Film, Perjalanan Lintas Waktu


Ketika film Bobby diputar pertama kali di VeniceFilm Festival (2006), ia mendapat penghargaan berupa tujuh menit standing ovation dari audiens.

Membanggakan? Memang. Sutradara sekaligus pemain, Emilio Estevez, dinilai sukses menggabungkan kejadian sefenomenal penembakan senator Robert F. Kennedy (RFK) dengan beragamnya sudut pandang 24 karakter fiktif yang kebetulan sama-sama berada di Hotel Ambassador saat insiden itu terjadi.

Detail karakter yang begitu personal dan latar belakang variatif diikat dengan benang merah yang sama, yakni antusiasme menyambut speech RFK terkait pemilu yang sedang dijalaninya. Ketika kemudian RFK akhirnya tertembak, luka itu seolah juga ditanggung bersama secara emosional oleh seluruh karakter. Memilukan.

Persoalannya sekarang adalah bertanya mengapa dan bagaimana. Mengapa sebuah film bisa memotret kejadian yang sesungguhnya sudah berlalu begitu lama dan nyaris terlupakan, sehingga peristiwa tersebut seolah baru terjadi kemarin saja? Bagaimanakah cara kerja film mempengaruhi pikiran kita?

Sifat lintas waktu dalam film sebenarnya bukan hal yang asing bagi audiens. Film-film sejarah biografikal terbukti menjadi sarana belajar yang jauh lebih menyenangkan ketimbang teks-teks buku tebal. Film Schindler’s List misalnya, memberi kita gambaran tentang hubungan Yahudi-Jerman pada era Hitler.

Dalam film tersebut, diceritakan bagaimana orang-orang Yahudi berebut masuk dalam daftar pekerja Mr.Schindler untuk menyelamatkan nyawanya masing-masing. Sosok Tuan Schindler menjadi semacam “tuhan” yang bisa menunda eksekusi mati warga Yahudi. The Pianist yang dibintangi Adrien Brody juga memotret hal yang kurang lebih sama.

Ya, dengan keluwesannya bercerita, film bisa membungkus sejarah dengan lebih personal. Di tangan para pembuat film, sejarah bukan lagi peristiwa gigantik yang kaku. Sejarah lebih seperti buku diary yang sarat dengan sudut pandang. Cara penceritaan yang lebih manusiawi memang menjadi kekuatan film yang memikat audiensnya.

Ketika menonton film sejarah yang menarik dan kuat secara humanis, audiens akan merasa terseret dalam peristiwa yang sebenarnya sudah terjadi beberapa puluh tahun yang lampau. Audiens bisa saja mendadak merasa bahwa peristiwa itu penting buatnya, meski beberapa menit sebelum menonton ia bahkan tak tahu kejadian itu ada.

Apakah akibatnya selalu baik? Tidak juga. Mark David Chapman, pembunuh John Lennon, diduga memperoleh inspirasinya menembak sang idola setelah menonton sebuah film pendek tentang aktivitas Lennon mendemo pemerintah. Di Amerika, seorang remaja menembak dirinya sendiri setelah menonton film biografikal Kurt Cobain yang memuat kalimat terkenal sang legenda musik grunge, I hate myself and I want to die”.

Pada titik inilah mau tidak mau kita harus memandang film sebagai sebuah teks yang selalu subyektif. Di balik sebuah film (sebagaimana umumnya teks) terdapat ide-ide tertentu yang ingin ditransfer pada para audiens. Inilah yang harus disikapi dengan berhati-hati, terlebih bila membicarakan sejarah. Penceritaan yang apik bisa membuat audiens percaya bahwa yang diceritakan dalam film itulah yang sesungguhnya terjadi. Padahal, belum tentu.

Panjangnya daftar film yang mengambil tema tentang Hitler dan Nazi-nya barangkali bisa menjadi contoh. Deretan film tersebut sempat menimbulkan kecurigaan dan menuai protes, sebab ada indikasi bahwa mereka sengaja dibuat hiperbolis dengan menonjolkan kekejaman tentara Jerman. Tujuannya tentu saja politis, yakni menjaga stereotip Nazi sebagai tentara anti-kemanusiaan.

Audiens yang bisa dipengaruhi oleh lembutnya ideologi dalam sebuah film bukan hanya manusia dengan gangguan kejiwaan, atau remaja krisis identitas. Manusia sehat jasmani rohani, seperti kebanyakan dari kita, pun bisa. Menonton film-film sejarah masa lampau yang terjadi jauh sebelum kita dilahirkan justru lebih “berbahaya”.

Mengapa? Karena kita praktis tidak memiliki latar belakang pengalaman yang hidup (living experience) tentang peristiwa tersebut, secara tidak sadar kita menerima ide-ide dalam film dan melabelinya sebagai “kebenaran”. Semakin berbahaya bila kita kemudian menjadi begitu terpengaruh dan melakukan berbagai tindakan berlandaskan “kebenaran” tersebut. Mark Chapman dan remaja Amerika contohnya.

Digunakannya film sebagai alat “propaganda” memang bukan hal yang baru bagi kita. Anak-anak yang dibesarkan di tahun 80 dan 90-an tentu masih ingat bagaimana setiap akhir bulan September mereka diharuskan menonton film G30SPKI dan membuat ringkasannya dengan kata-kata sendiri.

Anggapan umum tentang film itu tentu saja tentang kekejaman PKI yang digambarkan tidak manusiawi, tidak beradab, dan tidak bertuhan. Gambaran seperti inilah yang harus ditanamkan dalam benak anak-anak kecil ini. Orde Baru memberangus PKI lewat cara-cara yang paling lembut sehingga nyaris tidak disadari.

Bagaimana dengan film Bobby sendiri? Sedikit berprasangka, film ini memang sengaja dibuat untuk memunculkan kembali nostalgia isu rasisme dan sentimen budaya yang kental tahun 60-an. Apalagi dengan latar belakang sang sutradara Emilio Estevez yang berdarah campuran.

Karakter-karakter fiksional yang Estevez ciptakan juga begitu variatif dari segi rasisme. Pekerja dapur hotel yang kulitnya “berwarna” kerapkali dilecehkan dan diperlakukan semena-mena oleh bos mereka yang kulit putih. Toh mereka tetap menerima superioritas itu daripada tidak makan.

Lantas apa yang tersisa bagi kita sebagai audiens? Kritis pada teks tetap menjadi jawabannya. Menyangsikan apa yang ditawarkan oleh film, sinetron, iklan, berita, membuat kita menjadi audiens yang lebih cerdas. Akhirnya kita akan sampai di suatu titik bahwa teks tetaplah teks, pemaknaan bijaksana dibutuhkan agar tidak membabi buta mempercayai media.

(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 16 Maret 2008)

No comments