Pungli di Manggarai



Ini Pak Yanto (bukan nama sebenarnya), pengendara bajaj di Stasiun Manggarai. Beberapa waktu lalu, Pak Yanto mengantar saya ke kampus Universitas Indonesia di Salemba. Begitu saya menaiki bajaj biru itu, seorang bocah belasan tahun dengan dandanan agak funky, mendekati Pak Yanto dan berkata, "Duitnya belum, beh."

Pak Yanto lalu merogoh saku dan memberinya uang seribu rupiah. Saya tertarik.

"Itu duit apa, Pak? Parkir?"
"Semacam itulah, Mbak. Tapi sih, enggak diparkirin juga sama mereka."
"Maksudnya?"
"Ya, tiap kali kami balik habis ngantar penumpang, ditarik uang seribu terus."
"Waduh, lumayan juga ya Pak. Satu hari bisa berapa kali?"
"Rata-rata sepuluh kali, Mbak. Tiap hari, keluar uang sepuluh ribu, buat mereka aja."
"Satu bulan kira-kira tiga ratus ribu dong, Pak."
"Iya, itu juga bisa lebih soalnya enggak semua mau dikasih seribu. Ada juga yang dua ribu. Ya, kita kasih aja daripada berantem."
"Itu anak-anak kampung sini ya, Pak?"
"Iya, Mbak. Sudah besar, enggak pergi ke sekolah, enggak ada kerjaan. Bisanya cuma malak. Kadang ada yang siang-siang sudah mabuk, minta gorengan atau aqua gratis. Ya, dikasih. Enggak ada yang mau ribut."

Saya membayangkan apa yang bisa dilakukan seorang pengendara bajaj dengan uang tiga ratus ribu rupiah dalam satu bulan. Di jalanan, dua pasang capres-cawapres tersenyum pada kami dari spanduk yang berkibar-kibar, menjanjikan Indonesia yang lebih baik dan sejahtera, adil merata, bebas kemiskinan, bebas kekerasan...

1 comment