Lelaki pun Bisa Dijual


Di zaman kapitalisme besar-besaran, rupanya lelaki pun laris menjadi komoditas andalan.

Tengoklah film Forgetting Sarah Marshall produksi Universal Pictures yang baru saja rilis 18 April lalu di Amerika. Memotret tentang perjuangan seorang lelaki dalam melupakan mantan kekasihnya, dalam kurun waktu kurang dari sebulan film ini sukses menembus angka penjualan yang fantastis hingga menempatkannya dalam peringkat 2 box office setelah The Forbidden Kingdom.

Dikisahkan seorang komposer musik Peter Bretter (Jason Siegel) menjalin kasih dengan bintang televisi Sarah Marshall (Kristen Bell). Setelah lima tahun penuh pemujaan, Peter dicampakkan Sarah begitu saja. Lelaki itu pun kecewa dan frustrasi. Usahanya berkencan dengan banyak perempuan untuk melupakan Sarah sia-sia belaka.

Atas saran sang kakak, Peter pun berinisiatif liburan ke Hawaii. Di sinilah mimpi buruknya dimulai. Ia bertemu dengan Sarah dan pacar barunya, seorang bintang rock narsis asal Inggris, Aldous Snow (Russel Brand). Petualangan melupakan Sarah Marshall kemudian menjadi perjalanan panjang bagi seorang Peter Bretter.

Film yang diproduseri Judd Apatow ini menyoroti beratnya patah hati bagi seorang lelaki. Bukan hal yang mengherankan bila menilik fillm-film yang diproduseri Apatow sebelumnya, seperti 40-Year-Old Virgin (2005) dan Knocked Up (2007). Benang merah ketiga karya sang produser tersebut adalah bagaimana seorang lelaki yang biasa-biasa saja, dalam arti tidak tampan dan tidak kaya, berjuang mengatasi perasaan rendah diri yang disebabkan karena sesuatu hal, kemudian menemukan perempuan yang tepat baginya.

40-Year-Old Virgin mengisahkan tentang seorang lelaki lajang yang saking culunnya belum pernah tidur dengan perempuan sampai usianya yang ke-40. Knocked Up membeberkan cerita tentang lelaki pengangguran tukang mabuk yang mengandalkan hidupnya dari tunjangan sosial. Di akhir film, kedua tokoh ini menghadapi ending yang sama: menemukan seorang perempuan yang tepat baginya, menikah, dan berbahagia.

Ketika film-film komedi romantis Hollywood biasanya bercerita tentang bagaimana seorang perempuan berjuang untuk tampil menarik agar beruntung kejatuhan cinta lelaki idaman, film-film Apatow bisa dibilang sebagai wacana tandingan bagi stereotip tersebut. Melalui film-film yang diproduserinya, Apatow seolah ingin berkata bahwa seperti perempuan, lelaki pun punya tuntutan-tuntutannya sendiri.

Tuntutan-tuntutan yang berupa nilai konstruksi sosial ini bagi lelaki kurang lebih berarti bahwa sebagai lelaki ideal haruslah kaya, maskulin, bertubuh bagus, dan berkharisma. Bila ia pendiam dan kikuk (seperti tokoh film 40-Year-Old Virgin) tak bakal ada perempuan yang mau tidur dengannya. Sedangkan bila lelaki tidak kaya atau minimal berpenghasilan tetap (seperti tokoh film Knocked Up) tak akan ada perempuan yang mau menikahinya.

Meski nampaknya sama-sama memiliki tuntutan hasil konstruksi sosial, perempuan dan lelaki menghadapinya dengan cara yang berbeda. Perempuan berjuang agar tampil semenarik mungkin, sementara lelaki berusaha mati-matian agar meraih kesuksesan sebesar mungkin.

Hal ini berarti bahwa ada yang harus dikorbankan dalam usaha mewujudkan tuntutan-tuntutan tersebut. Perempuan barangkali harus mengenakan pakaian atau melakukan make-over besar-besaran dalam rangka menjadi cantik. Lelaki mungkin saja harus menjalani pekerjaan yang tak disukainya demi menjadi maskulin.

Pekerjaan dalam hal ini bisa dibaca sebagai minat, hobi, bakat, atau bahkan hal yang sederhana seperti olahraga. Film Billy Elliot produksi BBC yang rilis delapan tahun lalu, misalnya, berkisah tentang seorang anak lelaki yang ingin belajar menari balet sementara ayahnya ingin ia belajar tinju sebagai olahraga yang lebih pas untuk anak lelaki. Billy Elliot memotret secara pas bagaimana lelaki menghadapi tuntutan sosial yang berlawanan dengan kata hatinya sendiri.

Seperti Billy, tokoh Peter dalam Forgetting Sarah Marshall pun menghadapi situasi yang kurang lebih sama. Ia dihadapkan pada situasi dimana sang mantan pacar lebih memilih pria lain yang lebih kaya, lebih tampan, lebih flamboyan, dan lebih maskulin daripada dirinya. Mau tak mau ia harus membandingkan dirinya dengan Aldous Snow, pacar baru Sarah, sebagai usahanya untuk bersaing. Hal ini karena Peter dan Aldous dikondisikan dalam situasi kompetitif, adu modal untuk memenangkan Sarah Marshall, dimana Aldous keluar sebagai pemenang.

Jargon film ‘a comedy about getting dumped and taking it like a man’ juga ikut menegaskan hal ini. Frasa getting dumped yang kurang lebih berarti dicampakkan memosisikan Peter sebagai si korban, namun kalimat taking it like a man menunjukan konstruksi sosial bahwa sebagai lelaki, ia tidak boleh menangis meskipun ia sudah dicampakkan. Alih-alih menangisi Sarah, Peter harus mencari apa kekurangannya dibanding Aldous dan kemudian mencari cinta sejatinya.

Perjuangan menjadi lelaki ideal yang kuat dan mampu bangkit dari keadaannya yang menyedihkan inilah yang memang terus dijual Apatow lewat film-filmnya. Meski nampak unik karena bicara dari sisi pria, sebenarnya film-film ini hanya mempertegas bahwa lelaki dan perempuan sama-sama aktor sosial yang harus menjalani perannya masing-masing.

Dalam kasus komedi romantis seperti film-film produksi Apatow, tuntutan ini muncul dalam bentuk yang lebih subtil. Begitu halusnya bentuk tuntutan itu sampai-sampai jika kita tidak teliti mungkin tidak akan terbaca. Dibalut dengan kisah cinta dan bumbu tawa, film-film ini punya peluang untuk ‘numpang lewat’ sebagai hiburan semata.

Permasalahannya, mampukah kita keluar dari pandangan stereotip seperti ini, dan kemudian menjadi diri sendiri yang bebas dari tuntutan konstruksi sosial? Semoga saja.

(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 18 Mei 2008)

No comments