"Catatan" oleh Wiji Thukul


Wiji Thukul adalah seorang penyair brilian yang vokal terhadap pemerintah Orde Baru. Ia menghilang bulan Mei 1998. Istrinya, Mbak Pon, terakhir bertemu dia akhir tahun 1997. Konon terjadi miskomunikasi antara lingkaran kawan dekat Wiji Thukul. Masing-masing mengira penyair itu dilindungi pihak lainnya, sehingga ketika kerusuhan mereda, barulah mereka saling bertanya-tanya: ke mana ia pergi? Rasa sedih dan kehilangan begitu kuat pascamenghilangnya Wiji Thukul. Seperti perasaan sedih yang muncul ketika sebatang lilin yang menyala dalam gelap, tiba-tiba padam.

Dan namanya bahkan tidak masuk daftar pencarian Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras).

Semasa masih di pelarian, ia pernah menulis sebuah puisi berjudul "Catatan". Ini seperti pesan untuk istrinya dan dua anaknya, Nganti Wani dan Fajar Merah, kalau-kalau sesuatu terjadi dan ia tak bisa menjaga mereka lagi dengan kedua tangannya sendiri. Saya terharu sekali membacanya dan ingin membaginya.

(Untuk cerita tentang Wiji Thukul, saya rekomendasikan membaca buku "Dari Jawa Menuju Atjeh" karya Linda Christanty, Jakarta: KPG, 2009, halaman 56-73)


"Catatan" - Wiji Thukul

Gerimis menderas tengah malam ini
Dingin dari telapak kaki hingga ke sendi-sendi
Dalam sunyi hati menggigit lagi
Ingat
Saat pergi
Cuma pelukan
Dan pipi kiri kananmu
Kucium
Tak sempat mencium anak-anak
Khawatir
Membangunkan tidurnya (terlalu nyenyak)
Bertanya apa mereka saat terjaga
Aku tak ada (seminggu sesudah itu
Sebulan sesudah itu
Dan ternyata lebih panjang dari yang kalian
harapkan!)
Dada mengepal perasaan
Waktu itu
Cuma berbisik beberapa patah kata
Di depan pintu
Kau lepas aku
Meski matamu tak terima
Karena waktu sempit
Aku harus gesit
Genap 1/2 tahun aku pergi
Aku masih bisa merasakan
Bergegasnya pukulan jantung
Dan langkahku
Karena penguasa fasis
Yang gelap mata
Aku pasti pulang
Mungkin tengah malam dini
Mungkin subuh hari
Pasti
Dan mungkin
Tapi jangan
Kau tunggu
Aku pasti pulang dan pasti pergi lagi
Karena hak
Telah dikoyak-koyak
Tidak di kampus
Tidak di pabrik
TIdak di pengadilan
Bahkan rumah pun
Mereka masuki
Muka kita sudah diinjak!
Kalau kelak anak-anak bertanya mengapa
Dan aku jarang pulang
Katakan
Ayahmu tak ingin jadi pahlawan
Tapi dipaksa menjadi penjahat
Oleh penguasa
Yang sewenang-wenang
Kalau mereka bertanya
"Apa yang dicari?"
jawab dan katakan
dia pergi untuk merampok haknya
yang dirampas dan dicuri

6 comments

  1. Terima kasih telah menulis dan mengenang Widji Thukul. Saya jadi teringat tujuh tahun yang lalu, kami (Kontras dan Siklusitu UIN) pernah mengadakan diskusi dan apresiasi untuk mengenang penyair dan pejuang ini. Intinya, walaupun pengungkapan misteri dan penegakan hukum para pejuang--seperti Thukul, Marsinah, Munir, dll--takkan pernah pernah bisa dicapai, namun, usaha untuk mencapainya harus tetap terlaksana--Tujuan bukanlah utama, yg utama adalah prosesnya (Iwan Fals)--Terima kasih telah menulis dan mengenang Widji Thukul. Semoga "api catatannya" nya tetap menyala di hati kita. (Hj)

    ReplyDelete
  2. @Hijrah: Amin. Eh, kamu ada buku-buku dia?

    ReplyDelete
  3. Ada sih dulu di sanggar, tapi Sayangnya tak terselamatkan waktu anak2 sanggar altar (komunitasku dulu) diusir paksa pemilik kost karna gak bayar2 (dasar anak teater)dan gak tau tuh buku pada kemana..

    ReplyDelete
  4. Kalau penipu, akal-akalnya adalah jahat, ia merancang perbuatan-perbuatan keji untuk mencelakakan orang sengsara dengan perkataan dusta, sekalipun orang miskin itu membela haknya.

    ReplyDelete
  5. Dan di luar sana, penipu alangkah banyaknya. Semoga orang-orang seperti Wiji Thukul tak kalah banyak juga.

    ReplyDelete
  6. BIJI GANDUM

    Wiji Thukul
    pelipis macam biji gandum dipukul
    bulir pecah bilur
    pada tanah air
    Wiji seharusnya tumbuh
    taoi gugur
    dan berbuah
    1000 puisi reformasi.

    ReplyDelete