Menyerah pada teknologi

Untuk ukuran anak muda yang lahir pada pertengahan dekade 1980-an, saya sungguh tidak melek teknologi. Saya tidak ngiler liat notebook warna putih dengan lambang apel tergigit yang sangat terkenal itu, tidak pernah belanja online, dan ketika seorang kawan dengan berapi-api bercerita tentang ponsel pintar yang bernama Anu-Anu-Tablet, saya dengan naif bertanya apakah dinamakan begitu karena bentuknya mirip Amoxicillin.

Hanya ada tiga alat di tas saya yang dapat dikategorikan sebagai piranti elektronik: netbook HP Mini (yang dipakai buat ngetik doang), iPod Nano (yang dibeli karena menurut Nietzsche, hidup tanpa musik adalah sia-sia), dan BlackBerry Curve 3G (yang dibeli sebulan lalu dan sampai sekarang masih bikin bingung kalau ditanya itu seri apa; semua tampak sama di mata saya).

Saya membeli barang elektronik seperti saya membeli sepatu: tidak akan beli yang baru jika yang lama belum rusak. Si HP Mini dibeli karena laptop Acer lungsuran Mama mendadak mati, iPod Nano dibeli karena semua penyanyi dalam playlist mendadak bersuara seperti Alvin The Chipmunks, dan BlackBerry dibeli untuk mengakali hubungan jarak jauh dengan si Pacar.

Selebihnya, saya menjalani hidup setradisional dan setidakpraktis mungkin. Ketika pulsa telepon habis, saya jalan kaki ke kios pulsa dekat rumah untuk beli voucher fisik yang masih harus digesek pakai koin. Kemana-mana saya masih bawa notes dan pulpen,  jaga-jaga jika mendadak muncul ide tulisan.  Pesan tiket pesawat masih lewat biro perjalanan. Baca buku masih harus dalam bentuk cetak, soalnya e-book bikin mata capek.

Dan saya cinta sekali pada ponsel Nokia 3500 Classic batangan yang sudah menemani selama bertahun-tahun, meski sering sekali menghadapi cemoohan publik melalui sebutan "ponsel biasa". Sungguh menghina. "Ponsel biasa" ini sudah membantu saya bekerja, bermain, dan bercinta, dan hidup saya selama 23 tahun terakhir baik-baik saja tanpa fasilitas push-email, messenger, atau whatsapp. Bukan berarti sebelumnya saya tahu di dunia ini ada kosakata semacam itu, lho.



Ponsel biasa dan charger biasa.

Nah, ketidaktahuan saya tentang teknologi ini rupanya kerap membikin gemas si Pacar. Umur dia hanya dua tahun lebih tua dari saya, tapi kami seperti hidup dalam dua abad yang berbeda. Saya, misalnya, tidak tahu bahwa subtitles film bisa diunduh secara bebas di internet dan diintegrasikan ke dalam file, sementara si Pacar tampaknya sudah tahu hal ini sejak pertama ia dilahirkan. "Wow! Luar biasa," saya berseru kagum ketika ia menerangkan soal itu, dan dia mengerang malas.

Di awal hubungan kami, dia masih menolerir pacarnya yang tampak seperti Wilma Flinstone ini, tetapi ketika dengan jujur saya mengaku tidak tahu apa-apa tentang internet banking, dia kehilangan kesabaran.

"Pokoknya besok kamu daftar internet banking!" Ia berkata sambil menyeret saya menuju ATM terdekat di daerah Sabang, untuk melakukan pendaftaran ke suatu sistem yang menurutnya akan mengubah hidup saya itu.

Okelah saya daftar. Okelah saya aktivasi. Dan saya membeli sesuatu yang dinamakan token seharga Rp20 ribu. Ngomong-ngomong, saya baru tahu benda itu namanya "token" ketika mbak-mbak bagian layanan pelanggan berbaik hati menyebutkannya. Sebelumnya, saya pernah menyaksikan teman saya menghadap netbook sambil memencet-mencet benda itu, dan secara instingtif saya berpikir itu pastilah tamagotchi jenis baru.


Tamagotchi yang dikira token. Eh, kebalik.

