Dangdut, Bahasa Kaum Marjinal?


Mengapa ada orang yang menolak mendengarkan musik dangdut? Apakah ia merasa diri terlalu urban? Apakah telinganya memang tidak cocok dengan beat musik dangdut, ataukah karena label yang mengikuti penggemar musik dangdut (kampungan, berpendidikan rendah, ekonomi sulit)?

Dalam hemat saya, alasan kedua rasanya lebih masuk akal. Citra dangdut sebagai musik kampungan rupanya memang telah terbangun sedemikian rupa. Nyaris menjadi common sense (nalar awam) yang tidak lagi dipertanyakan oleh masyarakat kita. Tetapi benarkah musik dangdut hanya bicara pada kelas tertentu?

Sebentuk Komunikasi Budaya
Sebelum membahas permasalahan tersebut, kita perlu mempertanyakan dahulu apakah hubungan antara musik dangdut dengan komunikasi budaya sebagai sub tema tulisan ini. Untuk itu pertama-tama kita perlu melihat dulu definisi budaya itu sendiri. Budaya (culture) berakar dari tradisi pertanian yang berarti mengolah tanah.

Barker (2000) menjelaskan bahwa dalam perkembangannya selama abad ke-19, definisi budaya berkembang menjadi lebih antropologis. Raymond Williams, seorang kulturalis Inggris, menggambarkan kebudayaan sebagai ‘cara hidup secara keseluruhan dan bersifat khas’ dengan penekanan pada ‘pengalaman hidup’. Kebudayaan sekaligus meliputi seni, nilai, norma-norma, dan benda-benda simbolik dalam hidup sehari-hari, ia merupakan bagian dari totalitas relasi-relasi sosial. (www.kunci.or.id) Apapun tujuan praktik budaya, sarana produksinya tak terbantahkan lagi selalu bersifat materi. Dalam hal ini musik dangdut bisa dikategorikan sebagai sarana produksi praktik budaya.

Aspek komunikasi dari musik dangdut datang dari banyak segi: lirik, gaya berpakaian penyanyinya, cara bergoyang, bentuk panggung, semuanya mengkomunikasikan pesan-pesan dan nilai-nilai tertentu. Akan sangat menarik untuk membicarakan semiotika pesan dan nilai yang dibawa musik dangdut tersebut. Meski demikian, tulisan ini akan berfokus pada lirik lagu dangdut yang kemudian akan dihubungkan dengan berbagai fenomena untuk menjawab pertanyaan apakah dangdut merupakan bahasa kaum marjinal. Komunikasi budaya memang bukan melulu bicara tentang komunikasi antar etnis, ras atau bangsa. Musik dangdut sebagai bentuk komunikasi dari nilai-nilai budaya kaum pinggiran (atau terpinggirkan) juga menarik untuk dibicarakan sebagai cakupan dari komunikasi budaya.

Cinta dan Moralitas si Miskin

Faruk HT, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, dalam esainya di situs Kunci cultural studies berpendapat bahwa dangdut adalah musik yang digemari oleh kelompok masyarakat marginal, baik secara ekonomis maupun secara geografis. Dari segi ekonomis, dangdut merupakan musik yang digemari oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah, misalnya para buruh di perkotaan. Dari segi geografis, ia merupakan musik yang hidup dan dihidupi oleh kelompok masyarakat yang ada di pinggiran, baik pinggiran kota, pedesaan Jawa, pesisir, ataupun luar Jawa yang menjadi pusat kekuasaan ekonomi, politik, dan bahkan kultural masyarakat Indonesia.

Ada teramat banyak lirik lagu dangdut yang seolah menegaskan posisi marjinal kaum penggemarnya. Mayoritas lirik lagu dangdut bicara tentang cinta dan moralitas dalam kacamata si miskin. Perhatikan lirik berikut: sebelum kamu mau/pikir-pikir dahulu/semua orang tahu siapa diriku/karena aku termiskin di dunia/kau orang kaya, aku orang tak punya/ Ada aroma inferioritas dalam lirik tersebut, terutama di kalimat terakhirnya. Bagaimana si penyanyi merasa dirinya yang miskin tidak pantas mendapatkan pujaan hatinya yang secara sosial ekonomi lebih tinggi daripada dirinya.

