Mochtar Lubis

Pada mulanya saya mengenal Mochtar Lubis sebagai seorang wartawan. Selain Tintin, dialah orang bertanggung jawab memupuk hasrat saya pada dunia jurnalistik. Segalanya dimulai ketika HMJ Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro menggelar acara bedah buku "Menuju Jurnalisme Berkualitas" -- kumpulan karya finalis & pemenang Mochtar Lubis Award 2008-- pada 6 Mei 2009. Saya menjadi pembicara dan membuat paper yang cukup bergelora; kalau dibaca sekarang mengundang senyum :)

FYI Mochtar Lubis adalah tokoh pers yang sangat kritis dan idealis. Dia menjadi reporter kantor berita Antara selepas Indonesia merdeka, lalu mendirikan harian Indonesia Raya, Yayasan Obor Indonesia, dan majalah Horison. Karena tulisannya yang blak-blakan, Mochtar sering keluar-masuk penjara. Kritiknya terhadap Presiden Soekarno membuat sang Presiden gemes dan memasukkannya ke dalam penjara selama sembilan tahun. Lepas dari Soekarno, Mochtar dipenjara lagi lantaran keberaniannya membuka kasus korupsi di Pertamina pada 1974-1975.

Mochtar membuat saya merasa, sebaik-baik pekerjaan adalah menjadi wartawan. Di kepala saya terbayang kerja jurnalistik lapangan yang seru, di mana "tuhan" saya adalah fakta dan tiada lain selain fakta, yang harus saya catat dan terbitkan demi pencerahan masyarakat. Garis nasib kemudian membawa saya pada lapangan jurnalistik yang lain, yang lebih "wangi", yang membuat saya jarang bersentuhan dengan mereka yang menderita. Logika bisnis ala konglomerasi media juga mengajari saya bahwa idealisme jurnalistik "keluar-masuk penjara" ala Mochtar Lubis bukan lagi yang utama. Apa boleh buat, zaman memang sudah berubah. Karakter industri media juga ikut berubah. Tapi kekaguman saya pada sosok Mochtar Lubis tidak pernah berubah.



Saya berkelana dari penjara ke penjara. Kamu dari preskon ke preskon. Cih.

Selepas acara diskusi tersebut, saya melanjutkan riset tentang Mochtar Lubis demi menuntaskan rasa penasaran. O, ternyata dia menulis novel, cerita pendek, juga dongeng anak-anak. Hmm. Saya lalu pergi ke toko buku, membeli "Senja di Jakarta" dan menamatkannya dalam semalam. Saya mengalami momen langka saat kita selesai membaca buku dan cuma bisa bengong sambil berdesis, "Njrit..."

Detik itu juga, saya tahu saya telah jatuh cinta! Berturut-turut saya membaca "Harimau! Harimau!" dan "Jalan Tak Ada Ujung". Dua novel ini pasti sudah familiar di telinga kita, minimal "Harimau! Harimau!" selalu ada di teks pelajaran bahasa Indonesia.. :P

"Jalan Tak Ada Ujung" bercerita tentang pergolakan batin manusia-manusia Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan. Tokoh yang paling saya ingat adalah si protagonis Guru Isa yang impoten, cinta damai, dan takut pada hampir segala hal. Sedangkan "Senja di Jakarta" adalah novel Indonesia pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk dibaca kalangan internasional -- need I say more? :)

Nah, baru-baru ini saya membeli buku kumpulan cerita Mochtar Lubis berjudul "Perempuan", dan sekali lagi saya dibuat terkagum-kagum. Bukan pada teknik penulisan yang fancy atau gaya bertutur yang nyeleneh, tapi pada apa yang dia sampaikan. Mungkin ada hubungannya dengan menjadi wartawan, tapi cerita Mochtar begitu kaya dengan perkara-perkara kemanusiaan. Kita enggak diajak muter-muter dengan narasi yang canggih, tapi langsung menukik pada soal hidup.


Kalau nemu yang beginian, langsung bawa ke kasir, ya.

