Sinema Reliji Versus Pendidikan Beragama


Setelah Ayat-Ayat Cinta (AAC) dan Kun Fa Ya Kuun, awal bulan Juni nanti audiens layar lebar Indonesia akan disuguhi satu lagi sinema reliji berjudul Mengaku Rasul. Apa isinya?

“Film ini mengangkat fenomena dan keresahan umat Islam terhadap aliran-aliran sesat yang semakin liar dan brutal, dan sebuah langkah kecil juga dari saya sebagai pembuat film ini untuk menumbuhkan rasa cinta yang dalam kepada Rasulullah Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul hingga akhir zaman.” tutur Helfi Kardit, sang sutradara.

Tak ketinggalan, Ustadz Jefri Al Bukhori turut memberi komentar. Singkat saja kata-kata pujian dari ustadz yang mulai menawarkan jasa siraman rohani lewat sms ini, “Film ini luar biasa. Mudah-mudahan bisa menambah khasanah film-film terbaik di Indonesia.”

Seperti AAC, film Mengaku Rasul pun membidik kalangan generasi muda. Hanya bila AAC menyoroti bagaimana hubungan cinta antara lelaki dan perempuan dalam pandangan Islam, Mengaku Rasul memberi peringatan agar generasi muda tidak salah tempat dalam mencari pencerahan.

“Film ini cerminan untuk kaum muda mudi (umat muslim) yang harus waspada sekali apabila mencari pencerahan rohani dan sebagai benteng diri.” komentar Ustadzah Hj.Yumma Abu Bakar.

Meski belum ketahuan seperti apa sinopsis lengkapnya, agaknya dari berbagai testimoni di atas kita bisa mengambil kesimpulan awal bahwa film produksi Starvision ini terilhami fenomena macam Ahmad Musaddeq (Al Qiyadah Al Islamiyah), Lia Eden, dan aliran yang sedang hangat diperbincangkan, Ahmadiyah.

Baik Musaddeq dan Lia Eden sama-sama mengaku nabi setelah Muhammad SAW. Ahmadiyah popular dengan tokoh Mirza Ghulam Ahmad yang juga diyakini sebagai nabi berikutnya. Dari sekian banyak kasus “pemalsuan nabi”, ketiga nama ini memang mendominasi pemberitaan media di Indonesia, dan karena itu juga mendominasi arus perhatian masyarakat.

Publik tentu masih ingat bagaimana ketiga kasus ini menjadi begitu kontroversial. Musaddeq yang tetap dijatuhi hukuman penjara 3 tahun meski telah bertobat, sampai pemboikotan terhadap aliran Ahmadiyah lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) yang hingga kini masih memancing pro dan kontra.

Tak pelu dipertanyakan lagi, suasana beragama di negara kita memang sedang keruh. Publik mudah curiga terhadap apapun yang baru, dan dengan mudah memberi label sesat. Dari sini kita lantas bertanya, di mana posisi para pekerja sinema? Sayang, alih-alih memanfaatkan potensi luar biasa mereka sebagai media edukasi, produksi sinema reliji kita cenderung satu suara. Ia tak memberi ruang untuk merepresentasikan berbagai “warna” agama.

Alih-alih mengajarkan bagaimana menghargai aliran-aliran sempalan sebagaimana adanya, film seperti Mengaku Rasul seolah mengamini dan melegitimasi penolakan keras terhadap berbagai aliran sempalan yang muncul di Indonesia. Apakah ini yang disebut film sebagai media edukasi? Rasanya tidak. Film seperti ini justru mengikuti arus utama reaksi masyarakat Indonesia dalam menghadapi fenomena yang membutuhkan kebijakan berpikir seperti kasus nabi palsu.

Bukan rahasia bila publik beragama Indonesia cenderung keras menanggapi segala sesuatu yang “menyimpang”, dan bukan rahasia pula bila sikap ini lebih sering menimbulkan masalah daripada solusi. Seharusnya dalam keadaan seperti ini, edukasi untuk menghargai perbedaan lebih diutamakan.

Sedangkan untuk pendidikan masyarakat luas, rasanya tak ada media yang lebih efektif ketimbang seni. Film televisi, film layar lebar, sastra, iklan, dan lain-lain. Indikasi ke arah sini memang sudah ada, namun sayang pesan yang dikirimkan lewat berbagai media ini cenderung homogen. Dalam terminologi politik, pesan-pesan ini semuanya “kanan”. Dikhawatirkan pola pikir masyarakat pun akan semakin sewarna, dan semakin tak ada lagi ruang untuk perbedaan.

Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada sekelompok masyarakat yang tidak bisa memberi ruang untuk perbedaan pikiran, kepercayaan, pandangan, maupun gaya hidup. Masyarakat yang tidak dewasa dan tidak bijak semacam ini akan selalu berurusan dengan konflik yang tak putus-putusnya. Untuk ukuran negara yang multi ras dan multi agama, hal ini benar-benar menjadi ancaman serius bagi Indonesia.

Kembali ke film Mengaku Rasul, rasanya tak berlebihan bila kita katakan bahwa ia menjadi kontra produktif terhadap berbagai kasus nabi palsu di Indonesia. Di saat berbagai pihak menyerukan pada masyarakat untuk bersikap bijak dalam menanggapi fenomena ini, untuk tidak semena-mena melabeli sesuatu sebagai salah dan bersikap benar sendiri, film ini justru muncul “mengacaukan” semua usaha pendidikan itu. Alih-alih media edukasi seperti yang diyakini beberapa pihak, kita boleh curiga bahwa jangan-jangan film ini hanya kepentingan pasar semata: semata-mata memenuhi permintaan yang ada.

Apa solusinya? Harus diproduksi juga film-film reliji yang sekiranya bisa menjadi wacana tandingan terhadap homogenitas pesan yang dibawa oleh berbagai sinema reliji yang ada sekarang. Kata “reliji” pun selayaknya diberi definisi ulang. Reliji tidak berarti harus satu warna. Publik harus mendapat referensi lain dari para produsen sinema agar pola pikir mengutamakan harmoni di tengah perbedaan bisa makin dipupuk.

Pertanyaannya, akankah film-film yang nantinya akan berperan sebagai wacana tandingan itu laku dijual, mengingat ia bukan representasi dari selera pasar? Rasanya tidak. Sutradara manapun yang nanti akan memproduksi film-film semacam ini harus menyadari bahwa situasinya kurang menguntungkan dari segi ekonomi.

Lantas, akankah ada martir dalam industri film yang rela mengorbankan rupiah demi kepentingan wacana, karena bagaimanapun bukankah hukum kapitalisme selalu berlaku? Kita lihat saja.

(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 1 Juni 2008 dengan judul "Menunggu Wacana Tandingan")

No comments