WALL-E dan Persoalan Eksistensi


Melalui sebuah film terbarunya, studio animasi Pixar menceritakan kisah sebuah robot yang tertinggal di bumi. Tanpa teman, ia mencoba memaknai kehadirannya sendiri.

Alkisah, bumi pada abad 22 telah menjadi demikian terpolusi sehingga tak lagi layak untuk dihuni. Berbagai macam cara dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal ini, di antaranya dengan menciptakan robot bernama WALL-E (Waste Allocation Load Lifter-Earth-Class) yang bertugas membersihkan bumi selagi ditinggalkan manusia.

Sayang, badai keburu menerpa hingga ribuan robot WALL-E gagal melaksanakan tugasnya. Tujuh ratus tahun kemudian, hanya sebuah robot WALL-E yang masih bertahan di bumi. Ia mengumpulkan barang-barang peninggalan manusia untuk dijadikan teman. Robot ini belajar merasakan emosi dari menonton film Hello, Dolly! (1969). Adegan demi adegan dicermati WALL-E, khususnya adegan berpegangan tangan yang dipelajarinya sebagai salah satu ekspresi kasih sayang.

Menyaksikan WALL-E berjuang memaknai kehadirannya sejatinya bagaikan menyaksikan diri kita sendiri. Kita memang tidak tinggal sendirian di bumi, tidak pula jadi manusia terakhir di tengah makhluk lain seperti tokoh yang diperankan Will Smith dalam film I Am Legend. Toh, manusia tetap kerap merasa sendiri. Di tengah lingkaran pergaulannya manusia masih sering merasakan keterasingan.

Persoalan menyangkut eksistensi ini kemudian berakar pada satu pertanyaan: bilamana manusia menemukan makna kehadirannyadi dunia? Apakah makna itu didapat dari kesendirian, atau justru dengan keterikatan dengan benda-benda? Apakah makna eksistensi manusia ditentukan dari kemampuannya untuk berdiri sendiri sebagai individu, atau justru didapat dari hubungannya dengan manusia lain?

Seorang yang senang bergaul biasanya kerap tenggelam dalam jadwal bersosialisasi yang padat. Namun, ini tidak menjamin ia tidak pernah merasakan kesendirian. Bisa jadi ia sering merasakan apa yang disebut sebagai perasaan kesepian di tengah keramaian. Sebaliknya, orang yang soliter belum tentu kesepian. Bisa jadi ia merasa cukup dengan dirinya sendiri dan karenanya seperti tidak memerlukan orang lain untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasinya.

Tidak hanya kepada manusia lain, seseorang kerap mengaitkan eksistensinya dengan benda-benda. Seorang kolektor fanatik barang antik mungkin akan merasa hampa tanpa koleksinya. Hal ini sama dengan ‘anggota’ aliran agama dan kepercayaan yang merasa identitasnya ditentukan oleh apa yang ia percayai. Seluruh sikap hidupnya ditentukan berdasarkan apa yang diajarkan oleh aliran agama atau kepercayaannya itu. Tanpanya, ia akan merasa kosong dan kehilangan pegangan.

Di Indonesia, fenomena ini memang marak terjadi. Sejak aliran sempalan hingga fanatisme suporter sepakbola yang menggila, masyarakat kita seperti selalu punya alasan untuk memproyeksikan identitasnya pada hal-hal di luar diri. Proyeksi ini begitu dahsyatnya sehingga mereka rela mempertaruhkan harta dan nyawa untuk hal yang dibelanya. Pertempuran sesama saudara terjadi di sana sini karena masyarakat kita memilih membela apa yang dipercayainya ketimbang memelihara ‘perdamaian’.

Di sisi lain, ada pula kaum apatis yang seolah tidak memedulikan sekitarnya. Alasan menghindari konflik sering digunakan oleh kaum ini untuk membenarkan sikap tersebut.Daripada berselisih, lebih baik tidak memperdebatkan apapun. Barangkali ini adalah jalan aman, namun jelas kontra produktif terhadap kemampuan masyarakat ini untuk saling berkomunikasi.

