Motivasional

Sehari semalam ini entah kenapa jadi baca dua novelnya Habiburrahman El-Shirazy, yang Ayat-Ayat Cinta sama Ketika Tasbih Bercinta Cinta Bertasbih. Selain detail lokasi dan cara hidup masyarakat Mesir yang lumayan detail, saya merasa novel ini overrated banget. Atau barangkali cara Habiburrahman bertutur dan tema ceritanya bukan selera saya.


Tema cerita.

Yap, itu yang bakal jadi tema postingan kali ini. Noven Hendranto, kawan saya yang juga penulis dan jurnalis, pernah menulis begini dalam Twitternya:  "Tren novel Indonesia » mimpi, harapan, perjuangan, cinta, jatuh-bangun, sukses, berusaha jadi inspirasi... Ooohh betapa berat..."


Iya, ya. Kenapa sih pembaca selalu nyari novel yang bisa kasih motivasi? Setelah Habiburrahman sukses dengan karya-karyanya itu, novel-novel sejenis lantas bermunculan di mana-mana bagaikan gerai-gerai Indomaret. Laskar Pelangi, Negeri Lima Menara, 9 Summer 10 Autumns, dan seterusnya, dan sebagainya. Semuanya menjual kisah serupa: meskipun tokohnya (cowok) miskin dan dari keluarga sederhana, tapi bisa sukses kuliah sampai ke luar negeri. Terus kawin sama cewek paling cakep dan paling kaya sejagad raya.


Si Fahri di Ayat-Ayat Cinta malah ditaksir empat cewek sekaligus, yakni Aisha yang keturunan Jerman dan super kaya, Maria yang cakepnya maksimal dan anak dokter, Noura yang cantiknya inosen, dan Nurul yang anaknya kyai. Benang merah: keempatnya cakep. Dan tentu saja, Fahri akhirnya kawin sama Aisha yang paling cakep dan paling kaya di antara semuanya. Masih dapet bonus poligami sama Maria pula.




 Bukan salahku kalo aku banyak yang naksir.

Hampir mirip, tokoh Azzam di Ketika Cinta Bertasbih juga gitu. Yang naksir dia dari anak kyai (fyi, ini tipe cewek yang high-class banget kalo di kalangan pesantren) sampai artis ibukota. Padahal si Azzam ini kerjanya jualan tempe sama bakso doang. Jadi seolah-olah ada pesan moral: jika kau lelaki miskin tapi pekerja keras dan taat beragama, maka cewek-cewek akan berebut mendapatkanmu seolah-olah kamu adalah Brad Pitt.

Yah, tapi tu mungkin cuma perasaan saya saja.

Poinnya adalah soal motivasional tadi. Pasti ada yang salah dengan masyarakat kita jika yang disukai dan dicari-cari adalah cerita yang isinya doping motivasi. Dalam sastra luar negeri, novel-novel kayak The Sun Also Rises (Ernest Hemingway) dan Great Gatsby (F. Scott Fitzgerald) bisa sangat diapresiasi. Padahal isinya tentang kepahitan hidup, kekosongan, kesepian yang tidak terkatakan, dan masalah-masalah eksistensialisme lainnya. Dan tema-tema itu diangkat dengan cara-cara yang nggak klise, nggak kacangan, dan nggak pasaran. Jadinya sungguh-sungguh bagus.

Bukan buku astronomi.

Mungkin ada yang bilang, hidup saja sudah pahit dan kadang-kadang terasa kosong, kenapa masih baca karya fiksi yang juga pahit dan kosong? Apa gunanya? Memang nggak ada, jika kita memandang fiksi sebagai sarana pelarian dari kenyataan (flight from reality) yang harus manis dan selalu berakhir bahagia.

Buat saya, fiksi adalah cara meresapi hidup lewat cerita. Yang terjadi di dunia ini banyak, dan tidak harus selalu tentang keberhasilan atau hal-hal besar lain. Bahwa masyarakat kita senang cerita motivasional, apa boleh buat, artinya kita dilanda krisis kepercayaan diri di tengah dunia yang makin lama makin keras. Harus ada contoh yang berhasil. Harus ada yang bilang ke kita, hey, kamu pasti sukses kok kalau kamu berusaha! Padahal kalau nggak berhasil ya nggak apa-apa juga.

Memangnya kesuksesan itu apa sih? :)

4 comments

  1. Aku jadi ingat speech-nya siapa yah (SGA barangkali) dalam sambutan penerimaan sebuah penghargaan penulis bahwa masyarakat indon itu membaca baru sebatas utk mendapat informasi-informasi dangkal seperti nomor telepon, alamat atau baca iklan. Jadi buku sejenis Great Gatsby yg kamu contohkan tak lebih dari buku yang aneh.

    ReplyDelete
  2. Beneran SGA pernah bilang gitu? Awh, keras juga ya komentarnya. Aku enggak tahu sih apa kita bisa bikin generalisasi semacam itu. Aku hanya penasaran apa tidak mungkin sebuah cerita yang "tidak motivasional" (terpaksa kita kasih label begini) bisa dimaknai oleh pembaca kita, lebih dari sekadar "buku yang aneh" seperti kamu bilang.

    Salah siapa kalau pembaca kita suka yang ringan-ringan?

    ReplyDelete
  3. Betul, SGA. Penulis dalam masyarakat tidak membaca, Trilogi Insiden, p.385.

    ReplyDelete
  4. Dan dulu dosen saya pernah bilang, kita hidup di tengah masyarakat yang menonton. Bukan membaca.

    ReplyDelete