Perempuan yang "Terbelah"


Tokoh perempuan di televisi Indonesia pada umumnya terbagi menjadi dua; si baik dan si jahat. Atau dalam istilah majalah Bobo, Nirmala dan si Sirik. Yang jadi Nirmala biasanya digambarkan berdandan tipis minimalis, bicaranya halus, jika dimarahi tidak melawan dan jika dibentak-bentak hanya istighfar.
Si Sirik sebaliknya. Dandanannya luar biasa tebal, seolah-olah segala jenis kosmetik ditumpahkan begitu saja ke wajahnya. Berperan jadi pihak yang memarahi dan membentak-bentak. Kalau bicara matanya melotot, dagunya mendongak, beda betul dari perempuan jenis Nirmala yang banyak menundukkan kepala. Apakah cara masyarakat kita memandang perempuan Indonesia, sama dengan apa yang terlihat di layar kaca?
Kalau jawabannya ya, gawat betul. Soalnya layar kaca kita cenderung kejam terhadap perempuan. Posisinya digambarkan sebagai hitam-putih: protagonisnya seperti malaikat yang kurang darah sehingga terkesan pasrah, sementara antagonisnya seperti monster betina dengan nafsu berkuasa yang menyaingi Adolf Hitler.
Contoh paling mudah adalah yang bisa kita lihat dalam sinetron Inayah. Tadinya sinetron ini memang tidak ikut-ikutan sinetron RCTI yang kurang kreatif itu, di mana judul sinetron dipastikan adalah nama tokoh gadis pemeran utama. Inayah tadinya berjudul Hareem, tapi karena penamaan itu menuai protes maka terpaksa diganti.
Ceritanya berkisah tentang Kanjeng Doso, seorang pengusaha kaya dengan banyak istri. Mengapa persisnya seorang pengusaha kaya lantas jadi kolektor istri sebenarnya menarik untuk dibahas, tapi kita tinggalkan dulu. Istri-istri Kanjeng Doso inilah yang dengan tepat merepresentasikan hitam-putih perempuan di layar kaca.
Secara umum istri-istri Kanjeng Doso terbagi menjadi dua: grup Nirmala dan grup si Sirik. Grup Nirmala adalah kelompok istri yang baik-baik, pasrah dan berkerudung. Sementara grup si Sirik adalah kelompok istri yang selalu bergunjing dan tidak menutup aurat.
Perlakuan Kanjeng Doso terhadap istri-istrinya pun sangat hitam-putih. Terhadap grup Nirmala ia begitu membela, sementara grup si Sirik sering menerima hukuman yang aneh-aneh karena kelakuan mereka. Pernah Kanjeng Doso mengikat istri-istri dari grup si Sirik ke kursi, dan memasung salah seorang dari mereka di gudang. Terlepas dari jalan cerita yang ngibulnya nemen itu, perlakuan Kanjeng Doso benar-benar memprihatinkan. Seolah-olah memang perempuan ‘jahat’ harus menerima hukuman fisik supaya bisa kembali ke jalan yang benar.
Sikap Kanjeng Doso ini diikuti anak angkatnya Aryo yang juga beristri banyak (apakah kecenderungan poligami diturunkan lewat pola asuh?) yang menghukum istri-istrinya dengan cara menyuruh mereka menulisi buku tulis dengan kalimat-kalimat penyesalan, sampai penuh. Ketika kemudian terbukti mereka curang dalam menyelesaikan tugas itu, Aryo menyuruh istri-istrinya berdiri dengan satu kaki dan tangan memegang telinga. Persis anak SD.
Saya sungguh cemas bahwa nantinya akan timbul pola pikir masyarakat bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang masuk grup Nirmala sementara perempuan yang menunjukkan gejala-gejala mirip si Sirik serta merta disebut sebagai perempuan yang tidak baik-baik. Belum lagi atribut dan tuntutan yang akan ikut menempel pada perempuan akibat pencitraan biner yang dangkal ini. Bukankah perkara sifat manusia tidaklah sesederhana itu?
Orang-orang pinter dari Perancis dan Jerman sana pernah berkata bahwa apa yang kita sebut dengan sifat baik itu tidak datang mak jegagig dari langit. Sifat baik juga dibentuk sedemikian rupa, disepakati oleh manusia lewat dialog antarbudaya, antarkultur dan antarperadaban, barulah kemudian diterima sebagai sebuah kewajaran yang tidak perlu lagi dipertanyakan.
Salah seorang dari mereka (yang kumisnya paling tebel) malah lebih ekstrim. Ia bilang, sifat baik tidak lebih dari proyeksi manusia untuk menguasai lingkungan dan sesamanya. Atribut yang menempel pada orang-orang yang bersifat baik memberikan kemudahan bagi mereka untuk memeroleh apa yang mereka inginkan. Dengan kata lain, itu toh hanya trik, meskipun mereka sendiri belum tentu menyadarinya.
Dengan logika berpikir seperti ini, sinetron Inayah akan menjadi jauh lebih lucu dan lebih menarik. Jangan-jangan istri-istri dari grup Nirmala yang baik-baik dan berkerudung itu bersikap manis agar tidak kehilangan identitasnya sebagai pendamping suami yang dicintai, sementara perempuan-perempuan dari grup si Sirik ternyata lebih jujur dan tidak munafik menampilkan maksudnya untuk berkuasa.
Tentu saja logika yang serba dibolak-balik ini hanyalah alternatif pandangan. Hal yang lebih penting adalah kesediaan kita sebagai penonton untuk selalu mau mengkritisi apa yang kita saksikan. Istri-istri Kanjeng Doso memang tokoh fiktif, tapi bukankah dalam hidup ini selalu ada yang bisa kita pelajari, bahkan dari sesuatu yang tidak benar-benar nyata?
Seorang perempuan berdandan tebal atau tipis, berkerudung atau tidak, ngomongnya kasar atau halus, tidaklah seratus persen menentukan seperti apa perangainya. Ini harus kita sadari betul. Jika kita terlalu terlena dengan pola pikir “kemasan menunjukkan isi”, karakter bijaksana dan berpikiran terbuka akan makin jauh dari genggaman.

(Dimuat di Suara Merdeka, Edisi 19 Juli 2009)

2 comments