Rusuh di Salihara

Begitu sering melihat aksi kekerasan Front Pembela Islam (FPI) di televisi, baru Jumat (4/5) malam lalu, saya mengalaminya sendiri. Komunitas Salihara menyelenggarakan peluncuran sekaligus diskusi buku terbaru Irshad Manji, aktivis pluralis asal Kanada, yang berjudul "Allah, Liberty, and Love". Acara dimulai sekitar pukul 19.00 WIB. Tapi, tak sampai sepuluh menit Irshad bicara, seorang polisi menginterupsi.


Irshad sedang memegang microphone ketika ia melihat seorang lelaki berambut cepak, berbadan gempal, mengenakan jaket cokelat muda, tak henti-hentinya menelepon. Kata Irshad, "Saya akan meneruskan diskusi ini jika Bapak yang di belakang sana mau berhenti bicara lewat telpon genggamnya." Ulil Abshar, yang duduk beberapa bangku di sebelah kiri saya, berseru baik-baik, memperingatkan agar lelaki itu berhenti menelepon. Tapi pria itu cuek. Ia malah membelakangi kami dan terus sibuk menelepon.

Suami saya berbisik, "Itu polisi."

Saya tercekat. Suami saya berbisik lagi, bahwa di antara kami ada penyusup. Ia menunjuk beberapa orang berjanggut, berpakaian bebas mirip mahasiswa, dan terlihat tegang di kursi masing-masing. Perasaan cemas dan marah bercampur jadi satu. Kami hanya mau berdiskusi, kenapa harus diintimidasi seperti ini?

Polisi berjaket coklat tiba-tiba menyelonong ke tengah ruangan. Ia memperkenalkan diri sebagai 'Kapolsek Pasar Minggu, Adri Desas Furyanto, Sarjana Hukum', sembari menyerukan bahwa acara harus dibubarkan. Kami kompak berteriak WUUUUUUU!!!, tapi Kapolsek berkeras. Beberapa peserta mulai berteriak. Goenawan Mohamad tampil ke depan, meminta semua pihak tenang.

Kapolsek lalu minta waktu membacakan imbauan. Intinya, acara malam itu dianggap melanggar tiga hal. Pertama, tidak ada izin dari kepolisian untuk Irshad sebagai pembicara, sebab dia orang asing. Kedua, ada keberatan dari RT/RW setempat atas terselenggaranya acara (bukti berupa SMS, tapi tidak ditunjukkan). Ketiga, ada keberatan dari ormas-ormas (mengaku) Islam seperti FPI.


 Inilah Kapolsek Pasar Minggu, Adri Desas Furyanto, Sarjana Hukum.

Pak Kapolsek Sarjana Hukum sempat terlibat adu mulut dengan Guntur Romli, yang merasa alasan-alasan tersebut terlalu dibuat-buat. Bukankah selama ini Komunitas Salihara juga rutin menggelar berbagai acara? Dan bukankah waktu Thariq Ali, yang juga orang asing, memberi ceramah di Salihara, tidak perlu ada izin dari polisi segala? Dan apakah jika FPI keberatan, maka acara harus dibubarkan? Memang FPI itu yang punya negara?

Peserta menolak bubar. Irshad masih di panggung. Pak Kapolsek Sarjana Hukum terus-terusan menebar intimidasi, katanya ratusan massa ormas (mengaku) Islam sudah mengepung Salihara dan siap membubarkan acara kami dengan paksa. Benar saja, satu per satu pria berpeci putih, berjanggut, bercelana cingkrang putih, mulai memasuki ruang diskusi.

Beberapa di antaranya berteriak-teriak memancing emosi. Peserta membalas dengan nada tinggi. Mas Goen, tanggap pada situasi, meminta tidak ada yang terpancing. Diskusi dinyatakan break, dan peserta dipersilakan minum kopi. Pak Kapolsek Sarjana Hukum tidak puas. Katanya, acara TIDAK BOLEH sekadar break tapi HARUS bubar!

Massa FPI terus merangsek sambil menebar ancaman. Rupanya, yang didengung-dengungkan adalah orientasi seksual Irshad, yang memang seorang lesbian. Mereka menyebut buku Irshad mengajarkan homoseksualitas.

"Ulil mana Ulil! Keluar, Ulil!"
"Dalam 20 menit kalau acara tidak dibubarkan, kami bikin rame!"
"Islam tidak mengajarkan homo!"
"Mana ada yang begituan! Ajarannya Ulil itu!"
"Allahu Akbar!"
"Kalau Polisi membiarkan, berarti polisi ingin cari ribut!"



