Dari Kereta Api, Busway, Sampai Angkot


Photo by Ant Rozetsky on Unsplash


Ketika Teguh Karya membikin film bertajuk Pacar Ketinggalan Kereta (1989), sebuah sinema remaja mengadopsinya dengan judul Pacarku Ketinggalan Busway.
Dulu, sinema Indonesia memang banyak memakai judul yang cenderung puitis. Tengoklah, misalnya, film Mawar Jingga(1981). Film ini disutradarai Hasmanan dan diperankan oleh aktor Zainal Abidin (alm.), Frans Tumbuan, El Manik, dan aktris Lenny Marlina. Drama keluarga yang ceritanya ditulis oleh Ike Soepomo ini memenangkan Festival Film Indonesia (FFI) 1982 untuk Pemeran Utama Pria (Zainal Abidin), Editing, dan Musik.
Lenny Marlina memerankan tokoh Andina, anak perempuan pengusaha kaya Soedarko (Zainal Abidin). Saat sang ayah memaksanya menikah dengan dr.Budi (El Manik), ia tidak bisa menolak meski sebenarnya tak cinta. Pada akhirnya, Andina bercerai dari dr. Budi untuk menikah dengan seorang pilot bernama Heru Erlangga (Frans Tumbuan).
Lho, kok tidak berbau mawar ya? Jangan salah. Di film ini, mawar jingga dijadikan semacam simbolisasi cinta Heru untuk Andina. Di saat-saat paling genting dan menentukan, dari Paris Heru mengirimkan sepucuk surat dan lukisan mawar yang kelopaknya berwarna jingga (bukan merah, atau putih) untuk Andina. Soedarko pun akhirnya menyetujui hubungan Heru dengan Andina. Bisa dilihat, meski tak gamblang, toh judul macam ini justru memberi kita sebuah perasaan cinta yang sublim namun tetap mengalir.
Bagaimana dengan judul cerita kekinian? Ambil contoh sinema pendek (selanjutnya disebut FTV) yang sudah disebutkan di atas, Pacarku Ketinggalan Busway. Ceritanya tentang sepasang kekasih, yang perempuan anak orang kaya sementara si lelaki pemain kibor orkes melayu jalanan, terpisah ketika akan kabur menggunakan bus TransJakarta.
RCTI kemudian menayangkan FTV dengan judul mirip, Pacarku Ketinggalan di Angkot. Kisahnya pun hampir serupa. Seorang anak perempuan yang tadinya tinggal di ‘daerah’ (terminologi yang sering digunakan orang Jakarta untuk menyebut kota lain yang seolah lebih ‘udik’) pindah ke ibukota, dikunjungi sang pacar setelah lama tidak berjumpa. Sang pacar yang baru pertama kali datang ke Jakarta ini karena sesuatu hal kemudian tertinggal di angkot dan terus terbawa entah ke mana. Tinggallah sang perempuan berpusing-ria mencari pacarnya yang terjerumus dalam Jakarta yang bagai hutan rimba.
Dalam hal ini, kereta, busway, dan angkot punya satu benang merah: menjadi latar perkara meninggalkan-ditinggalkan pacar, sengaja maupun tidak sengaja. Dalam contoh film Teguh Karya, misalnya, ada banyak kemungkinan kenapa seniman besar Indonesia itu memilih kereta api. Mungkin saat itu kereta adalah moda transportasi favorit untuk bepergian agak jauh. Bisa jadi ia terlihat menarik: besi berlari yang ketika akan berangkat berjalan pelan-pelan diiringi bunyi peluit. Atau musik instrumental di stasiun ketika kereta akan ‘tinggal landas’-lah yang terdengar eksotis.
Bagaimana dengan busway? Atas nama modernitas, ia menemukan eksotismenya sendiri. Busway jadi menarik karena terasa modern: mengantre dengan tiket yang kemudian dicolokkan ke dalam sebuah mesin, keran air minum dalam halte, busway gandeng, jalur khusus, dan berbagai hal lain yang kosmopolitan banget, yang kemudian jadi terasa lucu karena tidak semua yang menonton FTV tersebut toh pernah naik busway!
Di sini kita bisa melihat bagaimana busway dan angkot mem-postmo-kan kereta. Ia bagai meledek, bahwa pacar kita bisa ketinggalan di mana saja: tidak hanya di stasiun, tapi juga di halte atau pinggir jalan. Kalau ketinggalan kereta api, kita masih punya kesempatan untuk berbingung-bingung ria di stasiun, tapi bukankah terpisah di halte busway atau angkot tidak memberikan kesempatan yang demikian? Kita tidak bisa tampak keren, berbingung-bingung ria sambil duduk di bangku plastik sambil membawa-bawa tas, melainkan hanya berdiri bengong di dalam halte busway yang warnanya tidak menarik itu, atau malah terduduk lemas di pinggir jalan ditemani sisa asap knalpot.
Lepas dari jalan cerita, rupanya pemilihan judul yang sangat realis memang tak bisa dihindari dalam industri perfilman Indonesia masa kini. Penonton FTV tidak mau dipusingkan dengan judul yang ada metafora atau perlambangannya. Judul yang romantis macam Mawar Jingga sebaiknya dilupakan, karena tidak praktis. Orang menonton hanya ingin mendapat hiburan, habis perkara. Sembari menulis artikel ini, saya mengalami terpaan FTV-FTV dengan judul yang sangat sehari-hari: Cowo Gue Cewe, Cewek Imut Berpacar Empat, Ganteng-Ganteng Koq Bawa Bebek, dan Vespa Cintaku. Jika film Mawar Jingga dijadikan FTV sekarang, mungkin saja judulnya akan berubah jadi Pacarku Ketinggalan Di Paris…
Apakah salah? Tentu tidak. Pada dasarnya media dan audiensnya saling mempengaruhi. Peter Berger dan Thomas Luckmann menyebut bahwa masyarakat adalah produk manusia, dan manusia adalah produk masyarakat. Artinya, media memang mereproduksi keseharian audiens, tetapi sekaligus juga menciptakan konstruksi sosial yang kemudian dipercaya audiens sebagai kenyataan. Media mencerminkan sekaligus menciptakan realitas.
Ini berarti, kita yang (pura-pura) puitis tidak boleh lantas marah melihat judul-judul sinema yang dari hari ke hari makin ngawur. Realitas tekstual mencerminkan realitas faktual, meski yang faktual ini juga dibentuk oleh yang tekstual. Masyarakat kita ternyata haus hiburan ringan dan ogah mikir yang berat-berat. Apa boleh buat.
(dimuat di Suara Merdeka Edisi Minggu, 2 November 2008)

2 comments

  1. hai saya penulis pacarku ketinggalan di angkot, mau ralat dikit aja. itu tayangnya di SCTV bukan RCTI. thanks

    iskandar julkarnaen

    ReplyDelete