Irasionalitas dalam cinta juga tersirat dalam teks jangan kau bunuh aku dengan cinta/lebih baik aku mati di tanganmu/daripada aku mati bunuh diri/ Siapapun bisa menderita karena cinta, tetapi lewat teks tersebut ‘bunuh diri’ sebagai suatu kategori irasional diposisikan sebagai monopoli kaum miskin yang, karena kurangnya pendidikan, ketika mengalami patah hati tidak mampu berpikir jernih dan rasional.

Bagaimana dengan moralitas? Lewat lagu-lagu Rhoma Irama, moralitas ‘diajarkan’ dalam bentuk komunikasi searah. Bagaimana Rhoma Irama memosisikan dirinya sebagai pihak yang serba tahu, memberikan pengarahan pada para pendengarnya (yang serba tidak tahu). Dalam lagu begadang jangan begadang/kalau tiada artinya/begadang boleh saja/asal ada gunanya/ misalnya. Lalu lagu-lagunya yang memiliki pesan moral untuk melarang berzina, mabuk, mencuri, berjudi. Lewat lagunya, Rhoma Irama seolah bicara pada segerombolan besar manusia yang liar, bodoh dan perlu ditertibkan.

Kesamaan dalam teks-teks lagu dangdut, baik itu tentang cinta maupun moralitas, adalah dari bahasa yang digunakan. Kalimat-kalimat teksnya sederhana, langsung pada poinnya, tidak mengandung metafora atau analogi puitis, cenderung dramatis, serta acap kali berima (ab-ab atau aa-bb) sebagai pengaruh dari langgam melayu yang menjadi akarnya. Sekarang pertanyaannya adalah: apakah teks lagu dangdut menjadi bahasa kaum marjinal karena karakteristiknya yang demikian, atau memang karakteristiknya sengaja dibuat demikian agar dapat menjadi bahasa bagi kaum marjinal? Mana yang lebih dulu?

Disini kita bisa menilik paham strukturalisme, aliran pemikiran yang lebih mementingkan hubungan antar hal ketimbang hal itu sendiri. (L.P. Hok, 2005) Ide awal tentang strukturalisme datang dari pakar bahasa Ferdinand de Saussure. Pokok ajarannya adalah, seperti ditulis Bertens (p.182-183), “.. yang penting dalam bahasa ialah aturan-aturan yang mengkonstruksikannya. Yang penting ialah susunan unsur-unsurnya dalam hubungan satu sama lain. Yang penting adalah relasi-relasi dan oposisi-oposisi yang membentuk sistem itu. Setiap tanda bahasa mewujudkan suatu nilai yang tercantum di dalam sistem bahasa bersangkutan menurut perbedaannya dengan tanda-tanda lain yang mewujudkan nilai-nilai lain.”

Meskipun awalnya dari studi bahasa, Saussure sendiri sudah yakin akan datang masa dimana ilmu-ilmu pengetahuan yang lain akan memakai paham ini sebagai dasar untuk memandang berbagai fenomena. Salah satunya seperti yang dilakukan antropolog Claude Lévi-Strauss yang mengaplikasikan strukturalisme ke dalam ilmu antropologi. Dalam salah satu studinya, Lévi-Strauss mengungkapkan bahwa sebagaimana bahasa seluruhnya merupakan sistem tanda, demikian pun unsur-unsur bahasa yang disebut fonem-fonem merupakan suatu sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi. (Bertens, 1996)

Dalam kasus musik dangdut, dapat kita lihat bahwa unsur struktur sangat memainkan peran. Dangdut mendapat peran sebagai musik kaum marjinal karena demikian yang diminta oleh struktur yang melingkupinya. Struktur yang ada menafikan eksistensi dangdut sebagai musik yang memiliki keunikannya sendiri, mungkin dari segi tone, beat, dan lain-lain. Relasi dan oposisi dalam struktur tersebut dapat kita lukiskan sebagai berikut,

Kota : Desa
Non-dangdut : Dangdut
Berpendidikan : Bodoh
Kaya : Miskin
Modern : Kampungan

Struktur telah mengkonstruksinya sedemikian rupa sehingga hubungan antar hal yang terbina lebih penting daripada hal itu sendiri. Relasi antara dangdut dengan musik lain, dalam hal ini mengenai citra psikografis, sosial, ekonomi pendengarnya, lebih diperhatikan daripada melihat kekhususan masing-masing jenis musik itu sendiri.

