Menjelang Pilpres


Menjelang pemilihan presiden, sebagai rakyat kita patut merasa bahagia. Para elit politik yang selama ini hanya bisa didengar suaranya lewat kebijakan-kebijakan (yang patut dipertanyakan bijak atau tidaknya) itu, kini ‘turun gunung’. Kapan lagi bisa melihat Jusuf Kalla duduk santai di sofa, terkekeh-kekeh sembari ditanya-tanyai Andy Noya?
Euforia menjelang pilpres sekarang memang sedang kuat-kuatnya kita rasakan. Dan, itu tidak ada salahnya. Risiko dari pemilihan presiden secara langsung adalah para calon presiden dan wakilnya itu juga berkampanye mendekati rakyat ‘secara langsung’. Untuk itu mereka membutuhkan media yang hangat dan dekat di hati rakyat: televisi.
Betapa banyaknya (untuk tidak mengatakan berlebih), program televisi yang mewadahi keinginan capres-cawapres untuk berpromosi. TV One menawarkan Presiden Pilihan, Atas Nama Rakyat, Debat Presiden, Satu Jam Lebih Dekat, Kabar Pemilu, Apa Kabar Indonesia. Metro TV punya Election Update, The Candidate, Partai Bicara, Genta Demokrasi, dan Kafe Demokrasi.
Trans TV menghadirkan Rona Pemilu, Hitam Putih Pemilu, Quick Count Pemilu 2009, Kandidat Sang Presiden, serta Argumen Capres dan Cawapres. Trans 7 dengan Pesta Demokrasi dan Kursi Panas, SCTV dengan Barometer, sementara ANTV menyajikan Topik dan Empat Lawan Satu.
Banyak memang, dan ngeri membayangkan apa jadinya kalau seseorang nekat menonton semuanya. Tapi, kita bukan mau berhitung-hitung seberapa persen efektivitas kampanye yang dilakukan para capres-cawapres lewat televisi. Bukan juga mau berkomentar mengenai beberapa dari media-media itu yang sudah disemprit Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena dianggap mencuri start.
Lebih menarik buat kita membicarakan bagaimana para capres dan cawapres ini memotret diri mereka sendiri di televisi. Citra apa yang berusaha mereka dapatkan melalui apa yang mereka katakan, bahasa tubuh, gaya berpakaian, bahkan bagaimana cara tertawa dan kapan mereka memutuskan melakukannya.
Saya memerhatikan bahwa pasangan-pasangan capres dan cawapres ini cenderung tampil lebih santai di televisi, tapi di saat bersamaan juga waspada. Seolah mereka ingin mengendurkan urat syaraf, tapi sekaligus mengandalkannya jika terjadi sedikit saja salah ucap atau salah gerak. Wajarkah ini? Tentu saja, mengingat budaya menonton di masyarakat kita sungguh luar biasa kuatnya. Siapapun tidak ingin kehilangan suara akibat salah bicara.
Saya menonton Kick Andy episode JK-Wiranto. Dari episode ini kelihatan sekali perbedaan karakter antara mereka berdua. JK duduk dengan santai di ‘ruang tamu’ Andy Noya, kedua lengannya terbuka di atas sofa, ekspresinya ceria, menunjukkan sifatnya yang tak basa basi. Sementara Wiranto lebih kalem. Duduk tegak dengan sorot mata yang tidak berubah. Komentar-komentarnya juga dimaksudkan sebagai resonansi dari pernyataan JK, yang memang selalu lebih duluan mengutarakan pendapat.
Perbedaan bahasa tubuh ini bisa dibaca juga sebagai penegasan karakter ‘selera nusantara’ yang diusung JK-Wiranto. JK menunjukkan keterbukaannya sebagai orang Sulawesi, sementara Wiranto mewakili pihak Jawa yang berhati-hati. Kalau kita cermat, isu Jawa-Non Jawa ini meskipun katanya jangan dibesar-besarkan, tapi justru selalu disebut, dan pada akhirnya malah menjadi slogan.
Megawati-Prabowo juga punya tanda-tanda sendiri yang bisa dibaca. Megawati selalu konsisten masalah air muka. Dahinya mengernyit dan bibirnya tertarik ke bawah jika membicarakan tentang kemiskinan rakyat kecil. Beberapa kali ia menggunakan diksi ‘rakyat saya’, yang menegaskan bahwa ia sudah pernah menjadi presiden, dan masih punya massa.
Prabowo lain lagi. Mungkin untuk menjaga kedekatannya dengan petani, nelayan, dan buruh Indonesia, ia tidak pernah terlihat memakai baju yang sedikit ‘berani’. Setelan yang sering digunakannya adalah setelan safari warna krem, padahal dengan kekayaan 1,7 trilyun rupiah ia tentu bisa membeli busana manapun. Kalau perlu pabriknya sekalian.
Sementara, gaya incumbent tak banyak berubah. SBY masih mempertahankan mimik muka serius untuk mendukung citranya yang berwibawa. Meskipun sedang membicarakan hal remeh seperti cerita nge-band di masa muda, tetap saja SBY mengendalikan diri untuk tidak tertawa terlalu keras, tersenyum terlalu banyak, atau memberengut terlalu sering.
Tanda yang bisa dibaca di sini adalah keinginannya untuk selalu bersikap moderat. SBY tidak pernah berani bermain terlalu keras, apalagi di layar kaca. Rakyat perlu melihatnya sebagai sang pemimpin yang meskipun dihujat kanan-kiri tak pernah mau membalas. Bukankah citra ini sudah dipegangnya sejak ia masih jadi menteri, dan ini pula yang membuat rakyat memberinya simpati?
Tanda-tanda ada di mana-mana. Bermain-main dengannya adalah kegiatan yang selalu menyenangkan, apalagi kalau otak kita sudah penuh dengan informasi visi dan misi capres-cawapres yang diulang-ulang dari satu acara ke acara lainnya. Hemat saya, ini solusi paling memungkinkan, karena mau tak mau selama minggu-minggu ke depan kita masih harus menghadapi terpaan visi dan misi ini di televisi..

(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 21 Juni 2009)

No comments