Dari judulnya aja deh. Saya membayangkan cerpen yang judulnya "Perempuan" pasti isinya mellow, paling-paling tentang laki-laki yang dibuat patah hati, atau justru tentang sosok perempuan yang menderita tapi tetap tegar. Dan ternyata saya salah. Cerita ini berkisah tentang dua-duanya, tapi dari perspektif yang sangat lain, yang membuat kita terkesima pada kepiawaian pengarangnya memotret persoalan kejiwaan manusia.

Alkisah ada seorang Jepang bernama Maeda (Laksamana Maeda?), teman lama si narator "aku". Maeda sedang bersusah hati karena istrinya, Aisah, tidak betah di Jepang. Menurut Maeda, perempuan Indonesia itu mencintai dirinya tapi tidak suka Negeri Sakura. Maeda meminta tokoh "aku" untuk bicara pada istrinya. Tokoh "aku" menuruti permintaan ini. Ia lalu dibuat kaget dengan permasalahan rumah tangga kawannya itu, yang ternyata lebih rumit dari penuturan si kawan sendiri.

Rasa cinta Aisah kepada suami Jepangnya sudah habis. Maeda ini orang Jepang yang sebenarnya malu dengan ke-Jepang-annya (terkait dengan perilaku tentara Jepang saat itu) tapi tidak bisa pula menjadi orang Indonesia. Dia asing terhadap keduanya. Akibatnya, dia lalu menjadikan Aisah sebagai properti pribadinya, lambang kehormatan dan seluruh hidupnya. Maeda bilang Aisah boleh melakukan apa saja asal jangan meninggalkan Jepang dan dia. Sikap Maeda bikin Aisah jengah. Dan si tokoh "aku", terdesak oleh permohonan bantuan Maeda yang menurut bro-code wajib dipenuhi, membujuk Aisah untuk berbaikan dengan Maeda. Berhasilkah dia?

Mochtar menulis dengan riang. Bukan berarti tulisannya enteng, tapi dia menulis tanpa pretensi. Setiap kalimatnya tidak ada yang dibuat-buat supaya tampak keren. Saya mendapat kesan bahwa dia menulis karena memang ingin menyampaikan sesuatu, bukan karena agar memperoleh predikat apapun. Sembilan belas cerita dalam kumpulan "Perempuan" ini nafasnya sama, yaitu bercerita tentang individu-individu dengan segenap persoalannya, yang kalau ditarik lebih lanjut sangat sensitif terhadap isu sosial.

Realisme macam ini mungkin umum pada zaman kepengarangan Mochtar. Pinjam istilah Foucault, barangkali itu episteme masa tersebut. Tapi saya sama sekali tidak merasa "berat" dengan realismenya. Saya tidak merasa "dipaksa" tahu isu-isu sosial dan peristiwa sejarah yang terjadi pada masa itu. Saya hanya merasa diajak mengintip kehidupan orang per orang, manusia-manusia "nyata" yang sehari-hari bergelut dengan dunia dengan aneka perkaranya.

Membaca "Perempuan" membuat saya berkaca. Sebagai pengarang, saya merasa sangat sedikit yang saya pahami tentang kehidupan. Saya ingin mempelajarinya. Sebab ternyata itulah yang penting -- bukan hanya narasi tampan atau gaya bertutur nyentrik. Seorang pengarang, begitu Mochtar Lubis mengajari saya lewat tulisan-tulisannya, berupaya mengerti diri sendiri untuk memahami manusia dan kemanusiaan.

5 comments

  1. Tulisan yang bagus, ingin sekali membaca novel Mochtar Lubis.

    ReplyDelete
  2. Sangat disarankan. Manusia satu ini memang jenius.

    ReplyDelete
  3. Saya pernah baca novelnya yang Jalan Tak Ada Ujung. Alur dan gaya bahasa bagus, mengalir :)

    ReplyDelete
  4. Ya, itu salah satu karya blio yang terbaik.

    ReplyDelete
  5. Cerpen kuli kontrak nya juga bagus.

    ReplyDelete