Karena struktur yang melingkupinya inilah, lirik lagu dangdut kemudian menyesuaikan dengan ‘kapasitas’ dan kondisi pendengarnya. Sama saja dengan musik jazz, yang tadinya merupakan musik pemberontakan malah menjadi musik yang identik dengan kaum menengah ke atas. Perhatikan bahwa iklan-iklan produk yang sasaran marketnya mid-low banyak menggunakan jingle dengan musik dangdut. Banyak pula pejabat-pejabat negara kita yang ‘mendadak dangdut’ (meminjam judul film karya Rudi Soedjarwo) sampai mengeluarkan album menjelang pemilihan pejabat untuk meraih hati kaum marjinal, yang jumlahnya memang sangat besar.

‘Bukti’ lain yang mendukung proposisi ini adalah yang ditulis Faruk HT,

“Pada waktu saya remaja, salah satu lagu yang kami gemari dan nyaris menjadi lagu wajib adalah "Begadang". Meskipun lagu itu mengajarkan agar orang jangan begadang kalau tidak perlu, jangan begadang karena hal itu dapat merusak badan, kami tidak pernah tergelitik untuk berhenti begadang atau hanya begadang kalau ada perlunya. Saya pribadi, sebagai bagian dari masyarakat penggemar dangdut, merasakan bahwa justru dengan tetap begadang tanpa ada perlunya kami menegaskan identitas kami, menjadi bangga pada diri kami. Lagu itu, dengan demikian, kami gemari bukan sebagai petuah yang harus diikuti, melainkan petuah yang harus dilanggar. Adanya petuah itu, bagi kami, hanya menegaskan bahwa jalan kami memang lain dari mereka yang "begadang kalau ada perlunya".


Dapat dilihat bahwa, ternyata, para pendengar Rhoma Irama tidaklah sepasif yang dikira. Mereka, seperti dicontohkan Pak Faruk remaja, bisa menjadi audiens aktif yang memilih sendiri apa yang mau dilakukan dengan lagu yang mereka dengar. Dalam hal ini, meminjam konsep Stuart Hall, mereka malah menjadi oppositional reader yang melakukan hal berlawanan dengan apa yang dimaui teks. Jadi, dangdut dipersepsikan sebagai bahasa kaum marjinal karena struktur yang melingkupinya, bukan karena karakter musik dangdut memang demikian adanya.

Konsekuensinya, kita tidak bisa lagi berpikiran sempit bahwa jenis musik tertentu adalah untuk kaum tertentu dan hanya bicara pada kaum tertentu. Kebudayaan, dalam hal ini termasuk musik dangdut, bersifat “politis karena ia mengekspresikan relasi sosial kuasa kelas dengan cara menaturalisasikan tatanan sosial sebagai suatu fakta ‘niscaya’, sehingga mengaburkan relasi eksploitasi di dalamnya”. (Barker, 2000)

Sebagai penutup, kita dapat merefleksikan kalimat Herbet J. Gans dalam pembukaan bukunya, “.. that all people have a right to the culture they prefer..”

*ditulis untuk kompetisi esei mahasiswa jurusan ilmu komunikasi se-Jawa Tengah, 2006. diposting dengan sedikit perubahan tekstual. gambar dari herukurniawan.com

5 comments

  1. keren nih...
    jadi kesimpulannya, struktur masy, buat dangdut jadi musik marjinal, bkan?
    wah, tapi ada sisi lain yang bsa kita gali di musik dangdut, sis inferiotitas lagu dangdut ternyata tidak berbanding lurus dengan kehidupan mereka. misal di desa2, orang2 yang berpunya juga gemar dangdut... mereka bukan marjinal, karena masuk ke strukutr masy kelas atas...
    jadi menurutku, dangdut ini jadi seakan musik marjinal karena ada semacam perbedaan selera yang tercipa dari kehidupan mereka sendiri...
    orang kota gemar musik pop-rock, kerena kehidupan yang menuntut seperti itu...
    orang desa gemar musik dangdut, karena kehidupan yang membuat mereka seperti itu pula...
    jadi masalah segmentasi...
    buktinya, saat ini dangdut mulai digemari masy kota dengan kemasan yang lebih pop, bahkan sudah ada pop-melayu yang konon dipopulerkan oleh gruop band Malaysia dulu, kemudian Peter Pan dengan cengkokkan khasnya, dan kini ST 12....
    masalah segmentasi lagi...
    misal tempe, kenapa tempe disebut makanan kampung? karena di kampung jarang burger, sementara di kota burger jadi biasa...
    asimilasi budaya yg seperti itu yang menjadi pendapatku untk menyanggah tulisan ini bahwa dangdut bukan bahasa marjinal... namun merupakan segmentasi kehidupan sosial masy...