Well, saya berusaha mendekati teknologi yang by design diciptakan untuk memudahkan hidup manusia. Tetapi, jodoh memang di tangan Yang Maha Kuasa. Apa yang memudahkan bagi orang lain, untuk saya malah jadi keribetan versi baru. Token yang sudah dibeli dan internet banking yang sudah diaktivasi sampai sekarang tidak bisa digunakan untuk transaksi finansial seperti beli pulsa atau tiket pesawat. Saya tidak tahu bagian mana yang salah. Rasanya sih semua instruksi sudah saya ikuti dengan setepat-tepatnya.


Subtitles yang dibicarakan si Pacar pun tidak bekerja sebagaimana mestinya. Saya sudah unduh sesuai perintah dan sudah saya masukkan di folder yang sama dengan file film, tetapi para tokoh dalam film "Norwegian Wood" masih bicara dalam bahasa planet, tanpa teks. Haruki Murakami pasti iba pada penggemar beratnya ini, yang menonton dengan penuh semangat tetapi hanya paham kata "haik" dan "arigato gozaimasu".

Jadi, alih-alih praktis, teknologi justru membuat saya bertambah frustrasi sebab orang lain bisa dengan gampang menikmati kepraktisannya, sedangkan saya terperangkap dalam keribetannya. Jika teknologi itu ada manual besarnya, pasti ada satu poin yang bunyinya begini: "Berlaku universal. Kecuali untuk Andina Dwifatma."

Penuh perhatian, si Pacar secara reguler mengecek kemajuan saya dengan teknologi. Dan dia senewen sendiri mendengar proyek pertamanya, yakni membikinkan saya internet banking, gagal terlaksana. "Besok kamu pergi ke bank," perintahnya. "Kamu benerin itu internet bankingnya. Pasti ada yang salah waktu proses aktivasi, makanya kamu nggak bisa transaksi."

Saya selalu menggumamkan kata "ya" setiap kali ia bilang hal ini, kalau perlu sambil mengangguk-angguk syahdu. Tetapi, jauh di lubuk hati, saya sudah menyerah pada teknologi. Barangkali ini adalah tanda dari Tuhan bahwa saya dan teknologi memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Tidak ada masa depan untuk hubungan kami...

13 comments

  1. huakakkakakakakak....:ngakakguling2
    persissss banget ikk... :D
    baca tulisanmu seperti menelanjangi diriku sendiri... ampuunnn, andin...

    ReplyDelete
  2. Hehehehe, seneng deh ada temennya :)

    ReplyDelete
  3. Kalau kamu mampu, tidak ada salahnya nyoba, siapa tau bisa memudahkan sesuatunya. Bukankah mempelajari hal-hal baru itu menyenangkan? biarpun cuma sebentar pake habis itu bisa ditinggalin lagi.

    Bukan hal penting sih, bukan kewajiban juga. Hanya saja mungkin bisa lebih memudahkan. Naskah-naskah yang mungkin sangat susah, bisa jadi gampang didapat lewat ebook. Kalau orang yang memiliki anggaran ketat, belanja lewat online sangat membantu. Contohnya ketika belanja buku, kalau langsung ke TKP, bisa habis berpapun uang yang dibawa. Satu bulan gaji pun bisa ludes kalau orang itu sangat suka membaca. Tapi lewat online, bisa lebih memastikan apa yang mau dibeli.
    begito menurut saya :D Ya sudahlah.

    Ngomong2, coba kamu lempar sesuatu ke milis. Sayang kan, kalau milis ditinggal begitu saja? Kalau bukan kita (yang ngeramein), siapa lagi? :D :D :D

    ReplyDelete
  4. Kabul, saya sudah mencoba, tetapi tampaknya tiada harapan. Soal milis, yeah, tampaknya harus dibakar dulu biar rame :D

    ReplyDelete
  5. Hahahaa.... Andin, ternyata kamu parah juga ya. Udah suka hal tragic, gaptek lagi! Oupps...

    Sesama penggemar movie, gw beri tips sekitar subtitle:

    1. Subtitle terpercaya banyakan di http://subscene.com dan http://www.podnapisi.net/ (selain opensubtitle, tp gw lebih suka dua yg dua itu)

    2. Kalo filmnya mau di-write ke dvd utk di-play di dvd player, pastikan file video dan subtitlenya bernama sama, hanya ber-extention berbeda.

