Literary Idol of The Month: July


Seno Gumira Ajidarma (Boston, 19 Juni 1958)

Bagaikan lapisan pertama kue buah, karya-karya Seno adalah fondasi awal kepengarangan saya. Ini mohon dimaafkan ya analoginya (berhubung lagi lapar), tapi sungguh pun demikian adanya: saya membaca Penembak Misterius ketika berumur tujuh tahun, dan merasa itulah cerita paling seru yang pernah saya baca sepanjang tahun-tahun pertama kehidupan saya.

Baru-baru ini Seno memenangkan penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2010 lewat cerpennya, Dodolitdodolitdodolibret yang merupakan rekontekstualisasi dari hikayat sufisme tentang kebenaran-yang-tak-pernah-tunggal lewat analogi berjalan di atas air.

Nah, menangnya cerpen ini menimbulkan kontroversi. Sebagian orang menganggap Dodolit merupakan plagiasi, dan karenanya tak layak menang. Akmal Nasery Basral, misalnya, membandingkan Dodolit dengan Three Hermits-nya Leo Tolstoy: cek di sini.

Salah seorang guru saya menulis artikel yang menyatakan bahwa Dodolit bukanlah cerpen tiruan, tetapi karena itu bukan karya Seno, maka Seno tidak layak menerima penghargaan tersebut. Esai itu bisa dibaca di sini.

Tapi, untuk lebih paham konteks perbincangan, saya sarankan teman-teman untuk baca ini -- tulisan bagus dari Edi Sembiring tentang mengapa Dodolit bukanlah bentuk aksi plagiarisme, dan tak layak disebut demikian.

Saya tidak akan mengambil posisi. Biarkan berbagai tautan tadi menjadi pertimbangan teman-teman untuk memikirkan soal ini. Hanya ingin mengingatkan: adalah "tugas" cerita untuk menghibur pembacanya -- dan sungguh, hanya itu saja.

10 comments

  1. Di blognya sukab di wordpress cuman gua yang protes kalo cerita ini sptnya pernah baca di buku lain, entah yang mana. Barangkali di bukunya Anthony de Mello, Doa Sang Katak.

    Untuk alasan teknik menulis apa pun, menurut gua itu tetap plagiat.

    Anon1

    ReplyDelete
  2. Cerita berjalan-di-atas-air bukan cuma ada di Anthony de Mello, tapi juga Tolstoy, hikayat sufi, dan buddhisme Tibet.

    Dan yang pertama sekali tentu saja di Injil :)

    ReplyDelete
  3. nah kan, ketemu dy di puskesmas kantor mlh bikin bdn gw dr suhu normal k anget!

    ReplyDelete
  4. @Aprizya: Hahaha, dia memang punya aura itu! Gw pas pertama kali wawancara doi, lupa dong nyalain recorder saking groginya, jadi wawancara dua jam lebih nggak ada rekamannya, hahahah..

    ReplyDelete
  5. Maksudku bukan ttg -cerita berjalan di atas air-nya yang sama, tp cerita dodolbretnya itu sendiri secara kesuluruhan, pemeran2nya dan inti ceritanya mempunyai kemiripan yg sangat.

    Anon1

    ReplyDelete
  6. Harusnya SGA sebagai seorang penulis yang besar (dan saya sukai juga) bisa menulis cerpen yang lebih orisinil lagi. Ini http://goo.gl/90f8L lebih pantas menang barangkali :D


    Anon1

    ReplyDelete
  7. Hehe, Pram mah lain. Dia satu-satunya penulis kita yang "bunyi" di arena per-Nobel-an :)

    ReplyDelete
  8. Sorry, bukan mau membandingkan SGA dengan Pram, tapi membandingkan muatan ceritanya. Cerita Pram bisa memberi pencerahan kepada jutaan rakyat yang notabenenya ber-Tuhan tetapi memilih tetap percaya takhayul.

    Cerita dodolbret dalam hemat saya seperti -goresan di atas hamparan pasir hipokrit tak berujung-nya masyarakat kita. Mulut kita berbusa-busa mengatakan yang baik, tetapi laku kita melakukan yang jahat.

    *kok jadi serius gini sih*

    Anon1

    ReplyDelete
  9. @Anon1: Bisa lebih spesifik nggak, cerita Pram yang mana? Terus kalo Dodolibret itu, rasanya terlalu subjektif deh kalo kita menilai dia nggak membawa perubahan, hehe..

    ReplyDelete
  10. I gave you a link before!

    Anon1

    ReplyDelete