    ReplyDelete
  2. tambahan: bisa dilihat dari pernyataan, begadangnya Rhoma, belum tentu jadi sikap hidup manusia yang disebut Andien sebagai marjinal...
    bisa juga lagu ini akrab di telinga masy desa karena budaya pop yang belum merasuk ke sana... sementara orang kota telah terinfeksi budaya pop yang keakuan...
    bisa jadi dangdut ini jembatan antara budaya belum pop dan budaya pop...

    ReplyDelete
  3. @ Anonymous: terimakasih untuk komentarnya yang menarik sekali :)

    Mm.. sebenarnyalah tulisan ini tidak bertendensi untuk menyimpulkan bahwa dangdut adalah bahasa kaum marjinal. Itulah mengapa saya menempatkan tanda tanya (?) di akhir judul. Dalam dunia pascamodern seperti sekarang, sesungguhnya sudah tidak relevan lagi bicara apakah budaya tertentu milik kelas tertentu dalam masyarakat, sebab segala sesuatunya tergantung pada bagaimana cara mengemasnya. Orang akan menelan apa pun yang dirasa mendukung citra mereka, bukan? saya kira memang pada akhirnya kita harus meniadakan konsep esensi, termasuk dangdut-sebagai-musik-marjinal-pada-dirinya-sendiri.

    Adapun tentang budaya pop dan belum-pop (kok terdengar seperti dikotomi asli dan cuma-miripnya Oom Roy, ya? hehe..) saya ragu yang pop tidak masuk ke desa. Pop, dari kata popular, adalah terminologi yang merujuk pada area penyebaran yang luas dan segmentasi yang cair, alias bisa dinikmati siapa saja. Dengan demikian, dangdut (sebagaimana produk-produk budaya lain) pop belaka sejauh ia banyak dikonsumsi orang.

    ReplyDelete
  4. "Adapun tentang budaya pop dan belum-pop (kok terdengar seperti dikotomi asli dan cuma-miripnya Oom Roy, ya? hehe..) saya ragu yang pop tidak masuk ke desa. Pop, dari kata popular, adalah terminologi yang merujuk pada area penyebaran yang luas dan segmentasi yang cair, alias bisa dinikmati siapa saja. Dengan demikian, dangdut (sebagaimana produk-produk budaya lain) pop belaka sejauh ia banyak dikonsumsi orang."
    nah ini yang aku maksud Din. Betapa pandangan awal kamu pasti, apakah musik dangdut dengan lirik yang seperti ini merupakan bahasa kaum marjinal? itu pandangan "pop yang ada di kota", jadi itu pertanyaan orang kota Ndin. Aku lbh tertarik dengan soal, sejauh mana dangdut mempengaruhi etika individu masyarakat... jika ditarik lbh jauh bisa menganalisis pola interaksi hub masy desa... jadi bagaimana dangdut lahir itu sendiri kan sbnrnya mrupakan "susupan" dari budaya pop, toh dangdut dulu, zaman Rhoma, pun banyak berbau rock... tahu sendiri bagaimana teriakan Rhoma yang khas rock di beberapa lagunya...
    krena ku yakin, budaya yang ajek di suatu masy menentukan etika individu dan kemudian interaksi sosial... kalo dangdut yg skrg kan picisan bgt tuh, sekadar hiburan, tapi siapa yg tahu, kalo musik dangdut tlah atw sdang menginspirasi masy di daerah tertentu...???

    ReplyDelete
  5. nah, sepertinya menarik bikin analisis resepsi masyarakat desa terhadap musik dangdut :)

    ReplyDelete