Agaknya dalam hal lagi-lagi ini harus terjadi proses dialektika. Kepercayaan membabi buta terhadap sesuatu adalah sama buruknya dengan apatisme. Fanatisme mengarahkan masyarakat ke arah perpecahan tak terhindarkan, sementara ketidakpedulian akan membunuh iklim komunikatif dan pelan-pelan akan memberikan hasil yang sama destruktifnya.

Filsuf Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) memberikan analogi tentang kehidupan dalam usahanya menjelaskan eksistensialisme versi dia. Beginilah analogi tersebut: kita sendirian dengan sampan kecil kita, terombang-ambing di tengah samudera yang amat luas, merasa gelisah karena kita sendirian tanpa penolong, tapi juga sekaligus kuat karena kita tahu bahwa kita hanya memiliki diri kita sendiri.

Konsep ini berlanjut dengan penegasan filsuf Jerman tersebut bahwa kita hanya bisa mengandalkan diri kita sendiri, bahwa kita bisa mendapatkan apa-apa yang kita mau dengan tangan kita sendiri, bahwa hidup itu memang ngeri dan gila, serba tak pasti, penuh tragedi, dan dengan mencintai hidup apa adanya baru kita bisa benar-benar bahagia. Kata Nietzsche: amor fati, ego fatum. Aku mencintai nasib, karena akulah nasib.

Betapapun, hal ini masih menimbulkan pertanyaan bagi kita. Seperti apakah kesendirian yang dimaksudkan oleh Nietzsche? Apakah seperti WALL-E, hidup sendiri dan berteman dengan benda mati? Apakah hanya lewat sikap soliter ekstrim seseorang baru bisa memperoleh eksistensi sejatinya sebagai individu?

Seumur hidupnya, Nietzsche tidak bertuhan, tidak berkawan, tidak berkewarganegaraan, tidak beristri, tidak beranak dan tidak pula bertempat tinggal. Apakah seperti ini kesendirian yang dimaksudkan Nietzsche, mengingat fakta bahwa di akhir hidupnya sang filsuf menjadi gila karena tidak memiliki kawan bicara? Dan jika ya, haruskah gaya hidup ini diadopsi oleh ‘orang biasa’ seperti kita?

Jawabnya, tentu tidak. Bagian dari menentukan eksistensi adalah persoalan subjektivitas yang harus dijunjung tinggi. Masing-masing individu memiliki caranya sendiri dalam memaknai eksistensinya di dunia. Hanya saja, yang jelas harus disepakati bersama adalah kesediaan untuk menampung keberagaman cara ini dalam sebuah konsep besar bernama toleransi.

(dimuat di Suara Merdeka Edisi Minggu, 31 Agustus 2008)

1 comment

  1. menyukai tulisan ini

    aku pernah nulis, iseng2 nulis tepatnya karena sama sekali tidak ada media yg mau memuat seperti tulisanmu ini:) tentang pertanyaan sederhana :
    ketika kita telanjang, bisakah kita mendefinisikan diri kita sendiri, tanpa membawa atribut2 yg kita bawa selama ini.
    dengan kata lain
    apakah saat diri kita benar2 sendiri apakah kita bisa memahami eksistensi diri kita
    atau kita eksis/merasa berada hanya karena hal2 eksternal dari diri kita.
    karena kalo demikian, bukankah tidak ada manusia yang utuh melainkan hanya serpihan2 puzzle yang saling bergantung satu sama lain.

    well, sayangnya
    aku cuma nulis tanpa dasar pengetahuan teoretik maupun empirik karena ga pernah baca buku cuma ngandalin insting,
    sedangkan dirimu sangat 'ngeh' dg nietzsche dan filsuf2 lainnya

    salut
    tulisan yg cerdas

    ReplyDelete