Sinetron dan Jejak Keterlibatan Penonton


“Konsentrasi, ekspresi, and… action!!” Seorang pria gemuk berwajah jenaka berseru-seru dengan megafon di tangannya. Topi pet bertengger di atas rambutnya yang keriting. Dengan kacamata besar, dan kostum tak standar, rasanya pria itu sudah cukup nyentrik untuk ukuran seorang sutradara.

Tapi, diakah sang sutradara? Ternyata bukan. Dengan senyum mengembang, pria nyentrik itu memandu penonton untuk memilih sendiri jalan cerita sinetron yang sedang berlangsung. Konsep pilihan berganda untuk ending cerita diterangkannya satu per satu, kemudian ia menyebutkan deretan angka nomor SMS interaktif. “Di acara ini, andalah sutradaranya!” katanya, sumringah.

Ya, itulah acara Sinetron Live Action yang sudah ditayangkan SCTV sejak Juli 2008. Acara ini merupakan format ulang sinetron Empat Dara, sebuah drama yang tayang di SCTV dua bulan sebelumnya. Dengan memakai nama-nama baru seperti Dwi Putrantiwi, Hesti Purwadinata, Vivi Rahmawati, dan Junita, sutradara Jonggi Sihombing berencana untuk menawarkan sesuatu yang baru dalam dunia persinetronan Indonesia.

“Kenapa sinetron? Tidak komedi sekalian? Karena, kami memang ingin merebut pasar sinetron. Tayangan ini terbukti masih digemari banyak orang. Dan kami coba menampilkan sesuatu yang berbeda. Di acara ini, tidak ada proses editing dan rekaman. Para pemain juga harus siap dengan alternatif pilihan pemirsa.” kata Jonggi seperti dikutip blog Kajian Media dan Literasi Televisi (Kamelia TV).

Tidak ada proses penyuntingan barangkali terdengar gila. Bukankah sinetron Indonesia terkenal dengan adegannya yang selalu tampak dramatis? Dengan pemainnya yang sering tiba-tiba muncul di depan kamera, sulit membayangkan sinetron dibuat secara live. Bagaimana kalau tiba-tiba si aktor atau aktris muda itu melakukan kesalahan dalam berakting? Misalnya, salah sebut nama, salah dialog, keseleo lidah, ketika marah mukanya datar, nangisnya tidak keluar air mata, atau minimal, mak jegagig muncul di depan kamera yang salah. Bisa kacau!

Tapi agaknya segala kekuatiran itu bisa ditepiskan oleh SCTV yang sedang dalam semangat menawarkan kebaruan. Terobosan itu, tak lain dan tak bukan, adalah meningkatkan keterlibatan penonton sinetron. Jika sebelumnya penonton hanya bisa mlongo melihat wajah Fitri dan Farrel, atau sekarang Melati dan Marvel, kini mereka bisa menentukan jalan cerita hanya dengan mengetik SMS.

Jika ditarik mundur, jejak keterlibatan penonton dalam tayangan televisi barangkali dimulai sejak acara kuis-kuisan dan musik-musikan marak ditayangkan. Kita tentu masih ingat kuis terkenal di tahun 1990-an macam Jari-Jari, dan acara musik laris Anda Meminta Kami Memutar (AMKM) yang dipandu Rina Gunawan. Dua acara ini sekadar contoh bagaimana penonton merasa senang dilibatkan dalam acara, tak peduli mengadu untung atau memesan lagu, pokoknya mereka ada di situ.

Keterlibatan ini mengental dalam acara reality show bertema cinta. Misalnya dalam rangkaian reality show Asam Manis Cinta SCTV: Pacar Pertama, Backstreet, Cinta Lokasi, Mak Comblang, Cinta Monyet, para host tak pernah lupa mengajak pemirsa untuk menebak ending kisah lewat SMS. Iming-iming hadiah uang memang ada, tapi toh jumlahnya tak seberapa. Kesempatan menangpun mestinya tak begitu besar mengingat kuota penonton dibanding hadiah yang cuma untuk dua orang. Toh, mereka tetap saja mengirim SMS.

Nah, Sinetron Live Action meradikalkan keterlibatan ini. Tidak hanya menebak jalan cerita, penonton diposisikan sebagai sutradara. Hanya dengan mengetik pesan singkat lewat ponsel, seorang penonton yang sedang leyeh-leyeh di atas sofa rumahnya pun bisa menentukan jalan cerita. Ia bisa saja tak mengerti filmografi. Ia bisa jadi tidak nyentrik. Tetapi, ketika jalan cerita yang diusulkannya diterima, ialah sang sutradara. Memang dalam hal ini Sinetron Live Action menjadi seolah mempopuliskan posisi sutradara. Ia bukan lagi sesuatu yang sakral

Konsep ini barangkali mirip dengan buku dongeng anak-anak yang kerap memberi pilihan di tengah cerita. Seorang anak bisa menentukan pilihannya sendiri, di mana setiap pilihan itu akan membawa mereka ke halaman yang berbeda, dan tentu saja, jalan cerita yang berbeda. Buku dongeng itu, seperti Sinetron Live Action, membawa anak yang membacanya menjadi sutradara dalam ‘film’ mereka sendiri.

Lantas, apa yang sebenarnya membuat para penonton begitu rela membuang sekian rupiah demi berpartisipasi dalam sebuah tayangan? Jawabannya, eksistensi diri. Kepuasan batin sebagai penonton barulah terasa lengkap ketika ia bebas menentukan kode-kode seperti apa yang ingin dilihatnya dalam sebuah acara.

Pengkaji budaya asal Inggris, Stuart Hall, pernah menyebutkan tiga tipe khalayak dalam menanggapi sebuah tayangan. Pertama, kata Hall, adalah mereka yang memberontak terhadap pesan yang disampaikan tayangan. Mereka ini adalah orang-orang yang punya standar nilai yang kebetulan berbeda dengan jalan cerita tayangan yang dilihatnya. Kedua, adalah mereka yang negosiatif. Tidak setuju, tapi juga tidak menolak. Mereka membuat konsep pembacaan sendiri. Ketiga, mereka yang menyetujui pesan tayangan yang kebetulan klop di hati. Kata Pak Hall, ketiga tipe khalayak ini baru ketahuan ketika diteliti dengan seksama, sebab umpan baliknya tertunda. Artinya, para penonton menyimpan kode-kodenya di dalam benak saja.

Nah, pemisah-misahan khalayak ini semuanya lebur di tangan acara macam Sinetron Live Action. Apakah itu menolak, menegosiasi, atau menyetujui, semua bisa disalurkan. Ada mediumnya, yaitu lewat SMS. Penonton tidak perlu memendam kode pembacaannya dalam hati. Penonton tidak harus sebel sendiri. Kalau tidak sreg, bukankah tinggal SMS saja supaya nanti ending ceritanya bisa sesuai kata hati?

Hal ini, bisa jadi, adalah gejala demokrasi dalam menonton televisi. Bahkan acara paling popular seperti sinetron pun bisa disulap menjadi ajang interaktif bagi penonton. Apa efeknya? Paling tidak, penonton memperoleh penyaluran untuk pembacaaannya terhadap tayangan. Ia tidak hanya menikmati, tapi juga berkreasi. Tidak hanya mengkonsumsi, tapi juga berproduksi. Mungkinkah akan datang masa di mana sinetron juga bisa menginspirasi masyraakat?

Kita tunggu saja apakah seterusnya akan terdapat modifikasi dan inovasi baru terhadap sinetron. Action!

(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 21 Desember 2008)

No comments