Irshad tetap di panggung sambil menahan emosi. Peserta tidak ada yang pulang. Ulil mengambil microphone, berseru, ''Irshad adalah tamu kita, mari kita sambut dia dengan baik. Silakan para peserta merapat ke panggung untuk ngobrol dengan Irshad." Kami semua bertepuk tangan.


Irshad (berbaju hijau lemon) dikelilingi para peserta diskusi. 



Kemarahan tanpa henti para 'Dubes' Allah.

Tapi massa FPI tetap tidak puas, sehingga Irshad harus diboyong ke ruangan lain. Dengan diiringi polisi, Irshad menuju lift. Itu pun, massa FPI terus berjaga-jaga sambil mengancam: pokoknya Irshad harus pergi dari situ. Polisi emosi, peserta diskusi emosi. Seorang kawan perempuan dibentak dan didorong bahunya oleh polisi. Permintaannya jelas: kami semua harus pulang, dan Irshad harus hengkang.


Polisi semakin banyak.

Polisi berteriak, "Kalau membantah, Anda semua kami tangkap!"

Jadi kami berkumpul baik-baik, berdiskusi baik-baik, sementara massa FPI merangsek, menginterupsi dengan kasar, mengancam--dan kamilah yang hendak ditangkap. Alangkah logisnya.

Suami mengajak saya keluar. Motor kami tetap terparkir di dalam gedung. Saya ngetem di warung sate depan Salihara, sembari mengajak ngobrol warga yang berkerumun. Tak satu pun dari mereka yang keberatan dengan acara diskusi buku tersebut, malahan tak sedikit yang justru tidak tahu acara apa yang sedang berlangsung. Rata-rata mereka mengenal Salihara sebagai 'gedung pertunjukan', dan tidak pernah keberatan.

Dari warung sate pula, kami melihat semakin banyak massa FPI mendatangi Salihara. Pintu ditutup dan dijaga ketat. Orang-orang berpakaian bebas memadati ruas jalan depan warung sate. Saya beringsut mendekati mereka sementara suami memantau situasi di dalam lewat pagar. Rupa-rupanya, para pria berbaju bebas adalah preman setempat. Mereka menunggu komando: kalau di dalam rusuh, mereka masuk untuk mengacau. Semua pegang ponsel.

Seorang anggota FPI lewat membawa pentungan kayu panjang. Seorang pria bertopi putih mendatangi tiga orang pria berjaket jins di depan saya sambil bilang, "Elu tadi salah sih caranya! Mustinya langsung bikin rame aja!"



Saya bergidik seraya berdoa kawan-kawan di dalam tidak terpancing emosinya. Bisa-bisa Salihara dibakar.

Kami menunggu di warung sate. Tak lama, Irshad keluar naik mobil ditemani Ulil. Dikawal polisi, mereka kembali ke hotel. Massa FPI perlahan bubar. Saya mendengar mereka meneriakkan yel-yel, "FPI TEBET... ALLAHU AKBAR!" berkali-kali. Warung sate sudah tutup tapi saya duduk di bangku semen di depannya, menggenggam tas sambil menyaksikan semuanya.

Suami menelepon adiknya yang bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Bersama Kontras, mereka meluncur ke Salihara untuk membuatkan rilis resmi. Saya ikut tanda tangan video pernyataan sikap yang segera diambil. Kawan-kawan jurnalis online langsung menurunkan berita. Kami semua melakukan apa yang kami bisa.

Malam itu saya merasakan sumpeknya berhadapan dengan kebodohan. Dan jadi tahu, hukum di Indonesia sekadar jargon. Polisi ada di situ, tapi tidak membela hak kami sebagai warga negara untuk berkumpul dan berdiskusi. Mereka malah pilih membela sekelompok preman berjubah, yang berbuat kekerasan atas nama Allah.

Mau sampai kapan kita begini?

5 comments

  1. "Mau sampai kapan kita begini?" Ini akan menjadi bagai pertanyaan filosofis yang sulit dicari jawabannya karena di negara ini ternyata hukum dan undang-undang masih kalah oleh uang dan hukum rimba.Ini sudah di luar akal sehat.

    Anon1

    ReplyDelete
  2. waduh kacau juga bgitu..

    Sperti biasa,orang2 yg gk ngerti jga ikut2an aja pasti tuh.

    Hahaha.. mngutip kata Zarathustra, "fasis yang baik adalah fasis yang mati"

    Salam kenal.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mirip mirip lagu nya puritan nya homicide yan

      Delete
  3. @Anon1 Bung Hatta sudah meramalkannya dari jauh hari. Suatu kali, kita akan direpotkan oleh penjajahan bangsa sendiri :((

    ReplyDelete
  4. @reza "fasis yang baik adalah fasis yang mati" tuh bukannya lirik lagu Homicide ya?

    Salam kenal juga.

    ReplyDelete