Seks dan Ketiadaan Logika



Photo by Gaelle Marcel on Unsplash

Sudah tak berlogika, isinya melulu seks pula. Sambutlah film terbaru produksi K2K, Mas Suka Masukin Aja (MSMA).

Film dengan judul provokatif itu baru saja dirilis pertengahan Oktober lalu. Dengan total 22 ‘artis’ yang bermain di dalamnya, film ini diharapkan akan menuai sukses karena isinya yang ‘sarat pesan moral dibalut kelucuan yang menggelitik’. Selain itu, menurut KK Dheeraj produser sekaligus sutradara film, kekuatan lain dari film ini adalah berpadunya artis senior dan junior sehingga diharapkan film ini akan dapat ditonton segala usia.

Dorce berperan sebagai Mak Irit, antitesis dari Mak Erot. Jika Mak Erot mengemban tugas suci untuk memperbesar penis, maka Dorce sebaliknya. Ia membantu kaum lelaki yang merasa penisnya kebesaran dan perlu dikecilkan. Dorce memiliki tiga asisten perempuan cantik: Kiki Fatmala, Kiki Amelia, dan Verlyta Evelyn. Di antara tiga asisten ini, Dorce harus memilih salah satu yang akan mewarisi kesaktiannya memperkecil penis.

Urusan besar kecil memang jadi benang merah film ini. Jargonnya saja “besar kecil it’s ok”. Ini mengingatkan kita pada film XL (Jamie Aditya, Sarah Sechan, Alex Abbad, Dewi Sandra) yang justru sebaliknya, bercerita tentang keresahan seorang pria yang merasa penisnya terlalu kecil. Dengan segala cara ia mencoba memperbesarnya, sampai akhirnya ia tertipu di tangan Mak Siat, seorang dukun palsu.

MSMA dan XL tidak sendiri. Untuk menyebut film-film baru lain yang berwarna serupa, ada Mupengs, Kawin Kontrak 2, dan Kutunggu Jandamu. Mupengs bercerita tentang tiga mahasiswa jomblo, Angga (Dimas Aditya), Abi (Mario Maulana), dan Eksa (Rizky Mocil) yang merasa hidup mereka gersang, sampai suatu malam mereka memimpikan perempuan yang sama. Ketika besoknya mereka kedatangan mahasiswa baru, Rebecca (VJ Marissa), mereka menganggap itu sebagai pertanda bahwa mereka harus mengejar perempuan itu untuk dijadikan pacar.

Kawin Kontrak 2 melanjutkan Kawin Kontrak dengan konflik yang mirip, artinya masih seputar sewa-menyewa perempuan untuk dijadikan istri sementara. Jody (Ricky Harun) dalam sekuelnya memainkan peran makelar kawin kontrak karena kesulitan ekonomi keluarga. Sampai di Desa Pakelonan, ia harus menghadapi fakta bahwa istri kontraknya dulu ternyata hamil.

Kutunggu Jandamu mengekspos tokoh Perssik (Dewi Perssik) si janda seksi. Perssik yang sedang terlibat masalah dengan mantan suaminya terpaksa harus tinggal di rumah Cherry, kakaknya. Warga pun heboh dengan segenap pro dan kontra keberadaan Perssik yang dipandang mengganggu stabilitas dalam negeri kompleks perumahan.

Di tengah terpaan film-film nasional, kita sebagai audien boleh menjerit tanda protes. Memang benar bahwa perfilman Indonesia sekarang sedang memasuki masa-masa kegairahan, paling tidak dari segi kuantitatif, meski belum gila-gilaan seperti dekade 1970-1980 di mana kita mampu memproduksi 100 sampai 120 per tahunnya.

Benar pula bahwa tidak mungkin semua film yang hadir berkualitas. Pasti ada di sana sini film yang menyebalkan, jenis yang belum selesai ditonton pun sudah membikin perut mulas saking memuakkannya. Bukan rahasia bahwa film-film Indonesia yang nyebelin itu banyak berasal dari dua genre, horor dan seks.

Untuk sementara perbincangan tentang film horor kita kesampingkan dulu karena tak relevan, meskipun ada kalanya film horor Indonesia juga berbau seks. Misalnya film Tiren yang juga dibintangi oleh Dewi Perssik. Untuk ukuran film horor, banyak adegan yang tidak perlu seperti saat tokoh hantu Dewi Perssik membuka celana dalam ketika akan pipis di kuburan. Juga munculnya hantu Sarah Azhari yang berpakaian seksi tapi kakinya kagak napak tanah pada adegan closing film.

Namun demikian, ‘adegan tidak perlu’ bukanlah isu utama dalam film nasional kita dewasa ini, melainkan ketiadaan logika. Dalam koridor film-film berbau seks yang sedang kita bahas sekarang, ketiadaan logika terutama terlihat dari jalan cerita. Kebanyakan dari film-film seks ini pada akhirnya bicara tentang cinta. Formulanya selalu sama, awalnya mencari seks, tapi akhirnya menemukan cinta.

Film Kawin Kontrak 2 dengan tokoh Menfo yang jatuh cinta beneran pada Sasi, XL dengan lakon Jamie Aditya yang menemukan cinta sesungguhnya pada diri seorang pelacur, dan banyak lainnya. Jika sebenarnya cuma mau ngomongin cinta, kenapa harus memulainya dengan pancingan seks? Jawabannya tiada lain adalah karena seks selalu membuat orang penasaran. Dalam hierarki daya tarik isi media massa, misalnya, seks selalu menempati posisi teratas. Karena ditabukan, seks lalu menjadi sesuatu yang mendebarkan. Hal ini lalu menjadi semacam apologia bagi sineas kacangan. Tidak penting nyambung atau nggaknya jalan cerita, yang penting bumbu seks di kemasan film membuat penonton jadi blingsatan kepingin nonton.

Kondisi ini seharusnya membuat berang audien. Bagaimana tidak, mereka dibohongi di depan mata! Seks jelas-jelas hanya sebagai umpan. Sineasnya mau bicara cinta tetapi takut filmnya tidak laku, jadilah seks dipakai sebagai pancingan. Sayangnya, boro-boro marah, audien malah tertawa bersama film-film ini, dan menikmatinya sebagai hiburan. Persis seperti dikatakan Rudi Soedjarwo, “..orang Indonesia itu sudah tidak ada logikanya, dan tidak perlu logika kalau membuat film." seperti dikutip salah satu situs berita.

Lantas apa yang bisa kita lakukan di tengah situasi perfilman seperti ini? Menurut situs resmi FFI, pada dekade 1950-1960 perfilman Indonesia berada dalam kondisi yang kurang lebih sama seperti sekarang. Film kacangan rilis bak jamur di musim hujan, buah karya para produser Cina. Mereka juga mendatangkan film-film dari Filipina, Malaysia, dan India. Masyarakat dan pers mulai jengkel karena film murahan begitu menguasai pasar. Hasil dari kejengkelan itu adalah berdirinya organisasi Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), Persatuan Pers Film Indonesia (PERFEPI), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), juga lahirnya ajang Festival Film Indonesia (FFI). PPFI bahkan sempat melakukan aksi tutup studio.

Memang dalam situasi sekarang agak susah kalau kita mau memboikot studio, bisa-bisa malah ganti didemo. Namun setidaknya kita bisa memulai aksi perlawanan terhadap film murahan dengan cara selektif dalam memilih tontonan. Dalam logika kapitalisme, ketika film kacangan kehilangan audien, ia akan berhenti diproduksi. Semoga saja dalam kekosongan itu, berkembanglah film lain yang lebih bermutu.

(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 16 November 2008)

No comments