Kenyataan Versi Media


Selamat datang di reality show, tempat semua hal terjadi secara alami dan apa adanya. Selamat menikmati keaslian setiap adegan yang sama sekali tidak dibuat-buat. Selamat!

Barangkali itulah ujaran yang sedang naik daun di dunia hiburan. Ya, sihir reality show ternyata masih menggigit. Setiap acara yang dikemas dalam lingkup reality show dijamin akan berjalan dramatis. Belum lagi ekspektasi penonton yang deg-degan karena dalam jenis acara spontan seperti ini, diandaikan, apapun bisa terjadi.

Jangan dikira hanya Indonesia saja yang termehek-mehek dengan acara bertipe reality show. Hollywood juga. Industri gemuk perfilman internasional ini baru saja merilis film multibintang bertajuk Tropic Thunder. Melibatkan Ben Stiller, Tom Cruise, Robert Downey, Jr, Jack Black, Matthew McConaughey, dan Nick Nolte, dalam waktu sebulan film ini sukses meraih untung sebesar 78 juta dolar Amerika.

Ya, Tropic Thunder adalah sebuah film tentang reality show. Lima orang aktor, Tugg Speedman (Ben Stiller), Kirk Lazarus (Robert Downey, Jr.), bintang rap Alpa Chino (Brandon T. Jackson), komedian Jeff Portnoy (Jack Black), dan Kevin Sandusky (Jay Baruchel) bekerja sama membuat sebuah film biografi pahlawan perang Vietnam yang diperankan oleh Nick Nolte.

Dalam proses syuting film, alih-alih bekerja dengan profesional, mereka malah berbuat kekacauan. Anggaran dalam jumlah besar terbuang percuma. Proyek terancam gagal. Tak ada pilihan lain, sutradara memutuskan untuk “membuang” para aktornya ke lahan Segitiga Emas berbekal kamera tersembunyi dan efek khusus berupa bom, agar film tetap berjalan meski minim biaya.

Dari sini kekacauan dimulai. Para aktor tersebut panik dengan apa yang mereka alami, terjebak dalam kawasan perdagangan obat-obatan paling terkenal dan paling berbahaya di seluruh dunia. Bekal peta dan daftar scene sebagai panduan pun tak banyak membantu. Namun, justru kepanikan itu yang membuat film mereka berjalan dengan begitu ‘alami’: sebuah reality show!

Bagaimanakah sebenarnya sebuah reality show bekerja? Dengan prinsip apa acara yang mengklaim dirinya sendiri sebagai “murni realita” itu menawarkan tayangannya pada audiens? Dalam diri reality show sebenarnya terdapat paradoks yang cukup rumit. Di satu sisi, ia adalah sebuah tayangan. Sebagaimana sebuah tayangan, selayaknya ia melewati proses rancangan. Langkah demi langkah, scene demi scene. Sementara di sisi lain, kata reality membuatnya memikul tanggung jawab yang besar, sebab hal ini berarti ia menawarkan tak lebih dari realita. Semua adegan di dalamnya sungguh-sungguh nyata.

Kontroversi nyata-tak-nyata reality show inilah yang kerap kali mengundang cibiran pemirsa. Dengan kritisisme yang tajam, banyak audiens berkesimpulan bahwa apa yang mereka lihat dalam reality show adalah bohong belaka. Jalan cerita dalam reality show sudah diatur sebelumnya. Tangisan bukanlah tangisan, seperti tawa juga bukanlah tawa. Serapi apapun media membungkusnya, audiens sadar mereka sedang disuguhi akting belaka.

Permasalahannya, apakah definisi nyata itu sendiri? Lebih jauh lagi, adakah pengertian ‘nyata’ yang bisa disepakati semua pihak? Pernak pernik kehidupan yang dijalani individu barangkali bisa disebut sebagai Kenyataan dengan ‘K’ besar. Usaha seseorang untuk bertahan hidup dengan bekerja adalah bagian dari kenyataan. Usaha seorang suami untuk menyenangkan istrinya adalah bagian dari kenyataan. Usaha orangtua untuk memberi pendidikan dan penghidupan terbaik bagi anaknya adalah bagian dari kenyataan. Begitu banyak bagian-bagian kecil yang merupakan komponen dari kenyataan hidup yang dijalani manusia.

Fungsi media adalah “menangkapi” bagian-bagian kecil dari kehidupan manusia, kemudian menuangkannya dalam bentuk yang lain. Dengan kata lain, media mereproduksi kenyataan milik audiensnya, untuk kemudian menghadirkannya kembali untuk si audiens itu sendiri. Lantas apakah itu berarti apa yang dihadirkan media tidak nyata? Ya dan tidak.

Ya, karena jelas bahwa apa yang tampak di media tidak mungkin tampil polos tanpa polesan. Sebuah reproduksi harus tampil lebih menarik dari aslinya, sebab jika tidak begitu lantas apa guna reproduksi? Kita ingat bahwa salah satu fungsi media adalah tempat lari dari realitas (flight from reality). Meski sebenarnya sedikit lucu melarikan diri dari realitas dengan menceburkan diri dalam reproduksi tentang realitas, alias masih berputar-putar dalam lahan yang sama-sama realitas, adalah sesuatu yang niscaya bagi media untuk memberikan polesan pada tayangannya agar dapat menarik bagi audiens.

Tidak, karena konsekuensi dari menuduh apa yang ditayangkan media sebagai sesuatu yang tidak nyata sama artinya dengan menyatakan bahwa ada definisi nyata yang disepakati semua pihak. Sementara, kita tahu, bahwa kenyataan tidaklah tunggal sifatnya.

Definisi ‘nyata’ dalam kehidupan rupanya berbeda dengan arti ‘nyata’ bagi media. Tak ada yang lantas lebih benar (baca: lebih nyata) daripada yang lainnya.

Dalam film Tropic Thunder, misalnya, geng mafia obat-obatan di kawasan Segitiga Emas membuat Ben Stiller dan kawan-kawan terpaksa memainkan lakon yang melenceng dari ‘kenyataan’. Toh, lakon ini kemudian menjadi ‘kenyataan’ baru. Nantinya, bisa jadi ‘kenyataan’ yang baru ini akan direproduksi lagi menjadi ‘kenyataan’ baru. Begitu seterusnya.

Lantas apa yang kemudian tersisa dari reality show? Alih-alih melulu menjadi arena cibiran, reality show bisa menjadi sarana permenungan bagi kita untuk meredefinisi perspektif terhadap kenyataan. Barangkali kita tidak perlu lagi berkata bahwa reality show memproduksi kebohongan belaka: katakan saja, ia menawarkan kenyataan versi media. Bagaimana cara menikmatinya, dan kemudian memaknainya, terserah kita.

(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 5 Oktober 2008)

No comments