Cerita pendek yang pendek


Photo by Timothy Dykes on Unsplash



Vincent Mahieu

Adalah seorang pengusaha perkebunan yang masih muda. Dia baru saja datang dari Eropah dan memimpin perkebunan yang terpencil sekali di gunung yang tinggi di Sumatra. Ia menjadi raja dari banyak orang berkulit sawo matang. Ia harus membuat jalan-jalan untuk mereka, membangun jembatan-jembatan, mengadakan perairan dan membuka kampung-kampung. Atas perintahnya tumbuh berpuluh ribu pohon kopi penuh janji-janji hasil yang banyak. Di tengah gelombang samudera raksasa-raksasa hutan di atas puncak-puncak seribu gemunung. Ia belajar menggunakan bahasa-bahasa baru. Ia belajar berburu. Ia belajar kenal banyak bentuk-bentuk baru kehidupan dan bentuk-bentuk baru kepercayaan. Di situ tidak pernah musim dingin. Satu-satunya pemandangan musim dingin yang dilihatnya ialah kebun kopi yang sedang harum berkembang. Angkasa senantiasa biru lazuardi. Bumi penuh rama-rama. Di sini tidak ada batas-batas. Dia raja yang kekuasaannya tidak terbatas; dia bahagia. Dan dia sekaligus pula seorang anak sekolah. Dia memiliki rumah besar untuk dirinya sendiri. Di situ ia tinggal dengan seekor kakak tua seputih salju. Apabila ia tiba di rumah dari pekerjaan sehari-harian dan menghabiskan makanannya yang sederhana dengan nikmat, ia berkata keras-keras: ‘Enak.’ Apabila ia sesudah itu menghilangkan lelahnya di kursi rotan yang enak, ia berkata: ‘Enak.’ Apabila ia memakan hasil buruan digoreng yang ditembaknya sendiri, ia berkata: ‘Enak.’ Semuanya enak. Itulah satu-satunya kata yang diucapkannya, sebab tidak ada orang lain kawannya bicara di rumah. Dan setelah beberapa waktu burung kakaktua itu pun berkata: ‘Enak.’ Dan itu pun satu-satunya kata yang selalu diucapkan oleh kakaktua. Pekebun itu kadang-kadang menerima surat dari negeri asalnya. Menjemukan dan pendek-pendek. Jarang ia menulis kembali. Pada suatu hari datang surat yang lain coraknya. Dari seorang pacar yang hampir terlupakan. Ada puisi dan impian dan kesedihan dalam surat itu. Mereka saling surat menyurat, yang berakhir dengan pernikahan melalui jurukuasa. Ia menjemputnya dari kapal dan tidak melihat betapa tebal bedak perempuan itu dan belebih-lebihan dandanannya. Pekebun itu memang sudah lama sekali meninggalkan kehidupan di tanah airnya. Hari-hari pertama mereka merasa bahagia. Tapi kemudian si isteri melihat bahwa ia keliru; bahwa laki-laki itu telah menipunya. Ini bukanlah taman sari dan bukan sorga. Ini adalah hutan berbahaya, dengan kehidupan tanpa variasi dan miskin. Ia tidak dapat tidur karena teriakan monyet-monyer di dalam hutan; ia takut ular dan macan dan binatang liar. Ia tidak dapat belajar bahasa dan kehilangan orang-orang sejenisnya, orang-orang kulit putih. Kehilangan jalan-jalan besar, gedung bioskop dan bar. Karena itu ia lebih sering harus ke kota besar untuk menghibur diri. Dan ia tambah sering dan tambah lama tinggal di kota. Pekebun mendengar hal-hal yang aneh tentang dirinya dari kota. Dan menceraikannya. Maka si pekebun seorang diri lagi. Tapi sekarang ia merasa bahwa ia seorang diri. Sering ia berjalan penuh dendam dan sedih sekali kian kemari dan dengan kesal ia melihat kepada kakaktuanya, satu-satunya yang masih berkata: ‘Enak.’ Sampai pada suatu hari ia menemukan pada salah seorang perempuan pemetik kopi juga seorang wanita. Seorang wanita yang tertawa riang, tidak banyak pikiran. Disuruhnya perempuan itu bekerja di rumahnya. Dan suaminya disuruhnya bekerja di kebun yang jauh. Kembalilah hari-hari yang gembira dan seringkali ia berkata: ‘Enak.’ Meskipun enaknya lain dan sekarang ia banyak minum. Ia tidak tahu mengapa. Tapi ia melakukannya. Sering ia tidak masuk kerja di kebun dan bermain-main di rumah dengan pemetik kopinya. Sampai pada suatu hari pintu terbuka dan si suami berdiri di sana. Di tangannya golok yang dashyat, parang melengkung yang berat. Si pekebun masih sempat mengangkat linggis yang selalu tersedia di belakang pintu. Dan sementara si perempuan melarikan diri sambil berteriak dan si kakaktua berteriak ‘Enak!!’ dan menggelepar-gelepar pada rantainya, kedua orang laki-laki itu bertarung mati-matian. Maut mula-mula menimpa orang Madura itu, yang jatuh tersungkur dengan batok kepala pecah. Sesudah itu barulah di Pekebun merasa betapa darah yang panas mengalir dari kepala, leher, dan bahunya. Pemandangannya menjadi gelap, ia terhuyung ke belakang sampai ke tembok, lalu runtuh terduduk dalam sikap yang lucu. Si kakaktua menjadi tenang, ia menggerak-gerakkan bulunya dan berkata: ‘Enak!’ dan sekali lagi: ‘Enak!’ Si pekebun tersadar. Pemandangannya yang berputar-putar mencari si kakaktua, sementara tangan kanannya meraba-raba di sampingnya dan menemukan senapan berburu, yang dengan rapi terletak dalam rak senapan dalam keadaan terisi. Diangkatnya senapan itu, diletakkannya di atas bahunya dan dibidikkannya pada si kakaktua. Pemandangannya semakin berputar dan senapannya membuat gerak tulisan aneh di udara, tapi suatu ketika unting-unting, titik unting-unting dan burung terletak dalam satu garis. Ditariknya pelatuk. Senapan itu kaliber 12, berisi mimis kasar. Jaraknya dekat. Kakaktua itu tepat kenanya. Lihatlah, jatuh lagi salju. Persis seperti dulu. Pada gelang-gelangan tergantung-gantung kaki kakaktua di rantai. Pekebun itu puas. ‘Enak,’ katanya menarik nafas lega, sambil badannya perlahan-lahan jatuh terlipat ke depan, ‘enak.’

4 comments