tapi yang lain-lain bisa kuterima dengan baik. Yang lebih seru adalah sesi diskusi. Aku seperti dapat fresh eyes gratisan.

Dari Mbak Linda:
1. Konsistensi karakter tokoh belum kuat. Mengapa dia skizofrenik, misalnya. Tidak dijelaskan latar belakang penyakitnya padahal itu penting untuk jalan cerita. Si tokoh 'aku' juga bisa tahu-tahu menyebut Humprey Boghart padahal pada bab sebelumnya ia jelas lahir tahun 90-an karena menonton MacGyver dan acara lukis Pak Tino Sidin. Sebaiknya dijelaskan apakah ia suka film lama atau aktor lama. Pengarang tidak boleh asal comot benda-benda yang disukai lalu disematkan pada tokoh cerita.

2. Pengarang sudah cukup berani main-main dengan memunculkan tokoh Sobron, tapi justru kurang liar saat mendeskripsikan keanehan tokoh utama. Mbak Linda pernah punya teman yang menderita skizofrenia. Teman ini bisa tahu-tahu menjadi Ibu Kartini. Lalu memukul orang. Lalu tidur dan ketika bangun sudah lupa semuanya. Tahu-tahu menghilang tiga hari. Dan seterusnya.

Dari Mas Sulak:
3. Terhadap pernyataanku yang tidak berniat secara khusus menceritakan tentang orang skizofrenik, Mas Sulak mempertanyakan, kalau demikian, kenapa harus ada adegan di Rumah Sakit Jiwa? Ia sebal karena adegan ini adalah 'vonis' untuk tokoh utama. Seharusnya, tanpa adegan ini, pembaca masih bisa menebak-nebak dengan asyik apakah tokoh utama itu gila atau benar-benar hidup dalam dunia di mana ikan yang bisa bicara itu ada. Pengarangnya sudah berani bermain, tapi kurang licik.

4. Motif belum tampak jelas dalam cerita ini. Perlu diingat: motif itu bukan (hanya) sebab-akibat yang bisa menjelaskan jalan cerita, tapi juga kondisi mental dan/atau fisik yang dialami berulang-ulang oleh tokoh. Misalnya, dalam cerita "Tell-Tale Heart" karya Edgar Allan Poe, tokoh utama tidak membunuh si orang tua yang tinggal bersamanya karena suatu sebab khusus, melainkan hanya karena pandangan mata si orang tua membuat dia merasa takut dan terintimidasi. Jadi ini pun motif.

Dari Bang Zen:
5. Tokoh 'aku' terasa sangat personal. Ketika membaca, orang akan mengasosiasikan diri tokoh utama ke pengarangnya. Karakter fiksional yang baik adalah karakter yang bisa berdiri sendiri tanpa pembaca mengingat pengarang. Dalam buku ini, pengarang belum merancang karakternya dengan baik, dan karena itu belum sukses membuatnya 'mandiri'.

Dari Mas Yusi:
6. Orang gila adalah tokoh favorit yang sudah begitu sering muncul dalam cerita. Sebaiknya, pengarang bekerja seperti tukang foto kontemporer: menghindari klise.

Saat ini aku tengah menggarap novel kedua dan semua poin itu kuingat baik-baik. Di luar itu ada beberapa bahasan lagi seperti misalnya sejauh mana karya sastra bisa mempengaruhi karya sastra yang lain. Juga tentang mengapa pengarang-pengarang dari generasiku cenderung menulis tentang pikiran dan keadaan mereka sendiri, alih-alih tentang rakyat dan perjuangan ideologis (tentang ini mungkin akan kutulis di bagian lain). Malam itu aku senang karena mendapat banyak saran dan berkumpul kembali dengan beberapa kawan yang sudah lama tidak ketemu.  Hanya aku agak kecewa karena gagal mendapat tanda-tangan Eka Kurniawan di buku kumpulan cerpen dia yang jadi favorit aku: Corat-Coret di Toilet. Sebenarnya aku sekalian mau pamer punya edisi cetakan pertama yang super-jadul.

2 comments

  1. Semakin tergiur untuk membaca bukunya. Sayang belum bisa ketemu. Dan sungguh beruntung bisa punya kurator yang friendly, jujur tapi tetap tajam setajam silet seperti itu.

    Good luck untuk buku kedua.

    Anon1

    ReplyDelete
  2. @Anon1: Memang ada persoalan di distribusi. Tapi bisa dibeli secara online di pengenbuku.net atau grazera.com

    ReplyDelete