    3. Subtitle itu banyak formatnya, paling banyak di-support oleh dvd player adalah SubRip (.srt atau .sub)

    4. Utk memastikan subtitle jalan, coba dulu di komputer. Aplikasi player yg lebih bagus dr W*nd*ws Media Player adalah VLC http://www.videolan.org/vlc/. Kita bisa mencoba-coba subtitle mana yg paling pas kalau ada lebih dari satu dengan cara me-load file2 subtilenya. Menu Video -> Subtitle track -> Load file...

    5. (Advanced) Kadang kita sudah nemu subtitle tp pas di-play gak keluar juga. Coba dulu di komputer, bisa gunakan Urusoft Subtitle Workshop utk mengedit dan meng-save as subtitle tersebut, krn kadang format text encodingnya yg masalah (antara ascii, utf, iso-latin, dll). Gunakan urusoft itu aja utk save as sebagai Subrip, dijamin normal.


    Selamat mencoba! Ganbatte!

    Anon1

    ReplyDelete
  6. aku ada subtitlenya borwegian wood, mau? udah aku bikin pas..

    btw, tetep aja banyak hal yg ga bisa tergantikan dgn teknologi kok, misalnya aja sensasi motret pake kamera analog, dan.. baca buku pastinya, ak jg alergi baca e-book..

    hehe :D

    ReplyDelete
  7. @Anon1: gaptek, oke bisalah disebut parah. tapi suka hal tragis? itu enggak parah ah. agony can be romantic :) terima kasih banyak BANGET buat link dan tipsnya. god bless.

    ReplyDelete
  8. @detta: mau banget kalo ada! jadi ga tergoda beli kindle nih ya? :D

    ReplyDelete
  9. terima kasih banyak Anon1 untuk tautan yang kamu beri, sekarang saya bisa nonton Norwegian Wood dg tenang! :D

    ReplyDelete
  10. Sama-sama ndin, senang infonya bisa berguna. Kalo butuh subtitle film yg bagus spt utk Gone With The Wind, sebut namaku 3 kali :D

    Tentang Norwegian Wood-nya, jauh lebih nikmat baca bukunya drpd nonton filmnya. Biar filmnya durasi sampe 2 jam, tetap aja ceritanya jadi serasa lebih pendek dan simple di film.

    ReplyDelete
  11. @Anon1: Sepakat. Saya kebelet banget nonton Norwegian Wood karena memang sangat menyukai bukunya. Secara pribadi, ada beberapa adegan dalam film yang menurut saya agak kurang seru dibanding versi novelnya.

    Misalnya, adegan percintaan Reiko dan Watanabe yang jauh lebih ceria di novel (Watanabe bahkan tertawa saat sedang penetrasi). Terus adegan ciuman pertama Watanabe dan Midori yang asilnya terjadi saat mereka sedang nonton kebakaran. Juga adegan terakhir ketika Midori nanya Watanabe lagi di mana, di novel kan Watanabe menangis, bukan nanya balik kayak di filmnya.

    Tapi bagus kok :)

    ReplyDelete
  12. Betul. Tambahan dikit lagi,
    1. Di film itu adegan percintaannya semua rasanya spt murahan banget, beda dgn di buku ada deg2annya gitu.
    2. Di buku bayanganku Naoko cakep banget, di film malah cakepan Reiko ato malah Midori. Wakakaa...
    3. Di film gak ada sama sekali disinggung tentang sumur itu, pdhal *katanya* di beberapa buku Murakami cerita sumur ini ada muncul.

    Anon1

    ReplyDelete
  13. @Anon1

    1. Barangkali emang ga gampang bikin adegan seks yang ga murahan, tapi kayak film The Reader itu sukses kok bikin adegan percintaan yang bermakna..

    2. Setuju, Midorinya cakep banget, di luar perkiraan. Mukanya jadul, cocok sama dandanannya yang 60-an sekali :)

    3. Iya, sumur itu jadi semacam "titik temu" kenangannya Watanabe dan Naoko. Satu lagi yang dihilangkan di film, yang menurutku justru vital bgt, adalah adegan pembuka di mana Watanabe dewasa terbawa kenangan setelah mendengar lagu Norwegian Wood diputar di pesawat yang ditumpanginya. Maksudku, bukannya itu kenapa diberi judul NORWEGIAN WOOD kan? :D

    ReplyDelete