Milik

Oleh: Gde Aryantha Soetama



MEMASUKI tahun keempat pacaran kami penuh dengan rencana. Mulai dari yang sifatnya pribadi sampai dengan kemungkinan melibatkan orang lain. Kami nanti mesti menempati rumah sendiri. Berarti mulai sekarang harus hidup hemat. Tak apalah rumah murah yang mungil, dibeli dengan mencicil.

Kami juga ingin punya simpanan cukup di akhir tahun, sehingga ada beaya buat ke luar negeri. Ke Singapura yang dekat atau Perth di Australia Barat pun jadi. Yang penting kami bebas dari kejemuan rutin, dan ingin selalu merasa segar kembali. Rencana klise pun kambuh: jumlah anak yang kami kehendaki, memberi nama manis untuk mereka, mengarahkan perkembangannya, melimpahkan kebebasan dan berapa kali sebulan sebaiknya mereka mengunjungi nenek.

Akibat rencana-rencana itulah kami mencari alternatif. Lalu kemungkinan-kemungkinan pun kami pelajari, mulai dari jika kami menikah, istri hamil dan melahirkan.

"Kita harus memikirkan mulai sekarang bagaimana kalau aku ngidam," kata Sisi sepulang kami menonton "Lady Chatterley's Lover".
"Engkau suka semaput kalau nanti pas ngidam?"
"Wah, bisa lebih gawat. Sejarah keluarga kami selalu unik kalau para wanitanya ngidam. Ibuku ngidam enting-enting gepuk makanan khas Salatiga ketika mengandung mbak Kris. Ngidam daging kodok waktu mengandung mas Soni, ngidam daging burung elang waktu mengandung mas Drajat."
"Ngidam apa ibu ketika mengandung kau?"
"Ngidam buah jambu air dari Taiwan. Dan aku yakin itu akan terulang. Buktinya mbak Kris juga ngidam enting-enting gepuk. Juga mbak Pipi, ngidam daging kelinci, sama persis dengan keinginan ibu ketika mbak Pipi dalam kandungan."

Menurut Sisi kami mesti belajar menghargai tradisi orang tua. Makanya kami harus mempersiapkan jambu air Taiwan nanti.

"Tapi mencari jambu air Taiwan sungguh sulit setengah mati. Baiknya kita siapkan mulai sekarang."

Kami datang ke Dinas Pertanian, memesan bibit jambu air Taiwan. Persoalannya sekarang, dimana aku bisa menanamnya? Rumah mungil, halaman kecil, itu baru rencana, sedangkan aku mesti menanam di tanah sendiri, sehingga jika berbuah nanti gampang memetiknya, penawar ngidamnya Sisi. Kuputuskan saja menanamnya di rumah, kendati itu sebenarnya milik ayah. Tapi tak ada salahnya aku mengajak bapak turut memikirkan recana kami. Sisi sering datang ke rumah sore, menyiram sepokok jambu air itu. Barangkali karena ia yang merasa paling berkepentingan, perawatannya menjadi tanggung jawabnya.

"Kita atur persis aku ngidam jambu ini pas berbuah. Aku bisa makan lahap sesukaku," kata Sisi.

Tapi itu baru rencana. Slip sedikit, atau nasib sedang surut, bisa saja tumbang terbanting. Atau porak poranda, ambruk berkeping dan gepeng.

Dan benar demikian.

Aku gagal membuat Sisi ngidam dan jambu itu agar menjadi penawarnya.

"Ini bukan kesalahan kita," kata Bram calon suami Sisi padaku. "Kami sudah mencoba menolaknya, namun mereka tetap mencoba tidak menyerah, terus mendesak. Sayangnya, kami terlanjur untuk sangat menghargai orang tua yang dibentuk oleh leluhur kami. Mas sendiri saya yakin memahami bahwa kita tumbuh terlampau menghormati mereka. Tidak hanya kebenarannya, tapi juga menghargai kesalahan mereka."

Sisi juga hadir ketika itu. Aku mesti menerima mereka dengan perasaan lega, karena mereka datang baik-baik, siap menunggu keputusanku dalam bentuk apa pun.

"Orang tua kami terlanjur merasa terikat satu sama lain," sambung Bram. "Merasa saling memerlukan, saling bergantungan. Sehingga mereka menginginkan itu semua berkelanjutan. Dan kami, anak mereka, adalah harapannya."

Aku diam mendengar penjelasan Bram. Juga Sisi tak bergeming. Lelaki hitam berotot kekar itu menjadi pembicara tunggal. Tanpa ada yang membenarkan atau menyalahkan. Keterangan-keterangannya yang polos tak dikarang-karang menyita seluruh pengertianku. Untuk kemudian menerima segalanya sebagai kodrat, bukan bencana.

"Masalahnya cuma kita. Saya, Sisi dan mas. Jika mas rela kami akan melangkah lebih lanjut, padahal saya dan Sisi belum punya rencana kongkrit apa-apa. Kami masih meraba-raba, tapi karena demi orang tua kami mencobanya. Dan kami mengharapkan keterlibatan mas secara bersungguh-sungguh membimbing kami."

