Sandiwara pendidikan

Jalan-jalan ke toko buku Aksara Pasific Place, nemu naskah drama karya Arifin C. Noer berjudul "Aa Ii Uu", terbitan Balai Pustaka. Konon naskah ini ditulis Arifin untuk TVRI tahun 1994. Selain judulnya yang unik, saya juga ingin tahu dialog keren macam apa lagi yang akan tercipta dari jenius yang satu ini. Sebelumnya, dialog Jumena dari lakon "Sumur Tanpa Dasar" telah menghantui saya dari tempat pertama kali saya melihatnya, yakni potongan kertas kecil di tembok kantor Dewan Kesenian Jakarta, sampai sekarang.

"Aa Ii Uu" bercerita tentang pasangan Bapak dan Ibu Rustam yang punya tiga anak, yakni Aa, Ii, dan Uu. Sebenarnya agak susah membayangkan ada orangtua di dunia ini yang tega menamai anaknya Aa (biar dikira orang Sunda?), Ii (bila diucapkan dengan nada tertentu, akan menimbulkan kesan genit), dan Uu (biar dikira pelawak?)--tetapi sudahlah, ini kan hanya sandiwara.

Bapak Rustam seorang pedagang. Ibu Rustam seorang ibu rumah tangga. Aa sekolah ekonomi, sedangkan Ii belajar jadi ahli farmasi. Nah, berlawanan dengan kedua kakaknya yang mengambil jurusan mainstream, si Uu mau jadi ahli sejarah. Ibu mendukung karena melihat Uu sangat menyukai bidang itu, sedangkan Bapak menolak mentah-mentah. Sebagai pedagang, Bapak sudah terbiasa mengkalkulasi segala sesuatunya. Biaya yang keluar untuk membiayai Uu sekolah pasti tak akan sebanding dengan hasil yang didapat, sebab nanti Uu jadi susah cari kerja.

Sandiwara ini rada absurd sebab melibatkan dialog-dialog filsafati (yang pasti nggak akan kita temui di sinetron masa kini, itu juga kalau masih ada yang berkisah tentang pendidikan), dukun, dan pembantu latah nan bijak. Adapun yang ingin saya bagi di sini adalah dialog-dialog cerdas nan jenaka khas Arifin C. Noer yang sukses membuat saya tertawa sepanjang malam:

Scene 03. Bapak dan Ibu berdebat tentang pilihan sekolah Uu
Bapak: Yak! Zaman sekarang memang zamannya pedagang. Dan zaman yang akan datang...
Ibu: .. zamannya robot-robot dan angka-angka. Menjijikkan sekali.
Bapak: Kamu boleh bilang menjijikkan, tapi yang pasti bukan zamannya pengkhayal-pengkhayal.
Ibu: Mulai ngaco. Bagaimana bisa kamu menyebut ahli sejarah sebagai pengkhayal?
Bapak: Karena buat saya orang yang bekerja sia-sia, yang tidak menghasilkan uang, berarti pengkhayal konyol. Boleh saja orang semacam itu hidup kalau mereka bisa hidup tanpa usus dan perut besar.

Scene 04. Uu ditertawakan teman-temannya karena ingin jadi ahli sejarah
Ketua: Kamu tahu kenapa kita ketawa? Kita semua tidak rela kamu sebagai kawan akan meningkatkan jumlah orang miskin di negeri ini.
Berlin: Marilah kita berdoa agar malam ini Tuhan memberi petunjuk bagi domba kecil yang sesat ini.
Semua: Amin.

Scene 05. Uu mengunci diri di kamarnya
Uu cuma mondar-mandir saja. Mikir-mikir apa yang sebaiknya ia perbuat.
Uu: Berdoa dulu.
Lalu Uu berdoa.
Uu: Tuhan, tabahkan saya, lemahkan mereka. Amin.
Lalu mikir lagi.
Uu: Lalu sebaiknya berkesenian.
Lalu Uu pasang kaset dan keras-keras memperdengarkan kaset itu. Dan dia sendiri lalu duduk di tempat tidur dan bersandar.
Uu: Hidup kok mau dihilangkan romantikanya.

Scene 07. Oom, Tante, dan Bapak, membujuk Ibu agar tidak memihak Uu
Oom: Lima tahun atau tepatnya seribu delapan ratus dua puluh lima hari, Uu berkeliling memasuki kantor demi kantor namun tidak satu pun kantor yang sudi membuka pintunya.
Bapak: Bahkan jendelanya pun tidak.
Tante: Bahkan pintu pagarnya sekali pun, pintu belakangnya, pintu wesenya.
Oom: Semua pintu! Ahli sejarah dan sejenisnya telah dianggap pendeta sampar dan dijauhi masyarakat.
Ibu: Uu, nasibmu!
Menangis semua.
Ibu: Tapi tidak adakah seorang ksatria yang mendekati jendelanya dan melemparkan bunga kepadanya?
Bapak: Pada hari itu, para ksatria dengan kuda-kudanya telah berubah menjadi pedagang keliling semua.
**

Saya sangat merekomendasikan para pembaca sekalian untuk mencari naskah ini dan membacanya sampai habis. Tipis kok, dan harganya cuma Rp10 ribu. Buat yang tinggal di Jakarta, di toko buku Aksara Pasific Place sepertinya masih ada stok tiga biji. Happy hunting.

9 comments

  1. kelas atas punya. salut.

    ReplyDelete
  2. udah jarang lawakan cerdas begini. kbyakan lawakan skrg ngebocah, dan ngampung. tpi it realitas, wjud dri masy kta yg notabene msh krg pgetahuan.

    ReplyDelete
  3. @wan: kebanyakan nonton Putri yang Ditukar kali..

    ReplyDelete
  4. *nyanyi lagu nikita willy*

    ReplyDelete
  5. tapi memang kenyataannya kualitas lawakan kita gak jauh beda dengan lawakan di abad jahiliah, dalam arti lawakan kita hanya brputar pada slapstick, seks, dan yg paling keren smosh...
    sinetron misal mengandaikan kualitas hburan jadi dmkian payah... makanya bripto norman skrg ngetrend, padahal gak bagus2 amat yg ditampilin... masy kita reaksioner, dalam arti ketika ada fenomena dkit langsung nyerbu, gak mw jaga jarak...
    begitu juga dengan apa yg mreka konsumsi, makin mendukung sikap tsb...

    ReplyDelete
  6. @wan: pada prinsipnya saya setuju, tapi smosh itu apa yaaa??

    ReplyDelete
  7. @Wan:
    "sinetron misal mengandaikan kualitas hburan jadi dmkian payah... makanya bripto norman skrg ngetrend, padahal gak bagus2 amat yg ditampilin... masy kita reaksioner, dalam arti ketika ada fenomena dkit langsung nyerbu, gak mw jaga jarak..."

    hmmmm... yg salah siapa yah? bukannya media itu punya fungsi dan tanggung jawab untuk mendidik masyarakat?

    ga usah ngarepin masyarakat kita untuk semua jadi pinter atau minimal mau belajar.
    Sejarah bangsa ini adalah kerajaan, biasa diperintah dan disuapin.

    "tut wuri handayani" (mendorong dari belakang) > mau maju aja mesti didorong2?

    :)

    ReplyDelete
  8. Nimbrung ah. Sebenernya pertanyaan media membentuk preferensi masyarakat, atau sebaliknya, adalah seperti mempertanyakan mana duluan telur atau ayam.

    ReplyDelete