Aku begitu salut pada Bram. Menghargai keberaniannya untuk menyampaikan niat dengan begitu tenang tapi menghanyutkan perasaan. Ia tidak merenggut Sisi, namun menuntutku agar menjadi lelaki yang ikhlas di saat kehilangan. Ia tak menolak kalau aku tak setuju dengan rencananya, kalau aku tetap ingin memiliki Sisi. Ia seorang anak yang ingin menunjukkan kepada keluarganya, bahwa ia telah berusaha dengan caranya sendiri tanpa menyakiti orang lain.

Maka kalau aku masih terus ingin memiliki Sisi, Bram rela.

"Demi sejarah hubungan orang tua kami, inilah jalan yang bisa kami tempuh," katanya. "Kalau mas menganggap jalan itu khilaf maafkan saya. Baik, saya akan mundur. Tapi jika mas menilainya patut, relakan Sisi dan restui kami."

Aku tak merasa ada nada mengancam dalam seluruh pembicaraan Bram.

Aku menatap Sisi dalam-dalam. Ia menunduk menatap sudut meja. Pasti ia merasa serba bersalah, merasa menyerah saja. Tapi penjelasan Bram telah membuat aku luluh. Sehingga aku tak merasa Sisi direbut, tapi merasa menyerahkannya demi kebahagiaan manusia yang lebih banyak. Aku ikhlas. Itu mungkin yang menyebabkan aku merasa terhormat melepas Sisi.

Walau kedengarannya manis, aku ingin menunjukkan sebagai orang yang sabar. Lebih mengutamakan pemilikan bersama dari pada untuk pribadi, sepanjang tidak mengorbankan harga diri. Tak apalah ke Singapura atau Perth seorang diri. Tak mengapa menempati rumah mungil dengan halaman kecil tanpa Sisi. Toh aku sudah merasa mereka cukup menghargai perasaan-perasaanku.

Entah kalimat apa yang aku pergunakan buat menyetujui rencana Bram, merestui perkawinan mereka. Namun sungguh aku merasa ksatria ketika berhasil mengantar mereka pulang sampai di pintu pagar, melewati jambu air yang sebentar lagi berbunga, yang rajin disirami Sisi.

Justru jambu air Taiwan itu yang masih mengikat Sisi pada tempat tinggalku. Sisi masih menghargai rencananya, rencana kami. Itu dibuktikannya sendiri, ketika hampir pukul sembilan malam.

Bulan Oktober waktu itu. Sudah dua tahun Sisi menikah. Tapi Bram masih sering ke luar daerah. Ia orang penting di sebuah proyek bangunan. Kudengar begitu dari seorang tetangga Sisi.

Udara mulai dingin. Seseorang mengetuk pintu depan, lalu suara memanggil-manggil namaku. Seperti air bah dari gunung, Sisi berdiri tiba-tiba di depan pintu. Matanya masih bulat penuh. Mata yang sama persis seperti ketika kami pacaran dulu dan yang kusaksikan di malam pengantinnya. Ia cantik betul malam itu. Rambutnya dijalin satu, dan menjatuhkannya di atas dadanya yang subur.

"Sendiri?'
Sisi mengangguk.
"Bram ke Bandung kemarin."

Kulihat ia tak banyak berubah. Matanya masih sering berkerjap-kerjap kalau sedang memikirkan sesuatu untuk disampaikan.

"Jambumu  sudah berbuah?"
Aku terkesima.
"Jambuku? Itu jambu kita, bukan?"
"Ya siapalah yang punya, aku ingin memintanya."
"Kau tak perlu meminta. Kau bisa dan berhak memetiknya sesukamu."

Ia menunduk, melengos, memandang perutnya sendiri. Ah, perut itu membesar. Sayang, janin yang dikandungnya bukan hasil rencana kami.

"Kau ngidam?"
Sisi tersenyum. Kebiasaannya kambuh: menggaet tanganku, menyeret ke belakang. Aku tak keberatan memanjat jambu itu, memetik buahnya banyak-banyak. Demi Sisi.

Di bawah Sisi memakan jambu itu dengan lahap. Sungguh tak melintas bayangan Bram ketika itu. Yang ada cuma Sisi, yang pernah menghadirkan segerobak rencana.
"Cukup! Cukup!" teriaknya manja.

Aku sungguh senang ketika turun. Seperti seorang anak kecil yang diijinkan memanjat lalu ditunggu ibu di bawah.
"Lain kali kalau masih ngidam aku datang lagi ke mari."
"Boleh. Toh jambu ini milikmu juga."

Sisi menatap ke luar jendela, lalu mengunyah jambu kembali. Pelan-pelan.

Ketika ia berangkat kembali pulang aku merasa masih memilikinya. Satu bentuk kepunyaan di mana cuma aku yang mampu menikmati dan menghayatinya. Karena cara memiki Sisi dalam keadaan seperti itu hanya aku yang tahu. Tak peduli orang lain. Tak juga Bram.

Waktu mengunyah jambu di kamar tidur sambil berbaring, aku merasa seperti melumat bibir Sisi. Senang juga kalau mampu merasakan barang yang tak mungkin dijangkau bisa diganti dengan benda punya sendiri, untuk membangkitkan rasa memiliki.

Denpasar, November 1982

Dari buku kumpulan cerpen Tak Jadi Mati oleh Gde Aryantha Soetama (Flores: Penerbit Nusa Indah, 1984). Hak cipta pada pengarang. Baca wawancara dengan Gde Aryantha Soetama di sini dan cerpen-cerpen lainnya di sini.

No comments